Direksi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ke depan harus serius membangun komunikasi yang intens dan berkualitas dengan kepolisian, pemda, kementerian dan lembaga lain untuk meningkatkan kepesertaan BPJS.
Oleh
TIMBOEL SIREGAR
·4 menit baca
Proses seleksi anggota dewan direksi dan anggota dewan pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan masih berlangsung. Panitia seleksi di kedua BPJS yang dipilih Presiden diisi orang-orang yang mumpuni dengan latar belakang pengetahuan jaminan sosial. Panitia akan menyeleksi anggota direksi dan anggota dewan pengawas periode 2021-2026.
Panitia Seleksi BPJS Kesehatan akan menyeleksi semua calon menjadi 16 nama calon anggota direksi dan 14 nama calon anggota dewan pengawas, sementara Panitia Seleksi BPJS Ketenagakerjaan akan memilih 14 nama calon anggota direksi dan 14 nama calon anggota dewan pengawas, yang semuanya akan diserahkan ke Presiden.
Dari usulan nama-nama itu, Presiden akan memilih dan menetapkan delapan nama anggota direksi BPJS Kesehatan dan tujuh nama anggota direksi BPJS Ketenagakerjaan, dan masing-masing dua anggota dewan pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dari unsur pemerintah.
Untuk pemilihan anggota dewan pengawas dari unsur pemberi kerja, unsur pekerja, dan unsur tokoh masyarakat, Presiden akan menyerahkan masing-masing 10 nama ke DPR. Komisi IX DPR akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan dan memilih lima anggota dewan pengawas untuk setiap BPJS, yang akan diserahkan kembali kepada Presiden untuk ditetapkan.
Proses seleksi oleh panitia seleksi akan menentukan kinerja BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan selama lima tahun ke depan. Karena itu, panitia seleksi harus benar-benar menggali lebih dalam tentang integritas, pengetahuan, pengalaman, serta jejaring calon anggota direksi dan anggota dewan pengawas kedua BPJS.
Oleh karena itu, panitia harus menggali informasi dari masyarakat, media, dan lembaga, seperti KPK, PPATK, Ombudsman, hingga jaringan internasional, sehingga nama-nama yang disampaikan ke Presiden merupakan calon terbaik.
Persoalan jaminan sosial
Persoalan BPJS Ketenagakerjaan secara umum ada di tiga area, yaitu kepesertaan, pelayanan, dan investasi, sementara di BPJS Kesehatan melingkupi kepesertaan, pelayanan dan fasilitas kesehatan, dan pembiayaan JKN.
Persoalan tersebut menjadi bagian dari ekosistem jaminan sosial, yang melibatkan banyak institusi, sehingga keberhasilan kedua BPJS tidak hanya ditentukan oleh peran direksi dan dewan pengawas, tetapi juga oleh dukungan kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda) serta lembaga lainnya. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama direksi kedua BPJS adalah memperkuat hubungan antarlembaga yang selama ini kurang maksimal dilakukan.
Direksi dituntut lebih aktif dan kreatif membangun komunikasi dengan K/L, pemda, dan lembaga lain sehingga mereka sungguh-sungguh mendukung program jaminan sosial.
Ada beberapa persoalan klasik di kedua BPJS yang harus mendapat dukungan K/L dan pemda, seperti masalah kepesertaan di sektor badan usaha swasta dan BUMN (PPU BU-BUMN) yang belum maksimal. Kepesertaan PPU BU-BUMN di program JKN di akhir September 2020 sebanyak 16.499.335 peserta, sementara peserta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) di BPJS Ketenagakerjaan sudah mencapai 20.174.472 peserta.
Tentunya data kepesertaan BU-BUMN di dua BPJS ini belum maksimal mengingat jumlah pekerja BU-BUMN mencapai 40 juta lebih.
Masih banyak perusahaan yang tidak patuh dengan tidak mendaftarkan semua pekerjanya di lima program jaminan sosial. Sanksi tidak dapat layanan publik bagi perusahaan dan perseorangan sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah No 86 Tahun 2013, dan rincian jenis pelayanan publik yang tidak bisa diberikan diatur dalam Pasal 9.
Banyak K/L dan pemda yang mengelola perizinan yang disebut Pasal 9 tersebut hingga kini tidak serius menjalankan PP No 86 sehingga penegakan hukum menjadi sangat lemah.
Direksi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ke depan harus serius membangun komunikasi yang intens dan berkualitas dengan kepolisian yang mengelola STNK dan SIM, pemda yang menerbitkan IMB, kementerian yang memberikan izin usaha dan izin lainnya, sehingga pelaksanaan PP No 86 bisa meningkatkan kepesertaan di dua BPJS secara signifikan.
Komunikasi yang dibangun dan hasilnya harus menjadi bagian yang dilaporkan kepada Presiden agar Presiden lebih mengetahui masalah di tingkat teknis dan bisa mengevaluasi seluruh K/L dan pemda yang terkait jaminan sosial.
Selain itu, sudah seharusnya kedua BPJS membangun koordinasi, khususnya untuk segmen di PPU BU/BUMN, baik dari sisi pendaftaran, pembayaran iuran, maupun pengawasan serta penegakan hukumnya. Selama ini kedua BPJS berjalan sendiri-sendiri sehingga menjadi tak efektif dan efisien, dan terjadi perbedaan jumlah kepesertaan yang cukup signifikan.
Tentang kepesertaan penerima bantuan iuran (PBI) yang dibiayai APBN, seharusnya pembersihan data PBI terus dilakukan sehingga data PBI benar-benar diisi oleh masyarakat miskin. Setelah itu, BPJS Kesehatan dan Kementerian Sosial (via dinas sosial daerah) harus memastikan masyarakat miskin yang sudah ditetapkan sebagai peserta PBI langsung mengetahui dan mendapatkan nomor JKN walaupun belum mendapat Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Ini penting mengingat banyak peserta PBI baru yang belum tahu tentang kepesertaannya di PBI, dan baru tahu sekitar dua bulan sejak ditetapkan ketika mendapatkan KIS.
Demikian juga, direksi BPJS Ketenagakerjaan harus membangun komunikasi intens dan berkualitas dengan Kementerian Sosial dan Kementerian Keuangan sehingga kepesertaan PBI untuk program JKK dan JKm bisa segera direalisasikan, diharapkan bisa direalisasikan di 2021 dengan menganggarkan iurannya di APBN Perubahan 2021.
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI-KRPI.