Menakar Keampuhan Vaksin Covid-19
Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya lebih serius untuk mendapat jatah vaksin. Persaingan untuk mendapat vaksin semakin ketat. Kalau telat, Indonesia bisa-bisa tidak kebagian.

Ada berita menarik tentang vaksin Covid-19. Beberapa hari lalu, perusahaan Pfizer mengumumkan laporan analisis sementara (interim analysis report)-nya bahwa vaksin produksi mereka memiliki tingkat keefektifan atau keampuhan (efficacy) di atas 90 persen. Artinya, 90 persen subyek yang menerima vaksin mereka terhindar dari gejala Covid-19.
Laporan ini masih bersifat sementara. Untuk mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration/FDA), dalam dua bulan mendatang Pfizer harus memasukkan laporan lebih lengkap, termasuk detail keampuhan dan keamanan (safety) vaksin mereka.
Baca juga: Inggris Dahului AS-Uni Eropa, Mulai Gelar Vaksinasi Covid-19 Pekan Depan
Para ahli menyambut gembira hasil analisis sementara ini. Walau belum lengkap dan belum mendapat persetujuan FDA, para ahli yakin bahwa dalam 2-3 bulan mendatang persetujuan vaksin sudah akan diperoleh dan vaksin sudah akan diproduksi dan digunakan. Pfizer berencana memproduksi 50 juta dosis pada tahun ini dan 1,3 miliar dosis pada tahun depan.
Beberapa hari setelah pengumuman Pfizer, perusahaan Moderna juga mengumumkan hasil uji vaksin mereka. Keampuhan vaksinnya malah lebih tinggi daripada vaksin Pfizer. Dari 95 orang yang mengalami gejala Covid-19 pada populasi studi mereka, hanya lima orang yang berasal dari kelompok yang diberi vaksin dan 90 orang berasal dari kelompok yang tidak menerima vaksin. Artinya, keampuhannya 94,5 persen.
Pfizer berencana memproduksi 50 juta dosis pada tahun ini dan 1,3 miliar dosis pada tahun depan.
Moderna dalam waktu dekat juga akan mengajukan persetujuan FDA dan segera memproduksi vaksin. Tahun ini mereka akan memproduksi 20 juta dosis dan tahun depan 1 miliar dosis.
Setelah Moderna, NRCEM-Rusia juga mengumumkan hasil uji vaksin mereka, yaitu Sputnik-V. Vaksin ini memiliki keampuhan 92 persen. Rusia berencana akan segera melengkapi laporannya dan memproduksi vaksin.
Laporan ketiga institusi ini menjadi landmark potensi vaksin Covid-19. Laporan analisis sementaranya disajikan saat uji vaksin berada pada tahap-tahap akhir. Sudah hampir komplet. Artinya, kecil kemungkinan hasil keampuhannya akan berubah banyak.
Baca juga: Distribusi Vaksin yang Adil

Beberapa waktu lalu, sejumlah perusahaan vaksin China sebenarnya telah melaporkan keampuhan vaksin mereka. Namun, laporan itu dibuat saat uji vaksin masih pada tahap pertengahan. Jadi belum dianggap laporan konklusif.
”Vaccine race”
Laporan Pfizer, Moderna, dan NRCEM-Rusia akan merangsang institusi lain mengintensifkan penelitian mereka. Iklim perlombaan antarcalon vaksin (vaccine race) pun makin kompetitif.
Saat ini terdapat lebih dari 230 proyek pembuatan vaksin di dunia; 40 di antaranya berada pada uji klinis manusia dan sepuluh di antaranya telah berada pada fase 3. Dalam 2-3 bulan mendatang, laporan kesepuluh proyek yang berada pada fase 3 sudah akan diketahui. Dengan kondisi ini, besar kemungkinan akan lebih banyak vaksin Covid-19 yang disetujui dan diproduksi sebelum pertengahan tahun 2021.
Baca juga: Unicef Akan Kirim 2 Miliar Dosis Vaksin ke Negara Miskin
Perlombaan antarcalon vaksin yang kompetitif tersebut memberikan beberapa keuntungan. Pertama, akan terproduksi berbagai jenis vaksin dengan spesifikasi yang berbeda. Perbedaan bukan hanya pada tingkat keampuhan dan keamanan, melainkan juga harga, dosis, dan cara penyimpanan dan distribusi. Perbedaan ini membuka peluang fleksibilitas dalam pengadaan vaksin.
Setiap negara dapat memilih dan membeli vaksin sesuai kondisi, kapasitas, dan kemampuan negaranya. Vaksin Pfizer dan Moderna, misalnya, kurang kompatibel dengan kondisi Indonesia. Bukan hanya harganya yang relatif mahal, penyimpanan dan transportasinya juga membutuhkan suhu yang sangat dingin (ultra-cold storage), yaitu di bawah 20-80 derajat celsius. Fasilitas ini belum ada di Indonesia.
Setiap negara dapat memilih dan membeli vaksin sesuai kondisi, kapasitas, dan kemampuan negaranya.
Dengan iklim perlombaan vaksin yang kompetitif, besar kemungkinan akan terproduksi vaksin yang benar-benar cocok dengan kondisi dan kapasitas Indonesia. Misalnya, vaksin yang dapat disimpan dalam freezer. Ini sesuai dengan kondisi Indonesia karena memang fasilitas freezer ini tersedia cukup banyak di negeri ini dan siap digunakan.
Kedua, perlombaan vaksin yang kompetitif membuka peluang tersedianya vaksin bagi sebagian besar populasi manusia. Saat ini, vaksin yang diproduksi oleh Pfizer dan Moderna telah habis diborong oleh negara-negara maju. Sementara vaksin Rusia akan diprioritaskan bagi rakyatnya dahulu.
Baca juga: Perlombaan Menciptakan Vaksin
Untuk vaksin Pfizer, dari 1,3 miliar dosis vaksin yang akan diproduksi tahun 2021, sebanyak 1,1 miliar telah diborong oleh Amerika, Inggris, Jepang, dan negara-negara Eropa. Sisanya akan dijual kepada negara yang mendukung penelitian vaksinnya.
Moderna pun demikian. Sebanyak 90 persen target produksi mereka tahun 2021 telah diborong oleh Amerika, Kanada, Inggris, serta negara-negara Eropa dan Timur Tengah.

Petugas menyiapkan vaksin saat digelar rangkaian simulasi pemberian vaksin anti-Covid-19 di Puskesmas Tapos, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (22/10/2020).
Padahal, selain penduduk negara pemborong vaksin tersebut, terdapat miliaran manusia yang juga membutuhkan vaksin. Tahun 2021 saja, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membutuhkan 2 miliar dosis vaksin untuk memvaksinasi ratusan juta manusia. Kebutuhan ini tak bisa dipasok oleh Pfizer dan Moderna karena vaksin mereka telah terborong habis hingga tahun 2021.
Baca juga: Tak Hanya Andalkan Vaksin
Jadi, pasokan vaksin diharapkan datang dari produsen vaksin lain, terutama yang terlibat program portofolio COVAX WHO. Di sinilah urgensi perlombaan vaksin, yaitu berpotensi menyediakan pasokan vaksin yang memadai bagi seluruh umat manusia.
Potensi utama
Bagi sebagian orang, laporan Pfizer, Moderna, dan NRCEM-Rusia tidak berarti apa-apa. Mereka tetap ragu dan tidak percaya bahwa vaksin dapat menjadi solusi pandemi. Alasannya beragam, mulai dari belum lengkapnya laporan vaksin hingga kemungkinan efek samping. Ada juga yang curiga bahwa vaksin hanyalah akal-akalan; bagian dari teori konspirasi.
Persepsi negatif seperti ini memang tidak dapat dieliminasi dengan cepat. Butuh waktu. Jangankan vaksin Covid-19 yang masih baru, vaksin konvensional yang telah digunakan puluhan tahun saja, seperti vaksin hepatitis, DPT, dan influenza, masih banyak yang meragukan sampai sekarang.
Mereka tetap ragu dan tidak percaya bahwa vaksin dapat menjadi solusi pandemi.
Di sisi lain, sejumlah ahli secara tegas menyatakan bahwa vaksin merupakan solusi definitif yang akan membawa manusia keluar dari pandemi. Pertama, secara teoretis, pandemi hanya bisa dikontrol apabila tingkat reproduksi (reproduction rate) virus Covid-19 dapat ditekan di bawah nilai 1 selama paling tidak 1-2 bulan.
Hingga saat ini belum ada penatalaksanaan yang dapat menghasilkan output ini. Langkah pencegahan (standard precautions) 3M dapat menurunkan tingkat reproduksi virus, tetapi sifatnya temporer. Begitu orang melakukan relaksasi, tingkat reproduksi virus meningkat kembali.
Baca juga: Antisipasi Vaksin Covid-19
Inilah yang menjadi alasan mengapa sejumlah negara, termasuk negara-negara Eropa dan Inggris, terpaksa harus melakukan lockdown ulang. Langkah pencegahan yang diterapkan tidak cukup menahan tingkat reproduksi virus di bawah 1 selama 1-2 bulan. Hanya vaksin dapat menghasilkan output ini.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa antibodi Covid-19 dapat bertahan beberapa bulan. Karena itu, kerja vaksin yang menyerupai kerja antibodi dihipotesiskan dapat bertahan paling tidak beberapa bulan.

Dengan kombinasi keampuhan vaksin di atas 50 persen serta ekstrapolasi daya tahan antibodi selama beberapa bulan, vaksin diyakini dapat menekan tingkat reproduksi virus di bawah nilai 1 selama beberapa lama dan sekaligus memutus rantai penyebaran infeksi dan pandemi.
Kedua, sejumlah vaksin Covid-19 telah beredar dan digunakan secara terbatas pada populasi tertentu. Di Uni Emirat Arab, vaksin Sinopharm telah digunakan pada tenaga kesehatan. Di China, vaksin Sinovac dan CanSino telah digunakan untuk kalangan militer. Di Rusia, vaksin Sputnik-V telah digunakan secara terbatas. Berbagai vaksin lain telah berada pada fase 3 dengan jumlah subyek studi tiap vaksin puluhan ribu.
Baca juga: Jalan Pintas Vaksin, Amankah?
Sejauh ini belum ada laporan efek samping serius baik dari vaksin yang telah digunakan secara terbatas maupun yang masih diujicobakan. Artinya, sejauh ini vaksin-vaksin Covid-19 dianggap aman dan efektif. Datangnya laporan positif dari Pfizer, Moderna, dan NRCEM-Rusia menguatkan potensi vaksin sebagai jalan utama menghentikan pandemi Covid-19.
Sejauh ini belum ada laporan efek samping serius baik dari vaksin yang telah digunakan secara terbatas maupun yang masih diujicobakan.
Itulah sebabnya, laporan kedua institusi ini disambut gembira sebagian ahli. Sebagian bahkan menyebut bahwa ”seluruh dunia perlu bergembira dengan laporan menyenangkan ini”.
Sejumlah survei melaporkan bahwa setelah adanya laporan kedua institusi ini, proporsi penduduk yang ingin divaksin di Amerika meningkat dari 30 persen menjadi 60-70 persen. Mereka makin yakin pandemi akan dapat diatasi dengan vaksin.
Mengejar jatah vaksin
Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya lebih serius untuk mendapat jatah vaksin. Termasuk melakukan pendekatan dan lobi intens dengan produsen-produsen vaksin yang vaksinnya kompatibel dengan kondisi dan kapabilitas Indonesia. Kalau tidak, ada kemungkinan Indonesia tidak kebagian vaksin. Ini terjadi pada wabah flu burung beberapa tahun lalu.
Negara-negara lain saat ini sangat intens melakukan negosiasi vaksin. Bahkan mereka tak sungkan-sungkan membayar uang muka untuk pemesanan awal (pre-order agreement). Data terakhir, dari 4 miliar dosis vaksin yang menurut rencana akan diproduksi oleh empat perusahaan besar vaksin, semuanya sudah diborong oleh Amerika, Inggris, negara-negara Eropa, Jepang, dan India.

Iqbal Mochtar
Sebagian kecil disisakan buat program COVAX dan negara-negara lain, padahal vaksinnya sendiri belum jadi. Bisa dibayangkan jika vaksinnya sudah jadi, persaingan ini makin ketat. Kalau telat, Indonesia bisa-bisa tidak kebagian. Rupanya, prinsip dagang masih berlaku: siapa cepat, dia dapat.
Iqbal Mochtar, Dokter dan Pengamat Masalah Kesehatan