Konsensus Pembangunan Pertanian
Menyusun aransemen inovasi kelembagaan bidang pertanian bukan agenda mudah dan sederhana, tetapi kerja raksasa yang butuh ketetapan hati dan kekuatan nalar. Sebuah mandat moral.
Indonesia tidak bisa lari dari hukum transformasi ekonomi. Peran sektor pertanian (hulu) akan terus berkurang seiring kemajuan ekonomi.
Modernisasi mensyaratkan transformasi ekonomi berupa pergeseran aktivitas ekonomi ke sektor manufaktur dan jasa.
Perpindahan itu melewati proses pengolahan yang menciptakan rantai ”nilai tambah” (added value). Praktik ekonomi keseharian mengajarkan margin ekonomi terbesar berasal dari perolehan nilai tambah yang memicu kesejahteraan.
Baca juga : Ekonomi dan Stok Pengetahuan
Sungguhpun begitu, banyak pengambil kebijakan (juga ekonom) yang salah pikir dengan mengira sektor hulu itu mesti ditinggalkan. Padahal, yang dimaksud adalah proses pergeseran dan penciptaan nilai tambah yang tetap bersandar kepada sektor basis.
Itu sebabnya, di sini kemajuan ekonomi terseok dan menciptakan ketimpangan akibat tidak mengagendakan keterkaitan dengan sektor pertanian. Sekurangnya lima konsensus mesti dipromosikan agar sektor ini menjadi basis transformasi ekonomi.
Peran sektor pertanian (hulu) akan terus berkurang seiring kemajuan ekonomi.
Konsensus faktor produksi
Setelah Pelita III (kira-kira tahun 1983), secara perlahan perhatian terhadap sektor pertanian mengecil dan tidak terdapat kebijakan komprehensif untuk mengatasi keadaan. Pelemahan itu terus terjadi sehingga membuka aneka persoalan laten. Faktor produksi terpenting, yakni tanah dan modal, kian menjauh dari pelaku sektor pertanian (rakyat).
Petani dibiarkan jadi tuna-lahan atau tanah kian sempit, termasuk akses modal. Implikasi yang segera tampak, ”skala ekonomi” terus mengecil. Posisi tawar tak bisa didongkrak karena skala ekonomi yang tipis. Berikutnya, orientasi ekonomi yang bernilai tambah (agroindustri) tak dapat dijangkau sehingga proses menuju aktivitas ekonomi pengolahan tak tergapai.
Baca juga : Meredam Ongkos Resesi
Rantai pasok juga terseok oleh panjangnya jalur distribusi. Organisasi petani kian rentan karena ”politik serba tunggal” di masa Orde Baru. Lembaga yang seharusnya jadi penguat petani justru lebih banyak dipakai pengurusnya mendaki anak tangga kekuasaan.
Berpijak pada persoalan ini, konsensus pembangunan pertanian wajib dimufakati sejak sekarang. Pertama, konsensus penguasaan dan kepemilikan faktor produksi. Petani harus memiliki lahan cukup agar bisa berproduksi dengan gagah dan meningkat kesejahteraannya.
Berdasarkan Sensus Pertanian terakhir (2013), rumah tangga petani (RTP) yang menguasai lahan di bawah 0,5 hektar berjumlah 14,7 juta (55,9 persen dari total RTP). Lahan yang mereka kuasai hanya 2,6 juta ha (11,9 persen dari total lahan).
Baca juga : Pertanian Tanpa Petani
Apabila jumlah lahan itu dibagi dengan RTP, setiap RTP cuma punya tanah 0,18 ha. Situasi ini tentu sangat menyedihkan, petani dibiarkan hidup secara subsisten. Hal yang sama juga terkait dengan proporsi dan akses modal.
Saat sektor pertanian berkontribusi 14,6 persen (triwulan III-2020) terhadap pendapatan nasional (PDB), alokasi kredit perbankan terhadap sektor pertanian hanya 6,8 persen (OJK, Agustus 2020) dari total kredit. Tanpa pemihakan kokoh terhadap faktor produksi, sulit menegakkan kembali marwah petani dan pertanian.
Kedua, konsensus skala ekonomi. Masa depan pertanian bukan di hulu, melainkan di pengolahan. Sungguhpun begitu, itu tak akan pernah bisa dilakukan apabila skala ekonomi tak dipenuhi.
Baca juga : Basis Pertahanan Berdaulat Pangan
Produksi mesti fokus pada komoditas tertentu yang ditanam dalam jumlah besar sehingga mencukupi bagi pemrosesan menjadi barang olahan (setengah jadi ataupun jadi). Problemnya, lahan petani sangat sempit (plus fragmentasi komoditas yang ditanam).
Solusi jangka pendeknya ialah RTP dikonsolidasi sehingga lahan yang ditanami untuk komoditas tertentu (yang telah disepakati) mencapai skala ekonomi agar diteruskan menjadi barang olahan.
Jadi, kolektivitas menjadi medan perjuangan dan skala tanam ada pada level kawasan (perdesaan). Apabila model ini disokong dengan percepatan program pemerintah, seperti RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial), prospek pencapaiannya jadi lebih bertenaga.
Masa depan pertanian bukan di hulu, melainkan di pengolahan.
Pemapanan organisasi
Ketiga, konsensus nilai tambah. Bahasa transformasi ekonomi ialah menciptakan nilai tambah yang memungkinkan komoditas memiliki margin ekonomi lebih besar. Ciri ekonomi yang bertumpu pada produksi bahan baku adalah cepat rusak, harga fluktuatif, dan nilai tambah rendah. Sebaliknya, komoditas yang telah masuk ke pengolahan akan tahan lama (awet), harga stabil, dan margin besar. Oleh karena itu, petani tak boleh dibiarkan hanya berhenti melakukan kegiatan produksi primer, tetapi meneruskan ke aktivitas yang memiliki nilai tambah.
Proses ini tak mudah sebab menghendaki kerangka pikir bisnis, organisasi yang mapan, dan kapabilitas yang kuat. Pada tahap awal mesti ada campur tangan kuat dari pemerintah untuk memberikan pemahaman, akses, dan kolaborasi. Pemerintah tak perlu memulai dari nol karena selama ini telah banyak program (agroindustri) yang dimiliki di setiap kementerian/lembaga.
Baca juga : Korona dan Industri Nasional
Keempat, konsensus rantai pasok. Sebetulnya ini kisah lama dan klise. Komoditas pertanian mesti melewati 5-7 rantai pasok hingga sampai kepada konsumen. Posisi petani selalu lemah berhadapan dengan pelaku di tengah (middleman) atau di hilir. Harga jual amat murah dan mereka menjadi penerima harga (price taker).
Sebaliknya, posisi tawar pelaku di hilir selalu kuat sehingga menjadi penentu harga (price maker). Konsumen membeli dengan harga yang sangat mahal meskipun itu komoditas yang belum diolah (misalnya mangga).
Pandemi yang terjadi saat ini rupanya mengeksekusi ide lama yang berjalan lamban, yakni peran teknologi informasi (aplikasi dan digitalisasi) yang memangkas rantai pasok. Jadi, penerapan aplikasi itu meringkas rantai pemasaran menjadi maksimal tiga saja. Jika ini dilakukan secara masif dan menjangkau seluruh pelaku ekonomi di hulu, harga jual yang diterima lebih bagus dan konsumen membeli dengan harga murah.
Kelima, konsensus pemapanan organisasi ekonomi. Seluruh langkah di atas menghendaki hadirnya organisasi yang kuat di tingkat petani. Kelompok tani harus solid, di samping orientasi ekonomi yang lebih maju. Skala ekonomi, nilai tambah, dan rantai pasok membutuhkan organisasi yang mapan, tidak mungkin dijalankan dengan basis individu. Gerakan kolektif menjadi keniscayaan.
Baca juga : Pertanian dan Petani Terpinggirkan
Organisasi ekonomi, seperti koperasi, menjadi simpul dari konsensus besar di sektor pertanian. Koperasi memungkinkan setiap petani menjadi pemilik, pelaku, dan penerima manfaat (dan tanggung jawab) atas gerakan ekonomi yang diperjuangkan.
Pada beberapa aspek, badan usaha milik desa (BUMDes) juga bisa masuk menopang gerakan ini, misalnya pada urusan terkait rantai pasok. Kolaborasi antara organisasi milik rakyat/komunitas (koperasi) dan lembaga ekonomi negara (desa) merupakan skema yang masuk akal demi menjemput kesejahteraan ekonomi di desa (petani).
Organisasi ekonomi, seperti koperasi, menjadi simpul dari konsensus besar di sektor pertanian.
Thailand dan Etiopia
Salah satu negara dengan sektor pertaniann yang dianggap maju 20 tahun terakhir ialah Thailand. Sekurangnya terdapat lima hal yang dilakukan Thailand (FFT-APR, 2019).
Pertama, meningkatkan kualitas petani dan kelembagaan petani dengan cara membentuk smart farmers (spesialisasi petani) dan smart agricultural group (komunitas petani) lewat implementasi inovasi dan teknologi (aplikasi). Kedua, meningkatkan produktivitas dan standar kualitas komoditas produk yang dibutuhkan masyarakat.
Baca juga : Memastikan Petani Sejahtera
Ketiga, menyediakan akses teknologi informasi/komunikasi bagi petani serta mengembangkan penelitian dan informasi komersial. Keempat, menyeimbangkan pembangunan pertanian berkelanjutan dan perlindungan lingkungan.
Kelima, mengembangkan sistem administrasi publik yang mengintegrasikan agensi semua sektor dengan sistem dan mekanisme modern (petani, peneliti, pengusaha, investor, pemerintah).
Di luar Thailand, negara lain di Benua Afrika yang gencar mereformasi sektor pertanian adalah Etiopia, yang sepuluh tahun terakhir memperdalam pembangunan sektor pertanian dengan tiga alas utama (ATA Ethiopia, 2017).
Pertama, mengerjakan reformasi struktur petani dengan cara membentuk komunitas petani dan reforma agraria. Petani kecil memiliki aset dan akses yang memadai untuk mengerjakan proses produksi sehingga kesejahteraan bisa digapai.
Kedua, pemberian hak milik lahan kepada petani lewat komunitas petani yang sudah terbentuk. Petani yang telah memiliki lahan boleh mempekerjakan orang lain untuk menggarap atau menyewakan lahan, tetapi tak boleh memperjualbelikan tanah.
Baca juga : Kompleksitas Tanah Negara
Ketiga, membuat strategi ADLI (agricultural development lead to industrialization): kebijakan pengembangan sektor industri, pembangunan perdesaan, dan ekonomi hijau. Ini langkah cerdik dan penting menjaga kesinambungan pembangunan pertanian.
Strategi ADLI ini dilupakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Mengaitkan isu pembangunan pertanian dengan sektor industri, perdesaan, dan ekonomi hijau merupakan tapak penting bagi masa depan.
Lima hal telah dikerjakan Etiopia dalam isu ini: (i) mengidentifikasi komoditas pertanian yang surplus dan bernilai tinggi sehingga bisa menguraikan pendekatan pertanian di setiap kategori; (ii) membangun infrastruktur dan manajemen perairan dalam mendukung peningkatan produktivitas pertanian (saluran irigasi); (iii) meningkatkan produktivitas pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan yang bisa diandalkan; (iv) mendukung spesialisasi pada aktivitas di sektor peternakan; dan (v) menaikkan investasi pada sektor pertanian melalui jasa pertanian, memperbaiki produktivitas, memperkuat penelitian pertanian, dan memperkuat pasar pertanian. Pada beberapa hal, sebetulnya ini juga telah diterapkan di Indonesia, tetapi konsistensinya belum terjaga.
Strategi ADLI ini dilupakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Inovasi kelembagaan
Salah satu isu pokok dalam mengeksekusi kebijakan dan strategi pelaksanaan adalah inovasi kelembagaan. Hargave (2006) secara implisit menyatakan, inovasi kelembagaan merupakan bagian dari perubahan kelembagaan.
Di beberapa negara, inovasi kelembagaan juga banyak dilakukan di pertanian, misalnya di China, Korea Selatan, Afrika Selatan, dan AS (khususnya inovasi kelembagaan pangan). Inovasi kelembagaan pertanian bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kebijakan pertanian dalam meningkatkan produksi hasil pertanian.
Baca juga : Transformasi Desa
Saat ini banyak dilakukan strategi riset dan pengembangan (R&D) sebagai upaya inovasi kelembagaan yang diharapkan berdampak pada efektivitas produksi pertanian (Maredia et al, 2014). Secara teknis, inovasi kelembagaan pertanian yang perlu dilakukan di Indonesia adalah mengembangkan pertanian melalui teknologi, termasuk pemanfaatan aplikasi untuk produksi dan distribusi.
Inovasi kelembagaan berikutnya, perubahan kelembagaan di level komunitas. Inovasi kelembagaan pada komunitas pendanaan di Inggris dan AS dilakukan dengan perubahan kelembagaan pada setiap peraturan (Daly, 2008).
Pengembangan sebuah komunitas seyogianya melalui perubahan kelembagaan yang diadopsi dari peraturan dan strategi pengembangan komunitas sukses lainnya. Inovasi kelembagaan komunitas pendanaan di Inggris mengadopsi peraturan dan strategi pengembangan komunitas pendanaan di AS dan Belanda sehingga menghasilkan efisiensi mekanisme pendanaan dan peningkatan jumlah pendonor.
Pada kasus Indonesia, inovasi kelembagaan pada level komunitas bisa dilakukan dengan dua jalur: (a) mengaktifkan peran kelompok tani dan riset tentang penerapan strategi kelompok tani; dan (b) strategi ”mekanisme tanam kolektif” (dalam sebuah kluster lahan) demi menyiasati kepemilikan lahan yang sangat sempit, khususnya di wilayah Jawa.
Baca juga : Ketimpangan Penguasaan Lahan
Pekerjaan rumah paling menantang dalam inovasi kelembagaan sektor pertanian adalah agenda reforma agraria. Kebijakan ini mengandung tingkat kesulitan tinggi karena menyangkut pembagian tanah, mekanisme pembagian lahan, penyiapan infrastruktur (jalan, irigasi, bendungan, dan lain-lain), dukungan produksi di awal program, rantai distribusi, dan lain-lain. Pada kasus penyediaan tanah, inovasi kelembagaan percepatan distribusi lahan dan kepastian hukum jadi agenda mendesak.
Pekerjaan rumah paling menantang dalam inovasi kelembagaan sektor pertanian adalah agenda reforma agraria.
Berikutnya, pembangunan infrastruktur akan dihambat oleh keterbatasan anggaran dan manajemen pengelolaan. Inovasi kelembagaan produksi dan pemasaran juga butuh kecermatan pemerintah karena mendesain penciptaan pasar yang tidak sederhana. Sungguhpun begitu, seluruh rancangan itu wajib dieksekusi karena situasi yang ada mengharuskan kebijakan reforma agraria dijalankan.
Jadi, konsensus pembangunan pertanian mesti dijaga dengan aklimatisasi kebijakan yang lebih utuh (seperti yang dilakukan Thailand dan Etiopia) dan inovasi kelembagaan yang holistik (seperti dilakukan Korsel, Inggris, dan AS).
Pelajaran pokok di Etiopia adalah menggandengkan pembangunan pertanian dengan wilayah perdesaan, penguatan sektor industri, dan kelestarian lingkungan. Situasi ini amat relevan dengan keadaan Indonesia.
Selanjutnya, menyusun aransemen inovasi kelembagaan, khususnya di pertanian dan industri. Inovasi kelembagaan pertanian dilakukan melalui R&D, penguatan komunitas petani, dan serangkaian instrumen penopang agenda reforma agraria.
Ini bukan agenda mudah dan sederhana, tetapi kerja raksasa yang butuh ketetapan hati dan kekuatan nalar. Ini mandat moral, bukan semata hasrat pencapaian material.
Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya; Ekonom Senior Indef