Mengapa Pendidikan di Indonesia Sulit Maju
Agar Indonesia bisa menjadi negara hebat, umat Islam harus bisa berprestasi hebat. Untuk itu, para ulama atau tokoh agama perlu mengarahkan umat Islam agar belajar dengan semangat yang tinggi.
Tajuk Rencana Kompas (20/11/2020), yang berjudul ”Memacu Pendidikan Indonesia”, menganalisis laporan perkembangan pendidikan di Indonesia yang diterbitkan Bank Dunia dan dimuat Kompas (19/11/2020) dengan judul ”Tantangan Pendidikan Semakin Rumit”.
Kesimpulan Tajuk Rencana ini: di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yang mengutamakan pembangunan SDM, harus ada target jelas yang akan dicapai oleh pemerintah untuk memperbaiki potret kurang bagus seperti disampaikan Bank Dunia. Tanpa target yang jelas, kita akan kehilangan pembelajaran (learning loss) seperti yang disinggung oleh laporan Bank Dunia.
Baca juga : Ketertinggalan Akademik Siswa Indonesia di Kancah Dunia
Hal ini akan muncul dari dua situasi. Pertama, karena kita belum menemukan strategi yang tepat untuk membangun pendidikan. Kedua, karena dampak pandemi.
Kemampuan siswa kita seperti tecermin dari skor PISA 2018 untuk kemampuan Membaca, Matematika, dan Sains secara berurutan adalah 371, 379, dan 396. Kemampuan siswa anak-anak Indonesia masih berada di bawah rata-rata peserta negara OECD. Indonesia telah mengikuti tes PISA sejak tahun 2000. Sayangnya, pengumuman hasil PISA selalu membawa kabar buruk. Prestasi siswa Indonesia sejauh ini belum menggembirakan.
Prestasi siswa Indonesia sejauh ini belum menggembirakan.
Kemampuan siswa Indonesia secara umum selalu berada di posisi paling akhir dan sejajar dengan negara-negara miskin dan berkonflik seperti ditulis Doni Koesoema A (Kompas, 6/12/2019), ”Belajar dari Pisa”.
Mengapa kita sulit sekali menggenjot prestasi di bidang pendidikan? Padahal, seperti yang dikemukakan oleh Tajuk Rencana di atas, kita telah memberikan perhatian cukup besar terhadap pendidikan dan ini tecermin dengan meningkatnya dana pendidikan sekitar 200 persen sejak 2002.
Baca juga : Belajar dari PISA
Apa penyebabnya? Kita harus serius mencari akar masalah dari semua ini. Karena begitu banyak dana yang sudah dikucurkan dan begitu banyak energi yang sudah kita berikan. Seakan-akan kita hanya menjaring angin atau memasukkan air dalam keranjang. Pekerjaan yang sia-sia.
Pandangan umat Islam
Saya ingin menjawab pertanyaan itu dan menganalisis dari sisi yang selama ini belum pernah dibicarakan dan didiskusikan secara terbuka. Namun, mengingat dana dan energi yang telah kita keluarkan begitu banyak, kita harus mendiskusikan masalah ini secara serius dan terbuka.
Apa masalahnya? Masalahnya adalah sikap atau pandangan umat Islam terhadap menuntut ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sering sekali para ustaz atau mubalig yang mengarahkan umat Islam untuk lebih mengutamakan ilmu yang terkait agama Islam atau ilmu akhirat daripada ilmu dunia. Memang, seakan-akan masalah ini terlihat sepele.
Baca juga : Masa Depan Pendidikan Tinggi dan Universitas
Saya berpendapat, hal itu masalah yang amat serius. Karena itu, menyangkut pandangan hidup, keyakinan, dan menjadi sesuatu yang harus diikuti dan dijalani. Akibat dari pandangan hidup yang seperti itu, konsekuensinya sangat panjang dan sangat serius pula.
Akibat dari pandangan hidup seperti itu, para siswa atau mahasiswa kita menjadi terbelah pikirannya dan tidak fokus dalam mengejar dan menuntut ilmu dunia. Dengan pikiran yang terbelah dan tidak fokus seperti ini, sangat sulit para siswa dan mahasiswa memacu prestasi maksimal.
Dengan pikiran yang terbelah dan tidak fokus seperti ini, sangat sulit para siswa dan mahasiswa memacu prestasi maksimal.
Persoalan menomorduakan ilmu dunia ini tidak saja memecah pikiran dan melemahkan daya juang belajar para siswa dan mahasiswa, tetapi juga guru, dosen, dan masyarakat biasa. Ketika terus-menerus diberi masukan, bahwa ilmu dunia kurang penting, sedikit demi sedikit akan meruntuhkan moral siswa, mahasiswa, guru, dan dosen untuk belajar keras.
Pernah dalam suatu grup WA saya temukan posting-an bahwa di akhirat nanti tidak ada pertanyaan tentang matematika. Dalam kesempatan lain, saya temukan juga pesan di media sosial bahwa di akhirat nanti masalah TOEFL tidak akan dibahas. Kalimat-kalimat ini terlihat lucu, tetapi sekaligus meruntuhkan moral kita untuk belajar keras!
Baca juga : Pendidikan di Masa Sulit
Apa sebab persoalan ini menjadi sangat penting? Karena umat Islam merupakan mayoritas di negeri ini, maka kualitas umat Islam sangat memengaruhi statistik di negara kita. Kalau kualitas umat Islam terpuruk, secara statistik Indonesia menjadi negara yang terpuruk juga. Sebaliknya, apabila umat Islam berkualitas tinggi, Indonesia berpotensi menjadi negara maju.
Tujuan hidup
Apa tujuan umat Islam hidup di dunia ini? Secara sederhana ada dua: tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka panjang, tujuan umat Islam, seperti umat beragama lainnya juga, ingin mencapai surga. Bagaimana caranya agar umat Islam bisa mencapai surga?
Caranya, seperti umat beragama lainnya, umat Islam harus meyakini kebenaran kitab sucinya. Umat Islam harus memercayai dan meyakini kebenaran Al Quran. Dalam Al Quran banyak sekali ayat yang membicarakan tentang sains dan teknologi. Dan untuk memahaminya diperlukan ilmu dunia: matematika, ekonomi, biologi, fisika, astronomi, dan lain-lain.
Baca juga : 74 Tahun Indonesia, Kitab Suci Paling Banyak Dibaca Masyarakat
Oleh sebab itu, dalam upaya menjangkau tujuan jangka panjang itu, umat Islam harus mempunyai tujuan jangka pendeknya, yaitu mempelajari ilmu-ilmu dunia yang diajarkan di level pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Tanpa ilmu-ilmu dunia ini, umat Islam akan sulit memahami Al Quran secara mendalam.
Di samping untuk memahami Al Quran, ilmu dunia ini juga, dalam jangka pendek, sangat penting bagi umat Islam untuk memperoleh pekerjaan. Tanpa modal ilmu dunia ini, umat Islam akan sulit berprestasi, dan dengan demikian akan kesulitan mencari pekerjaan yang layak.
Selama ini seakan-akan umat Islam merasa disingkirkan di negara ini dan di dunia internasional.
Selama ini, seakan-akan umat Islam merasa disingkirkan di negara ini dan di dunia internasional. Perasaan tersingkir ini terkait dengan prestasi yang dicapai umat Islam dalam penguasaan sains dan teknologi. Dunia kerja sangat terkait dengan kompetensi seseorang.
Orang yang berkompetensi rendah akan sulit mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Orang yang berkompetensi rendah juga akan sulit untuk diterima dunia kerja, apa pun agamanya.
Dunia kerja yang netral
Baru-baru ini, ada berita yang viral di media sosial bahwa BioNTech, perusahaan yang didirikan pasangan Muslim, Ugur Sahin dan istrinya, Ozlem Tureci, bersama rekan-rekan mereka yang lain, pada 2008 dan didanai Pfizer mengumumkan bahwa vaksin yang mereka kembangkan terbukti efektif 90 persen dalam mencegah Covid-19.
Hal ini diumumkan seusai vaksin tersebut selesai melalui pengujian tahap ketiga. Mereka bekerja sebagai ilmuwan di Rumah Sakit Universitas Mainz, Jerman. Mereka diterima dengan baik oleh komunitas Jerman.
Baca juga : Kolaborasi Vaksin Covid-19 BioNTech-Pfizer, Melampaui Rivalitas Seribu Tahun
Mohamed Salah juga melalui prestasinya yang mengagumkan di Liverpool sangat dicintai oleh fans kesebelasan Liverpool dari berbagai lintas agama. Sindhunata (Kompas, 26/5/2018), dengan judul tulisannya ”Bahasa Damai dari Kaki Mo Salah”, dengan sangat indah melukiskan betapa Salah dapat berprestasi dengan hebat, tanpa hambatan psikologis terkait agama.
Baca juga : Bahasa Damai dari Kaki Mo Salah
Apa artinya ini semua? Dunia, khususnya dunia kerja, sangat netral. Hanya yang berprestasi yang bisa menaklukkan dunia kerja. Yang berkompetensi rendah dan tidak punya prestasi akan tersingkir dari dunia kerja.
Oleh sebab itu, para ustaz, mubalig, habib, dan pemimpin umat Islam lainnya harus menyadari masalah ini dan mengarahkan umat Islam agar belajar dengan semangat yang tinggi. Agar umat Islam bisa berprestasi hebat. Untuk apa? Agar Indonesia bisa menjadi negara hebat. Agar umat Islam bisa memahami Al Quran dengan baik sehingga bisa menambah keimanan.
Agar umat Islam dapat lebih mudah untuk mencapai level pendidikan yang lebih tinggi serta dapat lebih mudah mencari pekerjaan yang layak. Atau dalam bahasa Al Quran: agar umat Islam berbahagia di dunia dan akhirat.
Syamsul Rizal Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.