Menangani Pengangguran di Masa Pandemi Covid-19
Meski belum mencapai kondisi seperti sebelum pandemi, sinyal menuju pemulihan terlihat jelas. Pada gilirannya situasi ketenagakerjaan juga diharapkan membaik.
Badan Pusat Statistik telah mengumumkan situasi terkini perekonomian, termasuk di dalamnya masalah ketenagakerjaan. Antara lain disampaikan bahwa terjadi peningkatan jumlah penganggur sebanyak 3,67 juta orang sehingga secara keseluruhan jumlahnya menjadi 9,77 juta per Agustus 2020. Implikasinya, angka pengangguran naik dari 5,23 persen (Agustus 2019) menjadi 7,07 persen.
Lonjakan jumlah penganggur tidak menggembirakan, tetapi sama sekali tidak mengejutkan. Per teori, permintaan tenaga kerja merupakan ”turunan” permintaan terhadap output (barang/jasa). Kebutuhan tenaga kerja hanya muncul jika ada proses produksi yang didorong oleh permintaan terhadap barang/jasa.
Padahal, masalah utama yang dihadapi dunia usaha saat ini adalah merosotnya permintaan akibat pembatasan mobilitas dan penurunan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, secara umum produksi turun dan sebagai konsekuensinya permintaan terhadap tenaga kerja juga turun.
Baca juga: Daya Beli Masyarakat Belum Terangkat
Wujud penurunan permintaan tenaga kerja adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sangat sedikitnya penyerapan tenaga kerja baru. Praktis hanya unit-unit usaha yang masih tumbuh positif saat pandemi yang menambah jumlah pekerja.
Semua itu berkontribusi pada peningkatan jumlah penganggur seperti yang disampaikan BPS. Peningkatan jumlah penganggur terutama disebabkan oleh angkatan kerja baru yang tidak tertampung oleh dunia usaha akibat sangat terbatasnya perekrutan baru.
Lonjakan jumlah penganggur memang tidak menggembirakan, tetapi sama sekali tidak mengejutkan.
Perubahan struktur
Akan tetapi, dampak pandemi Covid-19 terhadap pasar kerja sebenarnya tidak hanya tecermin dari naiknya angka pengangguran. Penurunan jumlah pekerja ternyata ’hanya’ 310.000 orang, jauh di bawah perkiraan PHK yang terjadi di masa pandemi. Padahal, berbagai pihak memperkirakan ada lebih dari satu juta orang kehilangan pekerjaan akibat Covid-19. Secara logika, dengan terbatasnya perekrutan karyawan baru, peningkatan jumlah penganggur setidaknya harus lebih besar daripada jumlah pekerja yang terkena PHK.
Baca Juga: Mencermati Angka Pengangguran
Ternyata, hal itu tidak terjadi. Diduga karena banyak di antara yang terkena PHK kemudian mencari nafkah sebagai pekerja paruh waktu dengan penghasilan seadanya. Data BPS menguatkan sinyalemen tersebut.
Dibandingkan dengan kondisi tahun 2019, jumlah pekerja penuh turun 9,46 juta. Sebaliknya, jumlah pekerja tidak penuh mengalami peningkatan sebesar 9,15 juta orang. Itulah yang menyebabkan penurunan jumlah pekerja tidak terlalu besar di saat dunia usaha terpukul hebat di masa pandemi.
Secara kasatmata, hal itu teramati dari munculnya pedagang/pengusaha informal baru. Hal yang sama juga terjadi pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1998.
Struktur pekerja menurut lapangan pekerjaan juga berubah. Di luar sektor pertanian yang memang pertumbuhan output-nya masih positif, proporsi pekerja di perdagangan naik 0,46 persen poin pada saat pertumbuhan output-nya negatif 5,03 persen. Hal ini dimungkinkan karena perdagangan adalah sektor yang paling mudah dimasuki karena mayoritas bersifat informal.
Secara makro peranannya dalam pertumbuhan PDB mungkin sangat kecil, tetapi sektor perdagangan informal selalu mampu menyerap tenaga kerja baru. Korban PHK, juga sebagian angkatan kerja baru, banyak masuk ke sana.
Struktur pekerja menurut status pekerjaan juga berubah. Terjadi peningkatan proporsi pekerja informal (berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja tidak dibayar, dan pekerja bebas), yaitu dari 55,88 persen (Agustus 2019) menjadi 60,47 persen.
Sementara proporsi pekerja formal (buruh/karyawan dan berusaha dibantu buruh tetap) mengalami penurunan dari 44,12 persen menjadi 39,53 persen. Data tersebut menegaskan sinyalemen pergeseran dari formal ke informal yang telah disampaikan sebelumnya.
Struktur pekerja menurut lapangan pekerjaan juga berubah.
Selain perubahan struktur, partisipasi angkatan kerja juga berubah akibat pandemi. BPS mencatat peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan di periode sebelumnya (2018-2019). Perkembangan TPAK perempuan selama tiga tahun terakhir adalah 51,80 persen (2018), 51,81 persen (2019), 53,13 persen (2020).
Angka di atas menunjukkan pandemi telah memaksa banyak perempuan untuk aktif di pasar kerja. Seperti terjadi saat krisis 1998, situasi perekonomian yang sulit menyebabkan banyak rumah tangga mengerahkan seluruh potensi SDM-nya untuk mencari uang.
Berbagai situasi tersebut menunjukkan bahwa dampak pandemi di pasar kerja tidak hanya tecermin dari peningkatan jumlah penganggur. Ada perubahan-perubahan lain yang terjadi, yaitu peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan, peningkatan jumlah pekerja informal, peningkatan jumlah pekerja tidak penuh, serta peningkatan pekerja di sektor perdagangan.
Program PEN
Semua hal tersebut memiliki implikasi pada kesejahteraan. Status sebagai penganggur jelas membuat orang kehilangan sumber penghasilan. Sementara itu, pergeseran dari pekerjaan formal ke informal dan bersifat tidak penuh memang tidak membuat orang kehilangan status sebagai pekerja, tetapi membuat mayoritas mereka hanya berpenghasilan rendah.
Situasi pasar tenaga kerja ini sudah diantisipasi pemerintah dengan meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dilaksanakan sejak Juni 2020. Meski program tersebut dirancang tidak hanya untuk mengatasi masalah di pasar tenaga kerja, implikasinya terhadap pengangguran sangat besar.
Baca Juga: Menyambut Jaminan bagi Pengangguran
Sebagian dari program PEN ditujukan untuk penciptaan lapangan kerja secara langsung, seperti program padat karya yang dilaksanakan melalui beberapa kementerian. Kesempatan kerja yang diciptakan oleh program-program seperti ini tidak bersifat jangka panjang dan skalanya juga terbatas.
Pada akhirnya yang lebih banyak berperan mengatasi pengangguran adalah unit-unit usaha swasta, sedangkan pemerintah berperan pada upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi mereka, termasuk menghilangkan hambatan-hambatan yang tidak perlu.
Semua hal tersebut memiliki implikasi pada kesejahteraan.
Selain program yang secara langsung menciptakan lapangan pekerjaan, ada juga yang bersifat tidak langsung. Dalam program PEN bentuknya adalah pemberian insentif dan dukungan bagi dunia usaha (termasuk UMKM) agar tetap bisa beroperasi dan mempertahankan pekerjanya di masa pandemi Covid-19.
Berbagai unit usaha diberi akses lebih besar terhadap berbagai sumber modal, diberi fasilitas penjaminan, bahkan ada bantuan (hibah) tunai kepada pelaku usaha mikro, hibah bagi pelaku usaha pariwisata, keringanan pajak, penempatan dana bagi BUMN, dan sebagainya. Mengingat peran penting UMKM (khususnya usaha mikro) dalam penyerapan tenaga kerja, sektor ini mendapat perhatian sangat besar dan mendapatkan alokasi anggaran terbesar dalam program PEN.
Selain itu, ada kluster program Perlindungan Sosial dalam PEN yang pada intinya ditujukan untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Jika daya beli bisa dipertahankan, atau setidaknya agar tidak turun terlalu banyak, permintaan terhadap barang/jasa juga bisa dijaga. Pada gilirannya, kegiatan produksi diusahakan semaksimal mungkin untuk tetap berjalan dan unit-unit usaha dapat mempertahankan pekerjanya.
Bahkan, dalam kluster Perlindungan Sosial ada program Kartu Prakerja yang membidik masalah pengangguran dari sisi penawaran. Keterampilan tenaga kerja ditingkatkan melalui berbagai pelatihan yang dibiayai oleh pemerintah, dengan harapan dapat meningkatkan employability atau peluang mereka untuk bekerja.
Baca juga : Kartu Prakerja, Masalah dan Solusi
Terlepas dari perlunya perbaikan di berbagai aspek, data menunjukkan, sinyal pemulihan ekonomi memang mulai terlihat dan ini tak dapat dilepaskan dari peranan program PEN. PMI (Purchasing Managers Index), Indeks Keyakinan Konsumen, penjualan kendaraan, penjualan semen, dan sebagainya menunjukkan tren peningkatan.
Meski belum mencapai kondisi seperti sebelum pandemi, sinyal menuju pemulihan terlihat jelas. Pada gilirannya situasi ketenagakerjaan juga diharapkan membaik.
Dalam jangka lebih panjang, implementasi dan efektivitas UU Cipta Kerja layak ditunggu. Kemudahan berusaha yang menjadi esensi UU Cipta Kerja diharapkan akan mampu mendongkrak investasi dan menciptakan lapangan kerja baru, khususnya bagi angkatan kerja baru yang terus bertambah setiap tahun.
Edy Priyono, Dosen FEB Universitas Indonesia dan Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden)