Jalan Terjal Ekosistem Televisi Digital
Keterbatasan sumber daya yang dihadapi KPID di seluruh Indonesia memprihatinkan. Mereka adalah telinga dan mata regulator penyiaran garis depan yang paling dekat dengan masyarakat lokal dalam konsumsi siaran digital.
Tak seperti biasanya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tiba-tiba tergopoh-gopoh mengampanyekan transformasi penyiaran dari analog ke digital.
Isu yang sempat kembang kempis ini kembali menemukan momentumnya setelah pengesahan UU Cipta Kerja yang salah satunya mengatur secara saksama ihwal penyiaran digital. Sejak awal energi untuk menerapkan sistem digital tampak kendur. Transformasi siaran digital—terutama televisi—yang seharusnya dirancang untuk mewujudkan sebuah tatanan the information superhighway karena sejumlah kendala pemerintah, justru seperti melaju lambat.
Baca juga: Digitalisasi Penyiaran Perlu Dibahas Mendalam
Sebelumnya, pada 2018, pemerintah melakukan proses uji coba terhadap televisi digital. Uji coba televisi digital di 20 kota dengan menggandeng Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan 36 Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Baru permulaan, uji coba langsung memunculkan pesimisme terhadap migrasi digital televisi analog ke televisi digital karena revisi aturan penyiaran belum selesai.
UU Cipta Kerja kemudian hadir menjadi semacam oase di tengah ketidakpastian perihal ini, ekspresi pemangku kepentingan kemudian seperti menggelegak dan penuh sukacita.
Sejak awal energi untuk menerapkan sistem digital tampak kendur.
UU Cipta Kerja mengakomodasi kebijakan siaran televisi analog yang akan ”dikubur hidup-hidup” pada 2022 dan beralih total ke penyiaran digital. Dalam beberapa kesempatan KPI dan Kementerian Kominfo intens mengampanyekan literasi penyiaran digital, tetapi di sisi lain dalam UU Cipta Kerja aturan mengenai digitalisasi bias.
Bias yang dimaksud di sini, yakni televisi digital diatur dengan peraturan pemerintah, bukan pada skala UU sehingga campur tangan Kementerian Kominfo akan dominan, sedangkan KPI melalui UU Penyiaran yang hingga kini tak kunjung tuntas hanya tampak menjadi andai dan simpatisan yang tak punya otoritas signifikan.
Baca juga: Apa Kabar Penyiaran Digital di Indonesia?
Jika pun KPI harus menangani persoalan konten setelah dipasung melalui UU Cipta Kerja dalam konteks perizinan dan penyusunan sanksi administrasi, akan besar sumber daya yang dibutuhkan, terutama KPI daerah yang masih sangat terbatas. Jika tidak dikoordinasikan secara tepat, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) akan lumpuh menghadapi proyek ambisius pemerintah ini.
Kendala teknis
Dalih yang didemonstrasikan oleh pemerintah selalu bersifat by perforce; semacam keterpaksaan karena negara lain sudah lebih awal menerapkan. Seperti ingin memperbaiki ketertinggalan dari negara lain, terutama negara-negara Asia Tenggara yang sudah melakukan Analog Switch Off (ASO) lebih awal, padahal perbendaharaan dan medan area masih sangat terjal.
Harus diakui bahwa sistem penyiaran digital dapat mentransmisikan gambar dengan resolusi 720 hingga 1.080 garis horizontal dibandingkan dengan 480 baris televisi (analog) dengan menawarkan sinyal bebas gangguan. Di sisi lain ada problem teknis yang pelik. Salah satunya berkelindan dalam ranah catu daya yang tidak memadai.
Baca juga: Peran Komisi Penyiaran Indonesia Semakin Berkurang
Catu daya epilepsi di Indonesia akan menghasilkan penggunaan pembangkit listrik yang akan meningkatkan biaya operasional yang tidak sedikit. Jika pemerintah tak hati-hati justru akan mempersulit pemerintah sendiri.
Jika pemerintah tak hati-hati justru akan mempersulit pemerintah sendiri.
Persyaratan teknis juga jadi kendala karena pemerintah akan memerlukan investasi besar untuk melatih personel di berbagai bidang seperti perangkat keras instalasi dan konfigurasi perangkat lunak. Kecuali pemerintah sudah siap siaga, masalah teknis mungkin bisa diatasi. Namun, jika tidak, akan menjadi beban berat karena meskipun dikebut, ujung-ujungnya akan berpotensi mangkrak.
Gairah alih teknologi ke digital sesungguhnya sudah tampak klise. Ketika pijakannya adalah negara Singapura yang sudah sejak 2004 meluncurkan televisi digital dan Malaysia yang sudah melakukan uji coba sejak 1998, di Indonesia konteksnya berbeda.
Dulu, belum familiar layanan Over the Top (OTT), seperti video on demand yang ada di Youtube ataupun media lainnya. Sebab, ada kecenderungan bahwa televisi digital oleh sebagian masyarakat masih dimaknai sebatas siaran streaming an sich yang dengan mudahnya mereka akses menggunakan jaringan internet. Padahal, televisi digital berbeda, ia jenis televisi yang menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyiarkan sinyal video, audio, dan data ke pesawat televisi (Syaidah, 2013).
Baca juga: Digitalisasi Televisi Dipercepat
Tafsir sebagian masyarakat ini kemudian memberikan satu impresi tentang cara pandang atas ekosistem penyiaran yang melebar. Bagi mereka digitalisasi tidak terlalu signifikan karena mereka dapat mengakses siaran melalui model OTT di Youtube, Twitter, dan sejenisnya. Sebab, hampir semua lembaga penyiaran memiliki akun di layanan ini.
Jika pun akan memfasilitasi lebih banyak pilihan bagi pemirsa karena digitalisasi—bila menggunakan multimux—memungkinkan satu frekuensi dapat menyiarkan enam hingga delapan kanal televisi dari hanya satu di sistem analog, tetapi apabila serempak dengan menjamurnya siaran model OTT lewat video on demand, seberapa prinsipil peran dan pengaruhnya bagi sosial kemasyarakatan kita?
Sejak awal, praktik digitalisasi dalam tataran paradigmatik tak banyak memberikan perubahan. Berbeda dengan digitalisasi media cetak yang memberikan banyak warna dari peralihan kertas ke digital, yang telah mengubah standar kerja, biaya, kompetensi jurnalis, dan bisnis dalam skala luas.
Sejak awal praktik digitalisasi dalam tataran paradigmatik tak banyak memberikan perubahan.
Digitalisasi televisi berbicara kualitas video dan audio dengan kualitas yang lebih tinggi. Dengan kualitas gambar audio yang akan ditawarkan hingga 1.080 garis vertikal dan 1.920 piksel horizontal (Bakare dan Ekeocha, 2018). Titik mendasar perubahannya hanya bertumpu pada persoalan kejernihan layar dan kemurnian suara.
Jika pun perlu ada kontrol secara ketat karena ada penambahan variasi konten dalam jumlah yang besar, dengan kewenangan KPI dan KPID sekarang, jelas ini sangat tidak masuk akal. Kecuali memang secara politik kebijakan ini telah didesain dan diarahkan condong ke konglomerasi dan monopoli kapital sehingga basis pengawasan konten, bahkan izin siaran dan sanksi, akan terasa lunak.
Transformasi total
Digitalisasi di satu sisi dapat menjanjikan banyak hal. Oleh sebagian kalangan, diyakini berpotensi memacu kontribusi pada aspek ekonomi, sosial, dan teknologi. Akan tetapi, alih-alih transformasi tersebut masih menyisakan kesenjangan dalam preferensi kesadaran teknologi informasi. Konsentrasi digitalisasi masih terpusat di daerah perkotaan, sedangkan daerah perdesaan memiliki kemampuan yang terbatas.
Belum lagi persoalan perbendaharaan ekonomi untuk memperoleh Set Top Box (STB). Jika pemerintah ingin membantu sebanyak 6,7 juta STB gratis untuk rakyat miskin, maka untuk masyarakat dengan ekonomi kelas menengah tanggung alokasi harga juga dipastikan kompetitif dan terjangkau.
Mentransformasikan soal alih medium teknologi ke masyarakat tentu lebih mudah daripada transformasi konten siaran menjadi kecerdasan dan kecakapan publik. Yang pertama, urusan proyek teknis dan yang kedua soal kepastian masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia sebagaimana amanat UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, Pasal 8 (3). Urusan kedua tersebut merupakan tanggung jawab KPI, terutama KPID.
Keterbatasan sumber daya yang dihadapi KPID di seluruh Indonesia sangat memprihatinkan. Menghadapi gempuran televisi jaringan saja mereka setengah mati. Dalam alih teknologi ini, peraturan-peraturan yang memperkuat ruang gerak dan sumber daya KPID—baik melalui revisi UU Penyiaran, perda, maupun peraturan gubernur—perlu ditopang secara optimal. Sebab, mereka adalah telinga dan mata regulator penyiaran garis depan yang paling dekat dengan kecenderungan masyarakat lokal dalam mengonsumsi siaran digital.
Fathorrahman Hasbul, Peneliti Media dan Komunikasi Politik; Alumnus Magister Ilmu Komunikasi UGM.