Indonesia dalam Diskursus Indo-Pasifik
Tantangan besar yang menanti di depan mata adalah bagaimana Indonesia akan mampu ”merealisasikan atau mewujudkan” konsep Indo-Pasifik sebagai sebuah ”bingkai” kerja sama multilateral dan bersifat inklusif.
Istilah Indo-Pasifik akhir-akhir ini menjadi makin populer di berbagai media massa Indonesia. Publik pun mulai memahami jargon-jargon yang kerap dikaitkan, antara lain inklusivitas dan stabilitas regional, termasuk munculnya ide, wacana, atau pemikiran tentang sebuah konstruksi sosial, hingga diskursus terkait China.
Kunjungan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga ke Indonesia pada 20 Oktober 2020 dan kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo, 29 Oktober 2020, ke Jakarta menjadikan istilah Indo-Pasifik makin mengemuka. Kunjungan ini pun mendapat sorotan tajam dari China, di mana dirinya memiliki konsep Indo-Pasifik-nya sendiri yang cukup dikenal luas, yaitu Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI).
Baca juga: Indonesia dan Jepang Sepakat Jaga Stabilitas di Indo-Pasifik
Indonesia sendiri merupakan episentrum dari konsep Indo-Pasifik yang terbentuk dari ilustrasi yang berkembang dengan berbagai pandangan yang berbeda. Ditinjau dari aspek formasi geografis, Indonesia menghubungkan dua lautan besar dunia, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, sehingga konsep geopolitik dan geostrategis menjadikan Indonesia incaran mitra strategis negara-negara major power saat ini.
Lalu, apa itu sesungguhnya Indo-Pasifik dan apa maknanya bagi Indonesia?
Konsep Indo-Pasifik
Istilah Indo-Pasifik pada hakikatnya merupakan formasi biogeografis alam laut bumi yang luas serta terpetakan dari perairan Samudra Hindia, Samudra Pasifik Barat dan Tengah, yang kemudian terhubung oleh Laut China Selatan.
Bisa juga dinyatakan, Indonesia sebagai penghubung biogeografis wilayah perairan Indo-Pasifik melalui kepulauan Nusantara. Hal ini memberi premis bahwa istilah Indo-Pasifik bukan sesuatu yang mengada-ada, melainkan secara ilmiah, Indo-Pasifik sebagai sebuah kawasan geopolitik itu legitimate eksistensinya.
Bisa juga dinyatakan, Indonesia sebagai penghubung biogeografis wilayah perairan Indo-Pasifik melalui kepulauan Nusantara.
Selanjutnya konsep Indo-Pasifik berevolusi menjadi konstruksi sosial hubungan internasional sebagai sebuah kerja sama regional ataupun grand strategy politik, perdagangan, ekonomi, serta militer dalam menata ulang tatanan hukum dan kebebasan navigasi berlandaskan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 dengan tujuan membentuk wilayah Indo-Pasifik yang inklusif dan damai.
Selain itu, konsep Indo-Pasifik pun berbeda dengan konsep Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang lebih berfokus pada kerja sama ekonomi dan keanggotaannya belum sepenuhnya merepresentasikan Asia dan Pasifik. Pada akhirnya, tampaknya bahwa ”filosofi laut” sebagai ”pemersatu dunia” menjadi relevan sebagai titik tolak untuk memahami konsep kerja sama global saat ini, khususnya dalam mendalami konsep Indo-Pasifik.
Baca juga: Amerika di Bawah Biden, dan Asia Tenggara
Lalu apa sesungguhnya Indo-Pasifik di masa kini bagi para ”negara-bangsa”? Perdebatan pemaknaan istilah Indo-Pasifik ini pun berkembang dari berbagai dimensi. Para cendekiawan bahkan menilai hal ini hanya sebagai bentuk cara pandang ”geopolitik baru” bagi Amerika Serikat dalam memperbarui pengaruh serta mendefinisikan pandangan terhadap Asia Pasifik dengan latar belakang berkembangnya peran geostrategis India serta diskursus politik dengan China.
Namun, argumentasi ini pun kerap dibantah para pakar dengan dalih Indo-Pasifik menjadi cita-cita baru dalam kerangka cooperative security, yaitu bentuk kerja sama keamanan regional yang sama sekali tidak memiliki maksud atau tujuan untuk menyudutkan pihak tertentu.
Padahal, jika merunut sejarahnya, sesungguhnya konsep Indo-Pasifik telah muncul atau lahir dan berkembang jauh sebelum munculnya pandangan yang mengidentikkan kawasan geopolitik Indo-Pasifik kepada Amerika Serikat.
Pada 2007, pidato Perdana Menteri Jepang saat itu, Shinzo Abe, di hadapan Parlemen India yang dikenang dengan judul ”Confluence of the Two Seas” menjadi roh semangat dimulainya konsep geostrategis Indo-Pasifik pada abad ke-21.
Baca juga: Jepang-Vietnam Sepakati Kerja Sama Pertahanan untuk Indo-Pasifik Terbuka
Tokyo sendiri mempromosikan istilah ”Free and Open Indo-Pacific Strategy”, pemikiran akan pentingnya keadilan dalam kerja sama perdagangan internasional yang berlandaskan penghormatan hukum dan norma-norma yang adil, makmur, dan sentosa.
Dengan demikian, tak heran jika Perdana Menteri Yoshihide Suga sebagai nakhoda baru pemerintahan Jepang dan dikenal sebagai ”sosok spesialis” dalam menyelesaikan tugas tampil percaya diri dan menjadi leading sector dalam mewujudkan impian sebuah Indo-Pasifik yang inklusif dan damai.
Kunjungannya ke Vietnam dan Indonesia baru-baru ini makin memperkuat asumsi tersebut. Selain itu, Jepang sendiri memiliki kepentingan langsung di wilayah ini, baik kepentingan ekonomi di Asia Tenggara maupun diskursus hubungan dengan China dan Korea Utara dalam konteks Laut China Timur (East China Sea).
Kunjungannya ke Vietnam dan Indonesia baru-baru ini makin memperkuat asumsi tersebut.
Lebih jauh, India pun memiliki visi Indo-Pasifik yang inklusif dan sejalan dengan Jepang. Konsepsi modern Indo-Pasifik kemudian mengerucut menempatkan sentralitas India sebagai penyeimbang dan poros antara negara maju di Asia Pasifik dan negara berkembang di Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga Afrika Timur.
Melalui kebijakan luar negeri India, Act East Policy, baik Amerika Serikat maupun Jepang mendesak India untuk memainkan atau mengambil peran yang lebih besar dalam menjaga keamanan kawasan.
Peran besar ini tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi India yang pesat serta sebagai salah satu negara yang paling aktif dalam misi perdamaian PBB. Sejarah identitas sosio-kultural India dengan negara-negara berkembang pun dianggap sebagai ”nilai plus” dalam diplomasi Indo-Pasifik.
Baca juga: Empat Negara Quad Satukan Tekad di Kawasan Indo-Pasifik
Tanpa memerlukan waktu lama, Perdana Menteri India Narendra Modi telah menjadi motor penggerak konsep Indo-Pasifik melalui berbagai forum multilateral ataupun bilateral. Dalam hal ini, Washington DC kemudian memproyeksikan India sebagai pengimbang China, yang mana pendapat ini kemudian dibantah oleh pemerintahan di New Delhi.
Sementara itu, India sendiri memiliki cara pandang yang unik, di mana konsep Indo-Pasifik dipandang sebagai ”konsep inklusif”, yaitu adanya keterlibatan China walaupun pemerintahan di Beijing tampaknya mengkhawatirkan hal ini sebagai upaya menyaingi proyek infrastruktur BRI miliknya.
Terlepas dari kekhawatiran Beijing, pembentukan kesepahaman (understanding) antara Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia sudah melangkah lebih jauh yang terwujud melalui sebuah forum informal yang disebut The Quadrilateral Security Dialogue (populer disebut ”The Quad”). Keempat negara ini tergolong kompak dan sigap dalam menangkal isu-isu terkait China akhir-akhir ini, bahkan berani melangkah lebih konkret lagi dengan mengadakan latihan militer gabungan yang dilakukan di Samudra Hindia ataupun Laut China Selatan.
Uniknya, The Quad secara kompak sependapat tentang arti penting negara-negara Asia Tenggara untuk mewujudkan cita-cita terbentuknya konsensus Indo-Pasifik. Menyikapi desakan ini dan dalam rangka antisipasi terjadinya persaingan hegemoni di kawasan ASEAN, Indonesia tampil sebagai pemimpin dan penggagas utama konsep ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (Sikap ASEAN terhadap Indo-Pasifik) dengan penekanan pada instrumen dan nilai-nilai ”sentralitas ASEAN”.
Baca juga: Quad Menjajaki ASEAN, China Berupaya Menghalangi
Langkah pemerintahan Presiden Jokowi ini tampaknya menjadi pemikiran paripurna yang untuk saat ini dapat diterima semua pihak. Bahkan, Perancis, Jerman, dan Uni Eropa juga ”mengekornya” dan membuat konsep strategis Indo-Pasifik yang serupa dengan ASEAN. Namun, akankah ASEAN berhasil meyakinkan Presiden China Xi Jinping terkait retorika Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka?
Menariknya, beberapa ketegangan politik ini terjadi tepat di ’halaman belakang’ batas-batasn NKRI.
Kepentingan Indonesia
Kawasan Indo-Pasifik diketahui sebagai daerah yang kaya bahan baku, minyak, gas, dan sumber daya alam lain yang telah menyerap banyak sumber daya manusia, modal/investasi, serta menjadi jalur utama pelayaran dunia sehingga secara geostrategis kawasan ini telah menjadi roda perputaran ekonomi dunia yang utama.
Seiring dengan ”nilai plus” tersebut, wilayah Indo-Pasifik ternyata juga dipandang sebagai daerah yang rawan konflik antarnegaranya, di antaranya konflik klasik Korea Utara-Korea Selatan, Korea Utara dengan Jepang, ketegangan berkali-kali antara India dan China, perseteruan India-Pakistan, hingga munculnya berkali-kali ketegangan di Laut China Timur dan Laut China Selatan yang kelihatannya tak kunjung tuntas.
Menariknya, beberapa ketegangan politik ini terjadi tepat di ”halaman belakang” batas-batas NKRI. Dalam hal ini, Indonesia memiliki kepentingan nasional untuk menjaga kekayaan alam serta batas-batas wilayah negaranya untuk tujuan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3), serta Pasal 25A dan Pasal 30 Ayat (2). Dengan demikian, sangat relevan bagi Indonesia untuk berpacu pada logika ”konsekuensi perubahan waktu” dalam konteks diplomasi global melalui teori pertahanan cooperative security.
Lebih jauh lagi, identitas modern Indonesia sudah tak lagi sebatas pada garis-garis peta perbatasan NKRI, tetapi secara roh haluan politik luar negerinya telah melampaui ruang dan waktu dari teori state centris menuju pemimpin dalam kerangka regional compulsion.
Dengan demikian, bisa saja kita membuat premis baru dengan mengatakan bahwa sesungguhnya batas-batas NKRI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari peta politik ASEAN secara menyeluruh. Sebaliknya, ASEAN tidak bisa dipisahkan dengan eksistensi Indonesia.
Dalam menjaga pemikiran ini, Indonesia harus konsisten dalam penerapan politik bebas aktif ASEAN, sebagaimana diterapkan dalam haluan national interest (kepentingan bangsa dan negara) Republik Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia pun harus melindungi ASEAN, sebagaimana melindungi NKRI.
Sehubungan dengan argumentasi tersebut, sangat penting untuk dipahami urgensi (adalah sangat mendesak bagi) Indonesia untuk menjadi leading sector dalam perumusan sebuah gagasan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific, di mana gagasan ini akhirnya diterima dunia dengan mengedepankan ”sentralitas ASEAN”.
Baca juga: Negara Indo-Pasifik Harus Aktif Dorong Stabilitas di Tengah Persaingan AS-China
Bahkan, bukan tanpa sebab, negara-negara major power menaruh kepercayaan kepada Indonesia dengan legitimasi keberhasilan Indonesia yang telah teruji dalam perjalanan sejarahnya melalui Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi Asia-Afrika (KAA), hingga terbentuknya organisasi ASEAN.
Dengan kata lain, Indonesia pun harus melindungi ASEAN, sebagaimana melindungi NKRI.
Akhirnya, Indonesia yang berasaskan filsafat Pancasila dan haluan bebas aktif menanti tugas akhir akan kemampuannya dalam merangkul China dalam suatu kesepahaman tentang konsep Indo-Pasifik. Di saat yang sama, sebagai negara yang tidak memiliki konflik langsung, dunia menaruh harapan kepada Indonesia untuk mampu menjinakkan para major power dalam diskursus politik global.
Saat ini, tantangan besar yang menanti di depan mata adalah bagaimana Indonesia akan mampu ”merealisasikan atau mewujudkan” konsep Indo-Pasifik sebagai sebuah ”bingkai” kerja sama multilateral di mana kedudukannya bisa merangkul semua skema geopolitik dan geoekonomi negara-negara di dunia, termasuk APEC, IORA, dan BRI yang digagas oleh China.
(Abhiram Singh Yadav, Peneliti Politik Hubungan Internasional)