KB
Mengapa orangtua saya begitu pesimistisnya bahwa pendidikan resmi akan menjamin hidup saya lebih sejahtera ketimbang kalau saya hanya terdidik dengan pendidikan yang tidak resmi?
Keluarga Berencana. Itu adalah kepanjangan dari judul saya di atas. KB menurut versi saya adalah cerita di bawah ini.
Orangtua
Tepat satu minggu yang lalu, saya hadir pada acara ulang tahun sahabat saya. Ulang tahun ke-50. Dalam keadaan pandemi seperti ini, tentu jumlah undangan hanya terbatas. Protokol kesehatan tetap dilakukan. Saya mau bersalaman dan memeluk teman saya yang berbahagia pada malam itu, tetapi tak bisa saya lakukan.
Pada acara ulang tahun itu sangat terasa kehangatan yang kekeluargaan. Para undangan sudah saling mengenal. Beberapa di antaranya membawa anak-anak mereka yang beranjak dewasa. Nah, hari ini saya akan menceritakan apa yang saya saksikan dengan mata dan kepala sendiri, interaksi di jaman now antara orangtua dan anak. Atau orang yang sudah tua dan para manusia muda yang tengah beranjak menjadi dewasa ini.
Pada masa saya dulu, saat saya beranjak dewasa, saya tak pernah pergi ke sebuah pesta atau acara ulang tahun teman bapak saya. Tak pernah terpikirkan untuk melakukan itu. Tak dapat saya bayangkan apa yang akan saya lakukan dengan teman-teman ayah saya. Mereka sudah tua dan saya masih remaja yang baru mau menjadi dewasa, terus, mau bicara soal apa? Jam terbang saya sebagai manusia juga belum seberapa.
Akan tetapi, malam itu, di acara kekeluargaan itu, saya melihat seorang anak muda mungkin baru berusia 20 tahun terlihat sedang berbicara dengan teman saya yang menjadi orang nomor satu di sebuah perusahaan investasi dan keuangan yang terkenal di negeri ini.
Keduanya berbicara serius, sambil memegang minuman. Melihat itu, setelah mereka selesai bercakap-cakap, saya bertanya pada teman saya yang berulang tahun apa yang mereka bicarakan. ”Yang muda lagi nanyain gimana caranya berinvestasi.” Demikian penjelasannya.
Waktu saya seusia si anak ini, saya berpikir untuk memiliki usaha dan investasi saja tidak. Anak yang sangat belia ini dengan mukanya, yang memang seperti anak kecil, terlihat santai dan tak ada rasa enggan bercakap-cakap dengan pria yang baru dikenalnya itu, dan tentunya jauh lebih tua dari dirinya.
Anak
Di lantai dansa, teman saya yang berulang tahun sedang bergoyang dengan kedua putrinya. Mereka menggerakkan badan seirama lagu dan bernyanyi bersama-sama. Mereka seperti teman ketimbang melihatnya sebagai ibu dan anak. Saya tak pernah membayangkan berdansa dengan ibu saya di sebuah pesta pada masa remaja saya.
Saya datang sama ibu saya saja ogah rasanya. Namun, teman saya yang hari itu berusia 50 tahun, dengan mudahnya berkumpul tertawa bersama anak-anak muda itu, yang adalah teman-teman anaknya, tanpa si anak-anak itu juga merasa risih.
Sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, anak perempuannya yang masih berusia 12 tahun kira-kira, dan anak laki-lakinya yang berbadan besar tinggi dan beranjak dewasa, juga hadir pada malam itu. Ketika malam semakin larut, kedua orangtua itu dan adik kecilnya pamit pulang, sementara anak laki-lakinya tinggal sampai acara usai. Ayah dan anak lakinya terlihat tertawa seperti pertemuan dua orang teman saat mereka berpisah.
Pada masa saya beranjak dewasa, tak mungkin ayah saya mengizinkan saya tinggal sampai larut malam. Kalau ayah dan ibu saya beranjak pulang, anak juga harus pulang. Kalau tidak, muncul pertanyaan macam nanti siapa yang mengantar kamu pulang, kamu yakin bahwa teman kamu tidak mabuk? Besok kan mesti sekolah, kamu harus istirahat.
Sepulang dari acara ulang tahun, saya sempat bergumam. Duh, seandainya saja dulu orangtua saya seperti orangtua di jaman now. Mungkin saya akan lebih berbahagia dalam menjalankan masa remaja dan menuju kedewasaan saya, karena saya bersama-sama orangtua seperti teman sendiri dan tak perlu merasa risih karena perbedaan usia, predikat, dan status.
Oh, saya lupa. Malam itu hidangan yang kami santap dibuat oleh tiga juru masak muda yang, menurut perkiraan saya, usianya saja tak mencapai 25 tahun. Mereka telah mampu mendapatkan uang dari kemampuan mereka memasak. Mereka dengan piawai menjelaskan kepada para undangan setiap jenis makanan yang mereka sajikan pada malam itu.
Melihat itu saya iri, mengapa di masa saya menginjak dewasa, hobi saya tak bisa saya salurkan seperti ketiga pria juru masak itu? Mengapa pada masa muda saya, kesempatan itu tidak diberikan orangtua saya? Mengapa orangtua saya harus mengatakan kamu sekolah dulu, baru mengerjakan hobimu itu? Mengapa orangtua saya mengharuskan saya bisa menggergaji kalau saya piawai dengan menjahit?
Mengapa orangtua saya begitu pesimistisnya bahwa pendidikan resmi akan menjamin hidup saya lebih sejahtera ketimbang kalau saya hanya terdidik dengan pendidikan yang tidak resmi?
Bukankah pada akhirnya keluarga berencana itu adalah untuk merencanakan sebuah masa depan keluarga yang mendukung kelebihan dan mengajarkan bagaimana mengembangkan kekurangan menjadi kekuatan.
Malam itu benar-benar membuat saya tak bisa tidur. Keluarga berencana itu sejatinya bukan merencanakan untuk menerapkan apa yang diinginkan orangtua untuk dieksekusi anak-anaknya.
Malam itu, mulut saya bergumam. ”Mengapa saya menjadi generasi dua gunung dengan matahari di tengahnya?”