Dua negara yang bertetangga merupakan kondisi geografis yang tidak ubahnya suratan takdir. Namun, apakah keduanya akan bermusuhan atau bekerja sama saling menguntungkan, hal itu merupakan pilihan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Posisi dua negara yang berdekatan atau bertetangga merupakan ”takdir”. Kondisi yang suka tidak suka harus diterima. Inilah yang dialami Korea Selatan dan China.
China dan Korea Selatan memiliki sejarah yang kurang nyaman. Saat Perang Korea pecah pada 1950-an, keduanya berada di kubu berseberangan. Setelah itu, Korsel menjadi sekutu Amerika Serikat (AS) dan kini tumbuh berkembang di jalur demokrasi liberal. Adapun China yang berhaluan sosialisme-komunisme menjadi mitra cukup dekat Korea Utara, negara komunis yang berbatasan langsung dengan Korsel.
Namun, di sisi lain, Korsel dan China sama-sama merasakan dampak buruk militerisme Jepang pada masa silam. Warga mereka merasakan kekerasan akibat penjajahan.
Pada 2017, relasi tidak menggembirakan terjadi antara China dan Korsel. Penyebabnya, Seoul menyetujui sistem pertahanan antirudal balistik dari AS untuk dipasang di negara tersebut. THAAD, demikian nama sistem pertahanan itu, bertujuan mengantisipasi serangan rudal balistik Korut. Masalahnya, jangkauan radar THAAD masuk jauh ke wilayah China. Hal ini tentu diprotes keras oleh Beijing.
Tidak lama, gerakan boikot dilakukan warga China atas produk Korsel, mulai dari mobil hingga musik. Penjualan berbagai produk Korea anjlok drastis. Perusahaan China yang memasok bagi pabrik Korsel di negara itu juga menghentikan suplai. Dampak ekonomi dari isu THAAD dilaporkan memukul Korsel.
Namun, relasi China-Korsel kini membaik, yang antara lain ditandai kunjungan Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke Korsel, sebagaimana diberitakan Kompas edisi hari Jumat (27/11/2020). Selain melakukan pembicaraan dengan Menlu Korsel Kang Kyung-wha, Wang bertemu Presiden Moon Jae-in. Kedua negara sepakat untuk bekerja sama menangani Covid-19 dan mengatasi kebuntuan negosiasi terkait program nuklir Korut. Hal pokok lainnya, kedua negara sepakat untuk menyiapkan kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Korsel.
Penanganan Covid-19 tampak telah menjadi sarana bagi negara-negara untuk bekerja sama kian erat. Dimensi dari dampak Covid-19 yang sangat luas—tak hanya kesehatan— memungkinkan negara mana pun untuk menggunakan isu itu guna mengucurkan bantuan keuangan dan lainnya. Hal ini tampaknya dilakukan oleh China terhadap beberapa negara di tengah hubungan Beijing-Washington yang memanas. Menjalin relasi mendalam dengan Korsel, yang tak lain sekutu AS di Asia Timur, tentu sangat penting bagi China.
Di sisi lain, bagi Seoul, China berperan krusial dalam dinamika relasi Korsel dengan Korut. Selain itu, bagi Seoul, China merupakan mitra ekonomi yang teramat penting. Boikot terkait THAAD rasanya menjadi bukti yang sangat jelas bagi Korsel akan besarnya pengaruh ekonomi China.
Dua negara yang bertetangga merupakan kondisi geografis yang tidak ubahnya suratan takdir. Namun, apakah keduanya akan bermusuhan atau bekerja sama saling menguntungkan, hal itu merupakan pilihan.