Piramida Negara
Piramida negara merupakan sumber utama instabilitas geopolitik dan ekonomi global yang telah terjadi selama puluhan tahun dan akan terus berlangsung puluhan tahun ke depan sampai ada perubahan.

Presiden China Xi Jinping menyambut Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebelum pertemuan bilateral di sela-sela KTT G-20 di Osaka, Jepang, 28 Juni 2019.
Dalam sosiologi, masyarakat tersusun berkelas-kelas atau membentuk piramida. Kelas bagian atas adalah kelas elite, baik secara ekonomi, pendidikan, politik, maupun budaya. Strata sosial ini biasanya disebut dengan ”piramida sosial”.
Sama seperti piramida sosial, negara-negara di dunia secara ekonomi juga membentuk piramida yang disebut dengan ”piramida negara” atau pyramid of nations. Piramida negara lebih ekstrem daripada piramida sosial karena bersifat eksploitatif. Negara-negara yang berada di puncak piramida mengeksploitasi seluruh negara yang berada di bawahnya.
Secara umum, negara-negara di dunia terbagi menjadi tiga kelas. Kelas pertama adalah negara-negara yang mencetak mata uang internasional, yaitu Amerika Serikat sebagai mayoritas (60 persen), kawasan euro sebagai minoritas (20 persen), dan sisanya terdistribusi kecil-kecil ke Inggris, Jepang, Australia, dan lain-lain.
Negara kelas pertama menempati puncak piramida. Mereka adalah negara-negara terkaya yang mata uangnya digunakan sebagai alat transaksi internasional dan dengan itu bisa mengeksploitasi seluruh negara di dunia. Bagaimana negara-negara kelas pertama mengeksploitasi seluruh dunia? Jawabannya melalui mata uang internasional.
Secara umum, negara-negara di dunia terbagi menjadi tiga kelas.
Pertama, mata uang yang digunakan antarnegara dikeluarkan dengan prinsip utang. Misalnya, jika Indonesia menjual barang kepada Malaysia dan dibayar dengan ringgit, artinya Indonesia memberikan utang kepada Malaysia sebesar uang tersebut.
Saat Indonesia membeli barang dari Malaysia dengan uang tersebut, Malaysia harus menyerahkan barang atau jasa. Itu artinya Malaysia membayar utangnya. Jadi, mata uang internasional yang dipegang oleh seluruh negara di dunia merupakan utang negara-negara yang mencetak mata uang tersebut kepada seluruh dunia.
Masalahnya adalah mata uang internasional digunakan untuk transaksi antarnegara secara terus-menerus. Dengan demikian, negara pemilik mata uang internasional tidak perlu membayar utangnya selama mata uang mereka digunakan sebagai alat pembayaran internasional. Artinya, mereka dapat mengonsumsi sumber daya dari seluruh dunia secara gratis seumur hidup.

Gambar valuta asing menghiasi tempat penukaran valas di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Senin (23/7/2018). Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang terus berlangsung memukul dunia usaha, khususnya korporasi yang bergantung pada produk impor.
Data IMF, per akhir 2019, total mata uang internasional yang dipegang seluruh negara di dunia mencapai ekuivalen 11 triliun dollar AS. Jika dirupiahkan sekitar Rp 150.000 triliun. Itu adalah jumlah ”pinjaman gratis” seluruh negara di dunia kepada negara pemilik mata uang internasional, tanpa jatuh tempo, tanpa bunga.
Kedua, selain mendapatkan pinjaman gratis, mereka juga mendapatkan ”makan siang gratis” melalui depresiasi mata uang internasional. Mata uang internasional mengalami depresiasi (penurunan nilai) karena jumlah uang baru yang dicetak lebih besar dari kebutuhan transaksi internasional.
Nilai mata uang yang turun pada prinsipnya ”diambil” negara yang mencetak uang baru itu. Melalui depresiasi mata uang internasional, seluruh negara di dunia memberikan subsidi gratis lebih dari 200 miliar dollar AS ekuivalen per tahun kepada negara-negara pemilik mata uang internasional. Jika dirupiahkan, jumlahnya lebih dari Rp 3.000 triliun.
Dengan dua cara ini, negara-negara kelas pertama mengeksploitasi seluruh negara di dunia sebesar ribuan triliun setiap tahun.
Itu adalah jumlah ”makan siang gratis” yang diberikan seluruh negara di dunia, termasuk negara-negara miskin yang sebagian penduduknya kelaparan, kepada puncak piramida yang merupakan negara-negara terkaya di dunia, setiap tahun. Dengan dua cara ini, negara-negara kelas pertama mengeksploitasi seluruh negara di dunia sebesar ribuan triliun setiap tahun.
Kemudian, kelas kedua adalah negara-negara yang perdagangan internasionalnya surplus. Dari data perdagangan global (1965-2018) yang dikeluarkan Bank Dunia, jumlah mereka mencapai sepertiga dari seluruh negara di dunia. Di antara mereka yang surplusnya paling besar adalah China, Jepang, Rusia, Arab Saudi, Korea, dan lain-lain.
Di satu sisi, negara-negara kelas dua dieksploitasi oleh kelas pertama. Sementara pada sisi yang lain, mereka mengeksploitasi negara-negara yang berada di bawahnya.
Bagaimana cara negara-negara kelas dua mengeksploitasi negara-negara di bawahnya? Jawabannya adalah melalui perdagangan internasional. Mereka menjual barang dan jasa sebanyak-banyaknya ke luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyampaikan paparannya mengenai Tinjauan Ekonomi Dunia sebelum pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Senin (20/1/2020).
Akibatnya, barang-barang mereka membanjiri pasar domestik negara lainnya. Nilai tambah ekonomi mengalir dari negara-negara defisit kepada negara-negara surplus. Pertumbuhan ekonomi mereka rata-rata tinggi karena ”menyedot” pertumbuhan negara-negara yang defisit. Negara-negara surplus mengeksploitasi negara-negara defisit.
Kelompok terakhir adalah kelas tiga atau negara-negara yang perdagangan internasionalnya defisit. Dari data Bank Dunia, jumlah mereka mencapai dua pertiga dari seluruh negara di dunia. Di antara mereka yang defisitnya terbesar adalah India, Turki, Yunani, Pakistan, Meksiko, Spanyol, dan Portugal.
Mereka adalah bagian terbawah dari piramida negara. Mereka dieksploitasi oleh pemilik mata uang internasional dan sekaligus oleh negara-negara yang surplus.
Sumber instabilitas
Di luar kondisi ketahanan ekonomi domestik, negara-negara kelas tiga atau negara-negara yang perdagangannya defisit adalah kelompok paling rentan terhadap krisis, tidak peduli apakah mereka negara miskin, berkembang, atau kaya.
Dari lima negara yang mengalami krisis moneter paling dalam pada krisis global 2008, yaitu Ukraina dengan defisit 59,9 persen, Polandia 35,2 persen, Ghana 28 persen, Kazakhstan 26 persen, dan Meksiko 22,6 persen (Dadush, Falcao, & Ali, 2009). Empat di antaranya berada di lapisan paling bawah negara-negara kelas tiga.

Pengungsi Tigray yang melarikan diri dari konflik di wilayah Tigray di Etiopia menunggu UNHCR membagikan selimut di Hamdayet Transition Center, Sudan timur, Sabtu (21/11/2020). Badan pengungsi PBB mengatakan, konflik yang berkembang di Etiopia telah mengakibatkan ribuan orang melarikan diri dari Tigray ke Sudan saat pertempuran meluas di luar perbatasan Etiopia dan mengancam wilayah Tanduk Afrika.
Hanya Kazakhstan yang masuk kelas dua. Negara kaya yang masuk dalam kelas tiga pun bernasib sama. Pada krisis finansial euro, misalnya, empat negara yang mengalami resesi paling dalam adalah Yunani (minus 4,4 persen), Portugal (minus 3,3 persen), Italia (minus 1,3 persen), dan Spanyol (minus 1 persen) (Pop, 2012), tiga di antaranya masuk kelas tiga bagian bawah.
Hanya Italia yang masuk kelas dua. Hanya saja, saat itu, utang luar negeri Italia yang terbesar kedua setelah Yunani, yaitu 126,1 persen dari PDB (Universitas Harvard dan Parlemen Eropa, 2014).
Kawasan euro termasuk agak unik. Di satu sisi, kawasan euro ”mengeksploitasi” seluruh dunia melalui mata uang euro dan surplus perdagangan. Sementara, di lain sisi, secara internal, di antara mereka sendiri terjadi eksploitasi. Negara-negara terkaya di euro, seperti Jerman, ”mengeksploitasi” negara-negara ”lapisan bawah”, seperti Yunani, Portugal, dan Spanyol.
Penyebab utama terjadinya piramida negara ada dua. Pertama, sistem moneter internasional yang tidak simetris, yaitu digunakannya mata uang negara dan kawasan tertentu sebagai mata uang internasional. Dan kedua, sistem nilai tukar yang tidak akurat, dengan negara-negara di dunia bisa melakukan intervensi nilai tukar untuk mencapai surplus perdagangan sebesar-besarnya.
Pada akhirnya, piramida negara merupakan sumber utama instabilitas geopolitik dan ekonomi global yang telah terjadi selama puluhan tahun dan akan terus berlangsung puluhan tahun ke depan, sampai ada perubahan.
(Abdurrahman Arum, Pendiri Global Currency Initiative)