Saya ingin memperkenalkan pembaca kepada Siti, 38 tahun, yang bagi saya jelas merupakan seorang perempuan pejuang. Sudah sekitar tiga bulan ini, hampir setiap sore menjelang maghrib Siti akan hadir di kompleks perumahan kami.
Ia mengendarai sepeda motornya membawa tas kanvas besar yang pasti sangat berat, yang digantungkan di kiri kanan boncengannya, juga di leher sepeda motornya. Tasnya biasanya sangat penuh dengan berbagai barang jualan yang menonjol ke luar seperti mau jatuh.
Dengan sopan ia kemudian menawarkan, ”Sayur Bu?” Ia memang berjualan aneka sayuran, beberapa buah-buahan, dan juga pernik-pernik bumbu dapur. Bila warga kurang memberi perhatian atau menjawab ”tidak”, dengan percaya diri dan gigih ia tetap mencoba, ”Ada ubi, Bu. Pisang, mangganya manis sekali. Sayur macam-macam. Banyak. Murah. Mau mencoba?” Barang yang dijual umumnya cukup murah, dan setidaknya jeruk dan mangga yang dijualnya amat manis.
Kerja sama
Siti adalah ibu dengan dua anak. Suaminya pernah bekerja di bengkel, tetapi dalam waktu lama akhirnya menekuni kerja sebagai sopir pribadi. Gara-gara pandemi Covid-19, majikan suaminya tidak lagi dapat mempekerjakan sang suami. Siti sendiri pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga, tetapi akhirnya semenjak menikah menekuni kerja sebagai pedagang sayur.
Selama pernikahannya, selain menjadi ibu, ia membuka warung sayur di depan rumahnya. Ketika suaminya kehilangan pekerjaan, ia bercerita, ”Tidak sempat merasa cemas, cuma langsung berpikir harus bekerja lebih keras lagi untuk mencari uang.”
Kerja sama antara suami dan istri ini cukup baik. Saat suaminya masih menyopir, bila sempat suaminya akan mengantarkannya ke Pasar Induk, Kramat Jati, untuk membeli barang jualan. Namun, kadang suami juga sudah harus berangkat pagi mengantarkan keluarga majikan sehingga Siti berangkat sendiri dengan sepeda motornya.
Dengan suami tidak lagi menyopir, suami banyak tinggal di rumah sehingga dapat membantunya berjualan dan dapat menemani dua anaknya ketika sore hari Siti berkeliling kompleks menawarkan dagangannya. Dalam pekerjaan berjualan ini, Siti yang memimpin karena ia yang berpengalaman, tahu semua barang, paham harga, dan tempat-tempat meletakkan semua barangnya.
Bagaimanapun kehadiran suaminya di rumah dirasakan banyak meringankan bebannya berjualan. Sekarang suami dapat rutin mengantar dengan mobil membeli sayur ke pasar induk sehingga barang yang dibeli lebih banyak. Suami juga membantu kerja-kerja yang amat memerlukan tenaga, seperti mengangkat barang, membuka warung, dan menutup warung. Karena menjalankan kegiatan bersama, ia juga merasa lebih punya waktu untuk berbicara hati ke hati dengan suami.
Perilaku ekonomi
Siti yang lulus SMP berpikir strategis sebagai pedagang meski masih dengan cara konvensional. Karena rumahnya sendiri tidak di tempat yang ramai, ia mengontrakkan rumahnya, lalu mencari lokasi yang ramai untuk memungkinkan berdagang. Ia menyewa dua rumah kecil bersebelahan, satu untuk berjualan dan tempat ia tidur bersama suami, satunya lagi untuk kedua anaknya.
Siti adalah a woman of action. Setiap hari pukul 03.00 ia sudah berangkat ke pasar induk dan sekitar pukul 5.30 sudah membuka warung sayurnya. Tidak saja menunggu, ia berpikir jemput bola dengan tiap sore berkeliling menawarkan dagangan. Sementara berkeliling, warung di rumahnya tetap buka dijaga suami. Mereka biasanya menutup warung pukul 22.00. Jadi, jam kerjanya amat panjang, sekitar 19 jam sehari.
Saya ingin tahu, dengan jam kerja sangat panjang dan kerja keras demikian, berapakah penghasilannya. Dengan terbuka, Siti bercerita bahwa ia membelanjakan modalnya, Rp 2 juta-Rp 3 juta per hari, dan mungkin untung sekitar Rp 300.000 per hari, katanya sudah dikurangi uang makan keluarga tiap hari dan uang mengontrak rumah.
Terkait keuntungan, ia memberi contoh. ”Bila, misalnya, saya membeli pepaya harga satuan Rp 6.000, saya menawarkan Rp 10.000 ke pembeli. Jika ditawar Rp 9.000 atau Rp 8.000, mungkin saya lepas,” tutur Siti. Mengingat sayur dan buah tidak bertahan lama, yang sudah agak layu dijual dengan harga dasar atau yang tersisa diberikan kepada tetangga bila ada yang mau.
Siti mengaku ”alhamdulillah” tidak pernah berutang. Ia berupaya untuk hidup apa adanya dan pengeluaran disesuaikan dengan uang yang dimiliki. Ia juga memiliki tabungan, ia berupaya menyetor tabungan sekali atau dua kali sebulan ke bank.
Sesungguhnya ia sudah menunjukkan karakteristik yang dituntut untuk mampu bertahan di masa kini. Ia punya rasa ingin tahu untuk mengeksplorasi kesempatan-kesempatan belajar baru, jelas kuat dengan kegigihan dan kerja keras, fleksibel, optimis, serta berani mengambil risiko.
Ia bercerita mengenai anak sulungnya, perempuan, 17 tahun, sekolah di SMK, yang ucapnya, ”entah dari mana, dia belajar saja sendiri”. Menurut Siti, anaknya tersebut sudah beberapa lama ini juga telah memiliki penghasilan sendiri dengan berjualan kosmetik secara daring. Siti mungkin lupa, anaknya pasti belajar dari ibunya mengenai kejelian melihat peluang, keberanian mencoba dan kegigihan.
Akhir kata, ditanya mengenai moto hidup, ia menjawab, ”hidup rukun, kerja keras, dan berkomitmen dalam bekerja untuk menjaga kepercayaan”. Saya jadi ingat, pernah ubi yang dijualnya ternyata kurang baik. Saya memberi tahu sekadar agar ia tahu, tetapi ia kemudian benar-benar memaksa saya untuk menerima ubi pengganti dan melarang saya membayarnya.
Kadang atau sering kita belajar dari orang kecil tentang kerja keras dan etika kerja yang baik. Semoga di masa pandemi ini Siti dan keluarganya serta kita semua tetap sehat dan diberi jalan untuk dapat bekerja menghidupi keluarga.