KPK menyita barang-barang berharga ribuan hingga belasan ribu dolar Amerika, seperti sepatu dan sepeda, dari Menteri KKP Edhy Prabowo saat ditangkap di Bandara Soekarno Hatta. Publik menanti kelanjutan cerita dibaliknya
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Bersepeda sedang ngetren. Sejumlah elite politik menunjukkan kegemarannya bersepeda. Sekretaris Kabinet Pramono Anung getol bersepeda keliling kota Jakarta. ”Tiga kali seminggu, pagi saya gowes,” ucap Pram. Saat kunjungan kerja ke Magelang, Jawa Tengah, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bersepeda di sekitar Borobudur. Sejumlah kepala daerah seperti Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa bersepeda untuk bertemu dengan warganya.
Entah karena ingin mengikuti tren bersepeda, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo membeli sepeda saat berkunjung ke Hawaii, Amerika Serikat. Sayang kecelakaan terjadi, demikian Edhy menyebut insiden itu. Saat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Selasa 24 November 2020 tengah malam, penyidik KPK menangkapnya.
KPK menyebut uang yang dihabiskan Edhy dan istrinya, Iis Rosita Dewi, yang juga anggota DPR, sekitar Rp 750 juta. Barang mewah dan ATM disita dan jadi barang bukti
Sepeda Edhy tergolong berkelas. Dalam jumpa pers tengah malam, Rabu 25 November 2020, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango memamerkan sejumlah barang bukti, di antaranya tas, arloji, sepeda, dan sepatu. KPK menyebut uang yang dihabiskan Edhy dan istrinya, Iis Rosita Dewi, yang juga anggota DPR, sekitar Rp 750 juta. Barang mewah dan ATM disita dan jadi barang bukti.
Menteri Edhy ditetapkan sebagai tersangka. Dia minta maaf kepada Presiden Jokowi dan masyarakat. Dia mundur dari pengurus partai dan menteri. ”Saya bertanggung jawab,” ucap Edhy. Edhy ditetapkan sebagai tersangka bersama sejumlah staf khusus dan pengusaha yang mengucurkan uang terkait ekspor lobster.
Biarlah proses hukum berjalan. Asas praduga tak bersalah perlu dihormati. Itu reaksi paling pas. Biar Edhy membeberkan semuanya. Biarlah KPK yang sedang berupaya meraih kembali kepercayaan publik mengungkap semuanya. Namun, kisah soal sepeda dan sepatu adalah kisah menarik.
Sepeda Menteri Edhy lebih mahal. Specialized. Dari penelusuran penggemar, sepeda jenis Specialized S-Work Roubaix-Shimano Dura-Ace Di2 itu harganya 11.000 dollar AS atau sekitar Rp 165 juta di Amerika
Sepeda yang dibawa rombongan Edhy tergolong mahal. Pencinta sepeda menyebut, sepeda yang jadi barang bukti bukan Brompton yang dibawa Direktur Utama Garuda Ari Askhara, November 2019. Sepeda Menteri Edhy lebih mahal. Specialized. Dari penelusuran penggemar, sepeda jenis Specialized S-Work Roubaix-Shimano Dura-Ace Di2 itu harganya 11.000 dollar AS atau sekitar Rp 165 juta di Amerika. Di Indonesia, bisa saja harganya lebih, setelah pajak. Bagi orang biasa, bersepeda mahal di Jakarta rawan kecelakaan karena begal sedang merajalela.
Jika kisah sepeda berlanjut, kisah penyelundupan sepeda Brompton dan Harley Davidson yang dibawa Direktur Utama Garuda (waktu itu) Ari Askhara dengan pesawat Garuda seharusnya juga diteruskan. Kisah Harley dan Brompton sudah lama ”parkir”. Minimal, publik tak tahu perkembangan kasus itu. Dalam khazanah hukum, dikenal justice delayed, justice denied. Jika tidak diteruskan, bisa muncul tudingan, ada diskriminatif. Padahal, konstitusi menegaskan, setiap orang sama di muka hukum. Pencopotan Direktur Utama Garuda oleh Menteri BUMN Erick Thohir tidaklah cukup karena ada unsur pidana di balik penyelundupan Harley dan Brompton. Jangan sampai kisah Brompton jadi kisah yang tak lengkap. Semua harus ada ujungnya.
Selain soal sepeda, kisah sepatu pun menarik. Menteri Edhy membeli sepatu bersol tebal Louis Vuitton. Sepatu dari rumah mode asal Perancis yang dibeli Edhy adalah seri Abbesses Derby. Harganya dibanderol 1.590 dollar Singapura atau sekitar Rp 16,7 juta.
Kompas.com menulis, sepatu tersebut terlihat elegan lantaran terbuat dari kulit sapi yang mengilap dengan sol tebal. Bagian midsole berwarna hitam menggunakan bahan foam seperti yang dikenal pada kebanyakan sneaker. Memberi kesan maskulin yang kental. Sepatu itu dipilih mungkin cocok untuk menopang pekerjaan sebagai menteri.
Sampai Bung Hatta wafat, niatnya membeli sepatu itu tidak kesampaian karena tabungannya tak mencukupi (Sayuti Dt Rajo Pangulu)
Kisah sepatu mengingatkan saya atas kisah sepatu Bally. Cerita soal sepatu Bally terkait dengan cerita proklamator Mohammad Hatta. Seperti dikisahkan M Sayuti Dt Rajo Pangulu dalam Keteladanan Bung Hatta (2020), Bung Hatta berniat membeli sepatu Bally buatan Inggris. Bung Hatta menabung untuk membeli sepatu. Namun, pada saat uangnya terkumpul, tabungannya diambil karena ada kebutuhan keluarga mendesak. ”Sampai Bung Hatta wafat, niatnya membeli sepatu itu tidak kesampaian karena tabungannya tak mencukupi,” tulis Sayuti dalam buku Keteladanan Bung Hatta (halaman 63).
Terasa kontras. Cerita soal sepatu Bally Hatta dan sepatu Louis Vuitton Edhy adalah cerita soal manusia. Hatta menabung untuk membeli sepatu, Menteri Edhy dengan cara berbeda. Sosiolog Selo Sumardjan menyebut, ”Kesederhanaan Bung Hatta kelewatan. Langka tokoh atau pemimpin saat ini yang mampu menyejajarkan diri dengan reputasi kesederhanaan dan kesahajaan Bung Hatta.”
Selain soal faktor manusia—yang bisa berubah saat diberi kekuasaan, honores mutant mores—kisah Menteri Edhy paling tidak membenarkan pendapat bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Korupsi bisa terjadi karena kebutuhan (need), tetapi korupsi bisa terjadi karena greed. Secara teoretis, korupsi menjelma dalam berbagai bentuk, penyuapan, penggelapan, kroniisme, dan penggunaan pengaruh. Kroni dan nepotis bisa diartikan sebagai narik kanca-kanca untuk menempati posisi tertentu. Sejauh yang terungkap, kasus dugaan korupsi Menteri Edhy lebih banyak karena korupsi kebijakan. Kebijakan dibuat—SK soal ekspor benur—digunakan untuk mendapatkan imbalan. SK jadi sumber transaksi. Korupsi terjadi selain karena adanya keinginan, juga karena adanya kesempatan.
Namun, praktik korupsi di Indonesia kadang menyampaikan pesan, ada ”pergesekan” di dalam. Konflik bisa saja dimaknai sebagai ibarat ”hujan tidak merata”. Biarlah KPK dan membukanya. Siapa yang berinisiatif—menteri atau staf khusus atau kerja sama—dan siapa pula yang mendapatkan manfaat dan SK ekspor benur lobster, publik ingin tahu.