”Quo Vadis” Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035
Memetik pengalaman bangsa lain, semoga kelak pengelolaan pendidikan di Tanah Air dapat segera keluar dari beragam paradoks dan ketimpangannya, membenahi standardisasi, dan menjadi pemerata atas kesenjangan sosial.
Oleh
HAFID ABBAS
·6 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Menteri Pendidikan Nadiem Makarim (tengah) mendengarkan pertanyaan dari anggota Komisi X DPR saat rapat kerja membahas rekomendasi hasil panitia kerja pemelajaran jarak jauh dan pembahasan laporan keuangan pemerintah pusat APBN 2019 di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Pada rapat kerja bersama Komisi X DPR dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2 Juli 2020, Nadiem Makarim membeberkan isi Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang telah dipersiapkannya.
Arah dari peta jalan ini adalah membangun Pelajar Pancasila yang memiliki profil beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, kreatif, bernalar kritis, dan mandiri. Peta jalan ini terlihat berisi tiga bagian utama, yakni tren global dan masa depan pemelajaran; gambaran pendidikan di Indonesia dan tantangannya; serta peta jalan pendidikan Indonesia. Instrumen yang akan digunakan untuk mencapai ikhtiar itu ialah Merdeka Belajar (Medcom.id, 2/7/2020).
Jika instrumen utama dari Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI) itu adalah Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, beberapa hal berikut ini dapat dipertimbangkan sebagai masukan.
Berpijak pada persoalan riil
Pertama, penyiapan PJPI ini haruslah berpijak pada peta persoalan riil pengelolaan pendidikan yang terjadi selama ini. Persoalan itu ada yang bersifat kontemporer, terlihat dalam beberapa tahun terakhir ini. Misalnya, mengapa semakin besar anggaran pendidikan di satu sisi, tetapi di sisi lain mutunya kian merosot. Sebagai contoh, pada APBN 2018, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp 444 triliun dan pada 2020 angka ini meningkat ke 508 triliun.
Sebaliknya, misalnya, peringkat PISA Indonesia turun dari urutan ke-65 (2015) menjadi ke-72 (2018) di antara 77 negara. Bahkan, berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson (2012), mutu dan sistem pendidikan Indonesia telah dinilai terburuk di dunia. Demikian pula, dampak pandemi Covid-19 terhadap mutu dan akses pendidikan di semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan dapat mengancam terjadinya lost generation pada sekelompok generasi muda di kemudian hari.
Persoalan itu ada yang bersifat kontemporer, terlihat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Selain itu, terdapat juga persoalan pendidikan yang bersifat akut, selalu muncul dari waktu ke waktu. Misalnya, persoalan mutu pendidikan yang rendah, terlihat di antara 243.771 SD, SMP, dan SMA/SMK, 88,8 persen belum memenuhi standar minimal (2018), di antara 4.713 PTN dan PTS hanya 96 yang berakreditasi A, bahkan hanya 1.676 di antaranya yang sudah terakreditasi, atau 64 persen yang dapat dinilai ilegal (Medcom.id, 2/8/2020).
Masalah lain yang perlu juga dijawab dalam PJPI ini adalah ketiadaan kesinambungan penerapan satu kebijakan pendidikan. Dalam era Orde Baru, misalnya, di berbagai periode kabinet, sejak periode Mashuri, Soemantri Brodjonegoro, Syarief Thayeb, Daoed Joesoef, Nugroho Notosusanto, Fuad Hassan, Wardiman Djojonegoro, hingga para menteri pendidikan di era Presiden Jokowi, dan kini Nadiem Makarim, masing-masing telah memberi warna perkembangan pendidikan di Tanah Air dengan gagasan yang inovatif dan strategis.
Namun, gagasan-gagasan tersebut terkesan bersifat sporadis dan temporer, mendapat dukungan hanya sebatas masa jabatan menteri bersangkutan. Mungkin saja, gagasan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka dapat mengalami hal yang sama, bersifat temporer, apabila tidak dipayungi oleh aturan yang lebih tinggi.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Anak-anak peserta Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Tut Wuri Handayani berkegiatan di tepi pantai Desa Gangga II yang terletak di Pulau Gangga, Kecamatan Likupang Barat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Minggu (30/8/2020). Selain menyediakan PAUD, PKBM itu menjadi tempat utama bagi warga yang putus sekolah untuk mendapatkan ijazah pendidikan setara SD, SMP, dan SMA.
Jika saja realitas-realitas seperti itu tidak dibenahi terlebih dahulu sebelum memberlakukan kebijakan Merdeka Belajar dalam bingkai PJPI, sama halnya kita membangun gedung bertingkat di atas fondasi yang lapuk.
Jalur pemerata
Kedua, penyiapan PJPI haruslah menjadikan pendidikan sebagai jalur pemerata (the great equalizer) dan perekat kohesi sosial bangsa. Global Wealth Report (2016) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan keempat terburuk tingkat kesenjangan sosial ekonominya di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand.
Bahkan, Oxfam menunjukkan bahwa harta dari empat orang terkaya Indonesia setara dengan gabungan dari harta 100 juta orang miskin di Indonesia. Lebih jauh lagi, jumlah uang per tahun yang dihasilkan salah seorang terkaya itu cukup untuk membantu menghapus kemiskinan di negeri ini. Kesenjangan itu tampak semakin melebar karena persentase orang kaya naik 10 persen setahun, sedangkan orang miskin hanya turun 1 persen dalam empat tahun (Nusantaranews.co, 26/7/2018).
Bank Dunia melaporkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa 88,8 persen potensi konflik di Indonesia bersumber dari kesenjangan ini. Sumbernya dari ketidakadilan pemberian kesempatan, munculnya tuntutan keterampilan baru di sektor ekonomi modern, meningkatnya konsentrasi kekayaan finansial di kelompok kecil penduduk, dan ketiadaan pendidikan bermutu bagi warga berpendapatan rendah (Indonesia Rising Divide, 2016).
Bahkan Oxfam menunjukkan bahwa harta dari empat orang terkaya Indonesia setara dengan gabungan dari harta 100 juta orang miskin di Indonesia.
Dari perspektif pendidikan, kesenjangan sosial ekonomi itu sesungguhnya berpangkal dari adanya ”senjang pengetahuan” yang semakin besar antara (rata-rata) di kota dan rata-rata di desa, antara di Jawa dan yang di luar Jawa. Senjang pengetahuan dan keterampilan yang semakin lebar adalah jauh lebih berbahaya daripada kurangnya keseimbangan keuangan pusat daerah karena pendidikan adalah satu-satunya ”jalur pemerata” yang didambakan oleh mereka yang miskin dan tertinggal.
Setelah usia 75 tahun kemerdekaan, masih terlihat di antara 514 kabupaten dan kota, hanya tiga tempat di luar Jawa yang dapat disebut sebagai kota layak pendidikan atau kota ramah terhadap kehidupan kampus, yakni Medan, Denpasar, dan Makassar, karena sudah memiliki tiga atau empat perguruan tinggi bereputasi (akreditasi A). Dengan potret ini, pengelolaan pendidikan terlihat turut memberi andil yang memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi di Tanah Air.
Untuk memperkecil kesenjangan itu, PJPI dapat juga memetik beragam pengalaman berharga pengelolaan pendidikan di awal kemerdekaan, pada era Orde Baru, hingga pada era awal Reformasi jika dinilai relevan.
Keberhasilan pelaksanaan SD inpres oleh Presiden Soeharto, misalnya, telah mengantarkan Indonesia memperoleh Medali Avicena dari UNESCO (1993), dan tiga ekonom AS (Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer) telah meraih Nobel Ekonomi 2019 karena mengangkat model SD inpres pada era Soeharto sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan global.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Murid kelas IV berdoa sebelum memulai mengikuti pelajaran di SD Negeri 1 Kepoh, Desa Kepoh, Sambi, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (22/7/2019). Tahun ini, sekolah itu hanya mendapat satu orang murid baru sehingga total jumlah murid di sekolah itu hanya 21 siswa. Sekolah itu memiliki jumlah murid terbanyak saat pertama kali didirikan pada tahun 1976 saat pelaksanaan program Inpres, yakni sebanyak 200 siswa.
Jati diri lokal
Ketiga, penyiapan PJPI haruslah berorientasi ke masa depan untuk mempersiapan generasi muda yang unggul di pergaulan global. Kesadaran atas keunggulan di pergaulan global itu tetap harus berpangkal pada jati diri lokal; sekolah, terutama di desa, adalah akar identitas seseorang. Sekolah adalah jendela utama perluasan wawasan anak desa menjadi anak kota, yang kemudian menjadi anak yang berwawasan regional dan global.
Karena itu, sekolah menjadi semacam ”pialang budaya” yang mempertemukan secara pas dan berimbang kesadaran anak tentang perkaitan dan tumpang tindihnya antara yang lokal, provinsial, nasional, regional, dan global secara simultan.
Karena itu, sekolah haruslah mampu melebarkan sayap anak didiknya untuk terbang ke peradaban maju dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk hidup rukun, damai, dan bermartabat dalam kebinekaan global sesuai nilai-nilai Pancasila. Kata Bung Karno, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Sekolah adalah jendela utama perluasan wawasan anak desa menjadi anak kota, yang kemudian menjadi anak yang berwawasan regional dan global.
Belajar dari negara lain
Terakhir, PJPI perlu pula dipersiapkan dengan memetik pengalaman bangsa-bangsa lain yang dinilai telah sukses memajukan pendidikan bangsanya. Kelihatannya, Finlandia, Korea Selatan, AS, dan negara-negara maju lainnya menyiapkan peta jalan pendidikannya dengan membenahi aspek-aspek yang berhubungan dengan standardisasi, penilaian, akuntabilitas, perbaikan sekolah, guru, dan kepemimpinan pendidikan, dukungan masyarakat dan pembiayaan.
KOMPAS/AYU PRATIWI
Hafid Abbas
Semoga kelak pengelolaan pendidikan di Tanah Air dapat segera keluar dari beragam paradoks dan ketimpangannya, membenahi standardisasinya, dan menjadi instrumen pemerata atas kesenjangan sosial. Dengan demikian, pada 2035 pendidikan Indonesia dapat sejajar dengan tetangganya di lingkup ASEAN.
(Hafid Abbas, Guru Besar FIP Universitas Negeri Jakarta; Profesor Tamu di Tsai Lecture Series, Harvard University, 2006)