Bersiasat dalam Pilkada Rasa Pandemi
Meski dianugerahi sebagai anak, menantu, atau kerabat mereka sedang berkuasa saat ini, cukup jelas bahwa politik yang mendapat dukungan rakyat adalah hasil dari perjuangan untuk mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Bukan kebetulan bahwa di tengah pandemi saat ini kampanye pilkada dikerjakan dengan beragam cara. Termasuk di Solo yang menampilkan dua paslon untuk calon wali kota dan wakil wali kota, salah satu cara yang digunakan adalah door to door (dari pintu ke pintu).
Cara yang cukup mudah dan murah itu dapat dipraktikkan secara langsung tanpa perlu mengerahkan massa. Bahkan, hanya dengan memaanfaatkan sesama sukarelawan/pendukung, kampanye seperti itu dapat direkayasakan secara cepat dan tepat sasaran.
Contohnya, melalui peragaan penyerahan pamflet tentang hidup sehat selama pandemi, kampanye sudah dapat dilaksanakan dengan efektif dan operatif. Apalagi dengan ditambahi selembar ”uang lelah”, peragaan semacam itu sudah cukup menyenangkan dan memberi beberapa manfaat. Tak mengherankan, jika sesudah sesi fotografi dari peragaan usai, beberapa ungkapan spontan muncul sebagai representasi dari rasa puas, seperti ”Sudah difoto dibayar. Enak to?” atau ”Bisa buat beli bakso, nih”.
Dalam bukunya berjudul Jawa. On the Subject of Java (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2018), John Pemberton menunjukkan bahwa pemilu sebagai panggung pesta demokrasi, khususnya di Solo, Jawa Tengah, memang selalu dirayakan secara meriah. Terutama selama masa kampanye, setiap warga sedapat mungkin dilibatkan untuk turun ke jalan. Mengapa? Karena di sanalah mereka dapat menyaksikan siapa pasangan yang akan tampil di atas panggung tersebut.
Masuk akal jika masa kampanye adalah saat dan tempat yang tepat untuk ndelok nganten (melihat pengantin). Karena itu, dapat dimaklumi jika suasana yang terbentuk di situ tergambar dan terwakili dengan kata gemrubyug. Artinya, suasana yang sedemikian riuh-rendah, tetapi tetap tenang, meski sesekali tampak ada sesuatu yang mencekam.
Dalam konteks ini, suara bising dari knalpot para peserta kampanye menjadi penanda unik bahwa di tengah kebisingan yang terasa menakutkan itu masih tergurat kegembiraan untuk merayakan kebebasan layaknya sebuah pesta. Singkatnya, seperti dalam sebuah resepsi pernikahan, para tamu yang hadir dapat berpestapora sepuasnya, bahkan berdansa-dansi sebebas-bebasnya, tetapi sama sekali tidak menciptakan kekacauan.
Hal di atas adalah pandangan tentang pemilu di Surakarta pada 1980-an. Tahun yang boleh dibilang sebagai zaman kejayaan dan kedigdayaan dari penguasa Orde Baru. Orde yang muncul dari konflik politik berdarah di antara anak bangsa. Tragis memang.
Namun, toh, orde yang berada di bawah kekuasaan ”The Smiling General” (Sang Jenderal yang Tersenyum) itu dapat bertahta lebih dari 30 tahun lamanya. Bahkan sesudah orde itu tumbang pun, masih ada gaung yang selalu dikumandangkan sebagai kenang-kenangan atau suvenir yang serba nostalgia aromanya. Salah satunya dalam bentuk ungkapan ”Piye kabare? Penak Zamanku tho?” (Bagaimana kabarnya? Lebih enak Zamanku (Orde Baru), kan?).
Tentu, sesudah lebih dari 20 tahun orde itu berlalu, pada masa pasca-Reformasi ini, suasana kampanye seperti di atas sudah terlalu langka untuk dijumpai. Terlebih di tengah pandemi ini, pembatasan ruang dan gerak dari para peserta pilkada sangat tergantung pada protokol kesehatan yang diberlakukan.
Meski sebelum pandemi, pengerahan massa dapat dilakukan tanpa aturan yang sedemikian ketat, bahkan mampu menghasilkan pemisahan yang ironis atas nama kepentingan sepihak tertentu, namun kini segalanya perlu disiasati dengan cukup jeli dan waspada.
Hasilnya, kampanye dengan model peragaan seperti di atas dipandang dapat menjadi wahana yang mampu memainkan peran sebagai ”Penyambung Lidah Rakyat” sebagaimana pernah digaungkan oleh Bung Karno dalam pidato politiknya yang berjudul GESURI (Genta Suara Revolusi) pada 17 Agustus 1963.
Tetapi, penting untuk dicatat bahwa gaung dari peran seperti itu agaknya sudah mengalami pergeseran. Itulah mengapa, sebagaimana dicatat oleh James Siegel dalam kolomnya yang berjudul ”Yang Hilang dari Zaman Bung Karno” (Basis No 03-04, Maret-April, 2001), pergeseran makna dan tindakan terhadap hal itu justru telah mengakibatkan langkanya suara dan kepentingan rakyat yang alih-alih ingin disambungkan. Sebab mereka yang kebanyakan mengaku sebagai wakil rakyat, kini tidak lagi berperan sebagai ”penyambung", tetapi justru ”penyamun”.
Hal itu cukup jelas dapat ditemukan pada bagaimana saat ini sebagian besar rakyat sudah tidak merasa lagi bahwa suara dan kepentingannya disambungkan. Bahkan, lebih tragisnya, penampakan rakyat hanya sekadar menjadi ”korban” dari ketidakstabilan berpendapat dalam media massa, khususnya media sosial, sehingga dengan mudah mereka membalikkan punggung terhadap kenyataan yang ada.
Sebuah kenyataan bahwa suara dan kepentingan rakyat telah dibuang dari pikiran para elite yang sedang berkuasa. Bukankah kenyataan ini yang masih dan selalu tampil di panggung pesta demokrasi 5 tahunan, termasuk dalam Pilkada?
Betapapun mudah untuk ditebak siapa pasangan yang akan menjadi pengantin dalam hajatan Pilkada di Solo saat ini, tetapi adalah penting dan mendesak untuk diingat bahwa suara dan kepentingan rakyat sudah hilang dalam hiruk-pikuk perpolitikan masa kini. Apalagi di tengah pandemi saat ini, rakyat tak lebih dari ”sapi perahan”, ”kelinci percobaan”, atau ”kambing hitam” dari strategi para elite politik yang lebih berhasrat pada kekuasaan daripada berkuasa pada hasrat-hasrat yang tiada ujung dan pangkalnya dalam berpolitik.
Inilah yang patut dan perlu untuk selalu diwaspadai dengan jeli agar suara dan kepentingan rakyat, khususnya dalam Pilkada 2020 ini, masih dapat terdengar meski hanya bising atau lirih sekalipun bunyinya.
Meski dianugerahi sebagai anak, menantu, atau kerabat dari pihak-pihak yang sedang berkuasa saat ini, cukup jelas bahwa politik yang mendapat dukungan dari rakyat adalah hasil dari perjuangan untuk mengorbankan kepentingan diri sendiri daripada hanya memanfaatkan kepentingan orang banyak.
Dalam konteks ini, menarik untuk belajar dari pemilu pertama yang diselenggarakan saat usia negara-bangsa baru menginjak 10 tahun. Di sana pilihan rakyat yang masih dibayang-bayangi dengan ancaman dan tantangan untuk "angkat senjata" atau sekadar "berdiplomasi", justru menunjukkan bahwa rasa nasionalisme yang berasal dari bawah dapat menghasilkan sesuatu yang tak terduga dan mengejutkan.
PKI (Partai Komunis Indonesia) yang merupakan partai baru menjadi pesaing PNI (Partai Nasionalis Indonesia), NU (Nahdatul Ulama) atau Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang sudah lebih dulu berakar dalam kehidupan masyarakat saat itu. Sebabnya, bukan semata-mata karena PKI adalah partai baru, melainkan lantaran siasat yang digunakan untuk mengambil hati rakyat dapat dinilai cukup efektif dan operatif.
Intinya, rakyat menjadi terbangun dan bergerak untuk mendatangi tempat-tempat pemilihan dan menentukan pilihannya dengan sukarela, meski dalam suasana gelisah atau tidak menentu sekalipun.
(A Windarto Peneliti, di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta)