Ada banyak permasalahan dalam industri gula tebu dalam negeri. Pada intinya, kita lengah mengembangkan komoditas tebu melalui teknologi dan inovasi di hulu hingga hilir.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Indonesia memiliki sejarah gemilang industri gula hingga awal abad lalu. Kondisi hari ini sangat kontras sehingga harus ada cara baru untuk membangkitkan lagi.
Industri gula memerlukan penyelesaian menyeluruh dengan cara baru. Berbagai kebijakan selama ini tidak berhasil menaikkan produksi dalam negeri.
Industri gula tebu Indonesia dimulai sekitar tahun 1650. Antara tahun 1830-an dan 1880-an Indonesia memiliki pabrik gula (PG) modern. Tahun 1930 produksi mencapai 2,9 juta ton, dengan 2,2 juta ton di antaranya diekspor.
Produksi kita saat ini hanya 69 ton tebu per hektar dengan rendemen rata-rata 7,77 persen atau setara 5,36 ton gula; jauh di bawah produksi seabad lalu yang mencapai 14 ton gula.
Data terbaru Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian memperlihatkan, produksi gula tebu nasional turun terus selama tahun 2015-2019. Tahun 2020 produksi gula diperkirakan naik sedikit dari tahun lalu 2.227.046 ton menjadi 2.236.045 ton, semua untuk konsumsi rumah tangga.
Pada sisi konsumsi, ada kebutuhan 5,8 juta ton gula untuk rumah tangga dan industri. Kekurangan itu akan diimpor, menjadikan Indonesia importir gula tebu terbesar. Tambahan 10 PG baru dalam lima tahun terakhir belum mampu meningkatkan produksi gula.
Ada banyak permasalahan dalam industri gula tebu dalam negeri. Pada intinya, kita lengah mengembangkan komoditas tebu melalui teknologi dan inovasi di hulu hingga hilir.
Menambah PG dan merevitalisasi PG tua milik negara tetap harus diikuti inovasi pancausaha tani. Tebu berkualitas adalah bahan baku utama industri gula. Akibat kelengahan itu terjadi ketidakefisienan produksi gula dari hulu hingga hilir.
Jika ingin mencapai target swasembada gula tebu, terutama untuk konsumsi, pendekatan penyelesaian harus menyeluruh: terintegrasi dari hulu hingga hilir, komprehensif yang melibatkan antar-kementerian dan lembaga, serta holistik meliputi semua aspek produksi teknis, ekonomi, dan sosial.
Masalah inefisiensi ada pada sisi teknis, sisi ekonomi bisnis, dan sisi sosial.
Dalam rencana peningkatan produksi gula tebu konsumsi, salah satu yang akan dilakukan pemerintah adalah meningkatkan produktivitas pabrik gula milik negara. Perbaikan teknis tersebut tetap harus berbasis efisiensi ekonomi dan bisnis dengan memperhitungkan biaya.
Satu mata rantai yang belum disentuh adalah kepentingan petani tebu. Jutaan petani dan tenaga kerja yang terlibat harus mendapat harga yang baik agar bergairah menanam. Pemerintah perlu mengkaji lagi harga eceran tertinggi Rp 12.500 per kilogram gula karena dalam praktik tidak memberi petani cukup keuntungan.
Menaikkan harga eceran tertinggi gula sampai batas tertentu dan memastikan petani tebu mendapat manfaat harga akan meningkatkan produktivitas petani. Ada keuntungan lain: mendorong tumbuhnya industri pemanis dalam negeri.
Indonesia sangat kaya bahan baku pemanis alami, seperti aren, kelapa, sawit, sorgum, stevia, dan singkong. Kini saatnya mengevaluasi menyeluruh industri gula kita untuk melahirkan kebijakan baru industri pemanis.