Pemerintah punya otoritas untuk mendisiplinkan rakyatnya. Rakyat memilih presiden, gubernur, bupati, wali kota, untuk diberi wewenang mengatur mereka, mendisiplinkan mereka, menghukum mereka bila membahayakan umum.
Oleh
JAKOB SUMARDJO
·4 menit baca
Siapa pun mengakui, dan malah mengalami, bahwa pemerintahan otoriter pernah terjadi di Indonesia, yakni zaman Orde Lama (1959-1966 ) dan zaman Orde Baru ( 1967-1998 ). Keduanya mengakui sebagai pemerintahan ”demokrasi”, yang satu (Orde Lama) sebagai demokrasi terpimpin, dan yang kedua (Orde Baru) sebagai demokrasi Pancasila.
Kedua pemerintahan itu paling sering mengadakan pelarangan-pelarangan, bahkan di bidang kesenian modern, seperti melarang buku-buku sastra dan nonsastra tertentu atau melarang pementasan teater atau baca puisi. Itulah zaman pemerintahan otoriter yang panjang, mulai tahun 1959 diteruskan sampai tahun 1998.
Setelah zaman Reformasi yang lewat selama 22 tahun, pelarangan-pelarangan buku tidak muncul lagi, bahkan pelarangan demonstrasi jarang terjadi. Kalau dahulu negara menguasai rakyatnya, kini kiranya terbalik, rakyat menguasai negara. Sedikit-sedikit muncul demo dengan pengerahan massa dan perusakan-perusakan yang brutal.
Demo dengan perusakan massa ini, pembakaran dan penghancuran, menunjukkan bahwa rakyat belum memahami arti demokrasi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan pleh pemerintah. Kebrutalan demokrasi ini mengingatkan kita pada revolusi rakyat abad ke-19 dan abad ke-20.
Selama reformasi tak pernah muncul pemerintahan yang otoriter. Semua dipilih oleh rakyat sendiri, baik eksekutif maupun legislatif. Tetapi, demo besar-besaran, seperti terjadi saat penggulingan Orde Lama dan Orde Baru yang memang otoriter, terjadi berkali- kali. Apakah ini bentuk ”Tirani Demokrasi” seperti pamflet politik penyair Sapardi Djoko Damono? (2014)
Semua gerakan sah sekarang ini atas nama ”kebebasan berpendapat” meskipun disertai perusakan massif. Bukankah ”kebebasan berpendapat” adalah doktrin otoriter? Apakah kebebasan berpendapat itu bukan untuk semua orang dan semua golongan? Atau hanya untuk mereka yang sedang tak cocok dengan pemerintah, sehingga ”kebebasan berpendapat” menjadi ”demokrasi otoriter”?
Sejarah berdirinya republik ini membuktikan bahwa ketika pemerintahan demokratis (liberal) dijalankan, maka muncul golongan-golongan yang ingin membentuk pemerintahan otoriter dengan ideologi tunggalnya. Tetapi, begitu muncul pemerintahan otoriter, maka golongan-golongan ingin menjatuhkannya atas nama demokrasi, kebebasan berpendapat. Kalau bebas, ingin otoriter; kalau otoriter, ingin bebas. Bangsa paradoks, kapan pembangunan bangsa dan negara dapat dijalankan?
Ketakutan negara terhadap demokrasi otoriter ini menyebabkan timbulnya sikap permisif, yaitu apa saja boleh, yang berarti pembiaran. Dulu pernah muncul usulan bahwa tuduhan teroris itu hanya boleh di tingkat perbuatan, tidak di tingkat pemikiran, karena hal itu bertentangan dengan kebebasan berpendapat.
Demokrasi dengan gagasan kebebasan individu ini menjadi racun karena muatan otoriternya. Bagaimana mengelola kebebasan berpendapat 270 juta warga negara republik ini? Katakanlah, apakah kebebasan pendapat mungkin 5 juta orang boleh memaksakan pendapatnya dengan demo disertai perusakan brutal? Bagaimana dengan 260 juta mayoritas yang berdiam diri? Apakah dibiarkan tak dilindungi?
Gejala pembiaran ( atau ketakutan?) semacam ini semakin jelas tampil. Siapan pun sudah berani melawan petugas pemerintahan untuk mencegat mereka yang tak mau pakai masker. Orang-orang ini berani melawan perintah gubernurnya, atau wali kotanya, atau bahkan presidennya, karena tahu hukumannya cuma main-main belaka, yaitu menyapu jalan yang sudah disapu puluhan pelanggar sebelumnya, atau push-up, atau menyanyi, atau menghafal Pancasila. Semua tak ada hubungannya dengan pelanggaran perintah negara. Hukuman semacam itu hanya patut dilakukan bagi murid yang terlambat masuk sekolah atau terlambat ikut upacara tanggal 17 tiap bulan.
Ketika istri saya lupa memasang seat belt di mobil, kami diberhentikan polisi dan dikenai denda Rp 250.000. Apakah lupa memasang masker dapat dikenai denda negara yang serupa? Atau seharusnya lebih besar dendanya karena lupa masker membahayakan diri sendiri dan orang lain, sedang lupa pasang seat belt hanya merugikan diri sendiri.
Negara dan pemerintah sekarang ini kehilangan otoritasnya. Banyak aturan yang kalau dilanggar tak ada sanksinya. Kalau saya naik angkot terpaksa menungu di bawah tanda larangan ”Stop” di sekitar perempatan jalan. Para sopir angkot tenang-tenang saja menunggu penumpangnya di bawah tanda ”Stop” tadi. Padahal, ada polisi di perempatan itu. Mungkin sudah jengkel memberi tahu para sopir.
Pemerintah tidak bisa hanya memberi imbauan pada rakyat untuk memakai masker dan sebagainya. Pemerintah punya otoritas untuk mendisiplinkan rakyatnya. Rakyat memilih presiden, gubernur, bupati, wali kota, untuk diberi wewenang mengatur mereka, mendisiplinkan mereka, menghukum mereka bila membahayakan umum. Pembiaran dan ketidaktegasan akan menyuburkan iklim demokrasi otoriter.
Negara memiliki kekuatan yang selama Reformasi ini dibiarkan tanpa fungsi, yakni militernya. Kekuatan yang tangguh ini, dulu, di masa revolusi adalah pelindung rakyat sejati. Hanya di zaman Orde Baru pernah ditakuti dan tak disenangi. Tentara hanya diturunkan ketika bencana alam melanda rakyat selama Reformasi ini. Apakah tentara juga tidak dapat ikut ”perang” melawan pasukan virus yang tak nampak ini? Disiplin tentara terkenal di mana-mana. Rakyat yang tak disiplin, perlukah didisiplinkan angkatan ini?