Fokus pembelajaran masa darurat saat ini adalah kompetensi dan ”skill” yang mampu menolong peserta didik untuk bersaing. Bukan hanya kemampuan literasi, matematika, dan sains, tapi yang utama ”soft” dan ”hard skill”.
Oleh
ETTI SUTRIANTI
·4 menit baca
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana melaksanakan Asesmen Nasional (AN) pada 2021. Asesmen ini merupakan pengganti Ujian Nasional (UN) dan dikatakan sebagai penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan. Asesmen Nasional terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
Apakah asesmen capaian pendidikan pada masa ”tidak normal” ini akan efektif? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan tepat jika kita mengacu kepada kondisi dan fakta berjalannya proses pendidikan di sekolah atau di lingkungan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.
Informasi yang didapatkan dari analisis kondisi dan fakta riil ini membantu kita dalam keluar dari ketertinggalan pendidikan selama masa pandemi.
Tak valid
Mari kita lihat dua bagian dari asesmen nasional tersebut, yaitu AKM dan Survei Karakter. Jika kedua komponen asesmen ini dilakukan berupa tes capaian kemampuan peserta didik atau guru, hasil tes tersebut tidak valid dan reliable untuk dijadikan patokan program perbaikan pendidikan di masa datang, apalagi jika data yang diambil terbatas (sekadar sampling) dengan kondisi belajar dan mengajar tidak normal selama pandemi Covid-19.
Mari kita lihat dua bagian dari asesmen nasional tersebut, yaitu AKM dan Survei Karakter.
Tujuan AKM dinyatakan untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar kognitif (literasi dan numerasi). Meskipun Mendikbud mengatakan bahwa hasil asesmen ini nantinya tidak ada konsekuensinya buat sekolah, hanya pemetaan agar tahu kondisi sebenarnya, toh isu asesmen ini telah memunculkan kegelisahan, kebingungan pada pihak sekolah dan guru.
Hal ini terjadi karena tidak ada sosialisasi yang jelas dan terpadu tentang asesmen nasional yang akan dilakukan. Asesmen ini seolah-olah ide yang muncul secara dadakan dan harus segera dilaksanakan.
Definisi dan tujuan asesmen yang dimaksudkan oleh pemerintah pusat mungkin berbeda dengan makna dan sasaran asesmen yang dipahami oleh dinas pendidikan di daerah, sekolah dan guru, bahkan orangtua. Pada beberapa sekolah, saat ini guru diminta mempersiapkan soal ujian formatif. Hal ini aneh mengingat kegiatan belajar tidak berjalan normal pada masa pandemi Covid-19.
Keterbatasan akses internet, jaringan, motivasi belajar dan dukungan orangtua, keterampilan (skill) mengajar secara daring guru, dan keterbatasan teknologi mengakibatkan pembelajaran tidak bisa dilakukan dengan efektif, termasuk asesmen atau evaluasinya. Evaluasi capaian numerasi dan literasi yang bagaimanakah yang kita harapkan dari kondisi yang tidak kondusif tersebut? Isu pengadaan Asesmen Nasional ini bahkan mengganggu fokus guru dalam mempersiapkan dan menyajikan pembelajaran yang baik pada kondisi dengan banyak keterbatasan ini.
Bagian kedua dari Asesmen Nasional adalah Survei Karakter. Jika pada survei ini peserta didik harus menjawab soal tes yang berkaitan dengan kemampuan sosio emosional, hasil tes ini juga tidak valid.
Peserta didik yang berbulan-bulan di rumah dan harus berusaha sendiri memahami pelajaran dan materi yang diberikan guru. Mereka tidak bertemu dengan teman-temannya dan tanpa guru yang bisa mendampingi dalam memahami pelajaran atau tugas. Tidak semua orangtua bisa mendampingi keseharian anaknya, mengerjakan tugas sekolah, dan berbagi cerita.
Tidak semua orangtua bisa mendampingi keseharian anaknya, mengerjakan tugas sekolah, dan berbagi cerita.
Bahkan, di beberapa wilayah di Indonesia, peserta didik harus membantu orangtua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga pada saat jam belajar. Survei tentang kendala yang dihadapi lembaga pendidikan, guru, siswa, dan orangtua dalam proses belajar jarak jauh lebih bermanfaat dilakukan. Hasil survei tersebut bisa ditindaklanjuti untuk program percepatan perbaikan pendidikan selama masa pandemi.
Anggaran untuk program Asesmen Nasional tidaklah kecil. Anggaran ini lebih bermanfaat jika digunakan untuk melengkapi sarana prasarana pembelajaran jarak jauh, seperti peningkatan akses jaringan internet, gadget, pemberian kuota internet bagi guru dan peserta didik yang dapat digunakan secara maksimal, pengenalan dan pengayaan teknik mengajar daring yang aplikatif dan mudah digunakan guru secara cepat, serta program intensif membangun komunikasi dengan orangtua.
Lebih efisien jika ada integrasi dan kerja sama nyata yang cepat antara Kemendikbud di pusat dengan dinas pendidikan di daerah dalam mempermudah penyediaan pembelajaran yang lebih efisien. Apalagi, jika kerja sama ini dijalin dengan kementerian bidang lainnya.
”Soft” dan ”hard skill”
Pemerintah dapat lebih mengefektifkan pembelajaran selama masa pandemi dengan mempersiapkan dan mendistribusikan modul siap pakai bagi guru-guru. Modul tersebut dapat disiapkan oleh pakar dan staf ahli pendidikan, guru inti atau prestasi. Materi modul harus sinergi dengan kondisi dan konteks peserta didik di daerah masing-masing. Pada modul tersebut keterampilan dan kompetensi target peserta didik ditentukan secara terperinci.
Fokus pembelajaran masa darurat ini adalah kompetensi dan skill yang mampu menolong peserta didik untuk bersaing. Tidak hanya bisa bersaing pada kompetisi internasional PISA yang mengedepankan kemampuan literasi, numerik (matematika) dan sains. Tetapi, yang lebih utama adalah kesiapan generasi muda dengan soft dan hard skill untuk berintegrasi serta berkarya pada era industri 4.0 agar kelak mereka tidak terjajah karena ketertinggalan mereka.
Etti Sutrianti, Guru SMKN 1 Tanjung Raya, Sumatera Barat