Menggugat Hadiah Nobel Sastra
Hadiah Nobel Sastra tentu saja bukanlah segalanya. Namun, suka tidak suka, Hadiah Nobel Sastra adalah sebuah tonggak pencapaian yang layak diakui wibawanya dalam peta sastra dunia.
Salah satu persoalan utama dunia saat ini adalah ketimpangan. Persoalan ketimpangan global ini tak hanya berlaku di bidang ekonomi dan politik, tetapi juga di ranah sastra dunia. Kita ambil contoh dalam hal penganugerahan Hadiah Nobel Sastra.
Hadiah Nobel Sastra yang amat prestisius diberikan setiap tahun sejak 1901. Setiap pemenang berhak atas hadiah berupa sebuah medali emas, piagam, dan uang yang saat ini bernilai 10 juta krona atau sekitar 14 miliar rupiah.
Dalam wasiatnya, Alfred Nobel menyatakan bahwa Hadiah Nobel Sastra diberikan kepada mereka yang telah menghasilkan karya utama di bidang kesusastraan dan pengelolaannya diserahkan kepada Akademi Swedia.
Akademi Swedia menyaring usulan nama dari seluruh dunia yang diajukan oleh orang-orang dan institusi yang dianggap layak dan disurati secara resmi oleh panitia: para anggota Akademi Swedia dan lembaga terpandang sejenisnya, para guru besar di kampus-kampus terpilih di berbagai penjuru dunia, pemenang Nobel Sastra sebelumnya, serta ketua asosiasi penulis tertentu. Pemenang haruslah masih hidup hingga saat pengumuman.
Selama sejarahnya, pemberian Hadiah Nobel Sastra pernah absen karena perang (1914, 1918, 1940-1943). Meski Hadiah Nobel Sastra dianggap sebagai penghargaan sastra paling bergengsi di dunia, pernah terjadi dua pemenang hadiah ini menolaknya, yakni Boris Pasternak (1958) yang menolak akibat tekanan pemerintah Uni Soviet dan Jean-Paul Sartre (1964) yang menampik karena alasan ideologis.
Sementara pada 2018 tak diadakan penyerahan hadiah akibat skandal seks yang melibatkan suami salah satu anggota Akademi Swedia. Pengumuman novelis Polandia, Olga Tokarczuk, sebagai pemenang untuk tahun 2018 baru diumumkan setahun kemudian bersamaan dengan pemenang 2019, yakni Peter Handke—novelis kontroversial Austria yang dikritik karena dianggap membela genosida etnis muslim Bosnia di Serbia pada 1990-an.
Tidak seimbang
Pada 8 Oktober lalu diumumkan bahwa Hadiah Nobel Sastra tahun ini diberikan kepada Louise GlÜck, perempuan penyair Amerika Serikat yang berusia 77 tahun. Dia adalah perempuan ke-16 yang pernah meraih hadiah bergengsi ini.
Jika kita amati daftar pemenang, memang tidak seimbang ditilik dari komposisi jender dan persebaran geografis atau bahasa. Selama 120 tahun sejarahnya, hanya ada 16 perempuan yang pernah meraih hadiah ini di antara 117 pemenang. Selain itu, para pemenang lebih banyak berasal dari Eropa dan Amerika Serikat. Tercatat dalam 7 tahun terakhir 5 pemenang berasal dari Eropa dan 2 lainnya dari Amerika Serikat.
Satu catatan lain, Louise GlÜck adalah pemenang ke-32 yang menulis dalam bahasa Inggris. Bandingkan dengan fakta bahwa belum pernah ada pemenang yang menulis dalam bahasa Jawa (entah itu berkebangsaan Indonesia atau Suriname) atau bahasa Swahili—misalnya. Sementara hanya ada satu pemenang yang menulis dalam bahasa Turki, yakni Orhan Pamuk (2006).
Pertanyaannya: mengapa nyaris tak pernah ada pemenang dari negara-negara minor dalam peta sastra global? Misalnya dari penulis yang berbahasa Melayu (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Filipina) atau bahasa Albania.
Sedemikian burukkah karya mereka sehingga dianggap belum layak meraih Hadiah Nobel Sastra? Ataukah ada sebab lain—misalnya relasi kuasa yang tidak setara antara negara-negara mapan dalam sastra dunia seperti Perancis, Amerika Serikat, dan Inggris di satu sisi dan negara-negara pinggiran seperti Albania (yang memiliki sastrawan sekelas Ismail Kadare) atau Indonesia (yang memiliki Pramoedya Ananta Toer)?
Memang pernah ada Derek Walcott—penyair kelahiran Santa Lucia, satu negara pulau kecil di Karibia—yang berhasil meraih Nobel Sastra pada 1992, tetapi dia menulis dalam bahasa Inggris—yang mewakili arus besar.
Bandingkan fakta berikut ini. Ada 17 pengarang Perancis yang pernah meraih hadiah ini—terbanyak jika dilihat dari negara asal. Lalu, disusul Amerika Serikat (13), Inggris (11), Jerman (10), dan Swedia (8). Artinya, kelima ”negara Barat” itu saja telah menguasai 59 dari 117 predikat pemenang atau lebih dari setengahnya.
Sementara tak seorang pun pengarang Brasil yang pernah meraih hadiah ini. Bahkan, dari seluruh negara berbahasa Portugis (Portugal, Brasil, Mozambik, Angola, Timor Leste), sepanjang sejarah hanya ada Jose Saramago (Portugal, 1998) seorang yang pernah ”diberi” hadiah ini.
Jika dilihat dari paparan tersebut, sungguh timpang dan tak seimbang peta sastra global dalam konteks ”politik sastra” Hadiah Nobel ini.
Selera dan bias juri
Bagaimanakah seseorang bisa terpilih meraih Hadiah Nobel Sastra? Ada banyak faktor. Selain prestasi sastrawi yang bersangkutan, salah satu yang dominan adalah selera para juri yang kerap sulit ditebak dan bisa jadi dipengaruhi oleh bias dari para anggota Akademi Swedia sebagai panitia.
Setiap tahun alasan kenapa seseorang menjadi pemenang diumumkan secara resmi. Namun, nama para nomine dirahasiakan hingga 50 tahun kemudian. Saat ini kita hanya bisa tahu secara terbuka para nomine dari 1901 hingga 1970. Nama-nama itu bisa dilihat di situs resmi panitia Nobel.
Dari arsip yang telah dibuka itulah, misalnya, kita bisa mengetahui bahwa pada 1966 terdapat 99 nomine, termasuk Miguel Angel Asturias (yang baru menang setahun kemudian), Gunter Grass (yang baru menang 33 tahun kemudian), dan Samuel Beckett (baru menang pada 1969).
Bisa dilihat pula bahwa Hadiah Nobel Sastra bukan perkara pemungutan suara. Pada 1961, tercatat 8 orang mencalonkan penyair Amerika Serikat kenamaan Robert Frost, tetapi yang dinyatakan sebagai pemenang akhirnya adalah Ivo Andric—novelis Yugoslavia yang hanya dicalonkan oleh 4 pihak.
Hadiah Nobel Sastra tentu saja bukanlah segalanya. Banyak sastrawan terkemuka dan berpengaruh yang sepanjang hayatnya tak pernah meraih hadiah bergengsi itu, sebutlah Leo Tolstoy, Franz Kafka, atau Jorge Luis Borges. Namun, suka tidak suka, Hadiah Nobel Sastra adalah sebuah tonggak pencapaian yang layak diakui wibawanya dalam peta sastra dunia.
Saya berharap, pada masa yang akan datang penganugerahan Hadiah Nobel Sastra lebih mengakomodasi para penulis dari negara-negara dan bahasa-bahasa minor dalam peta sastra global sehingga pada gilirannya itu akan dapat mendorong terciptanya arus dialog yang lebih setara antara ”pusat” dan ”pinggiran”.
ANTON KURNIA
Pengarang, penerjemah karya sastra, penulis buku Ensiklopedia Sastra Dunia (2019)