Ketika pasien datang ke dokter untuk berobat, pasien hampir tak bisa menolak resep dokter. Selain ketidaktahuan, pasien tak punya pilihan dan tak bisa menunda.
Oleh
BHAROTO
·3 menit baca
Jauh sebelum pandemi Covid-19, harga obat di Indonesia sudah mahal, bahkan kabarnya termasuk paling mahal di dunia.
Saya sebagai rakyat biasa kurang paham, tetapi bisa jadi karena obat dan bahan baku obat sebagian besar impor. Belum lagi praktik kurang terpuji antara industri farmasi dengan oknum dokter, yang memicu ekonomi biaya tinggi.
Memang untuk menemukan sebuah obat, perlu riset sampai uji klinis yang membutuhkan waktu dan biaya yang mahal, tetapi kita perlu bersyukur dengan kehadiran obat generik: khasiat sama, tetapi harga lebih murah. Apalagi, ketika ada pandemi Covid-19.
Namun, ketika Kementerian Kesehatan mengeluarkan aturan batas harga tertinggi tes cepat Rp 150.000 (dari harga semula sampai Rp 600.000) dan untuk tes PCR Rp 900.000 (dari harga semula sampai Rp 2 juta), muncul pertanyaan, wajarkah harga obat di Indonesia?
Salah satu persoalan adalah lemahnya posisi tawar pasien. Ketika pasien datang ke dokter untuk berobat, pasien hampir tak bisa menolak resep dokter. Selain ketidaktahuan, pasien tak punya pilihan dan tak bisa menunda. Masalah lebih besar bisa muncul ketika pemerintah menangani pandemi Covid-19 saat ini. Dibutuhkan obat (termasuk vaksin) dalam jumlah sangat besar mengingat jumlah penduduk Indonesia banyak.
Berapa besar dana yang dibutuhkan untuk pengadaan seluruh obat dan vaksin? Bagaimana kalau terjadi penyimpangan harga dalam pengadaan obat-obatan itu? Sebagai rakyat biasa, kita hanya bisa berharap pemerintah benar-benar bisa mengantisipasi munculnya masalah ini.
Perlu transparansi, ketegasan, keadilan, dan kesungguhan agar kita semua terhindar dari masalah tersebut. Sudah waktunya masyarakat memperoleh keadilan melalui harga obat yang wajar.
BHAROTO
Jl Kelud Timur, Semarang
Rubrik Obituari
Saya penggemar rubrik Obituari, bahkan saya kliping. Melalui obituari kita mengetahui kisah perjuangan, karya, dan warisan seseorang, sekaligus menjadi sumber inspirasi yang membaca, terlebih bagi generasi penerus.
Melalui rubrik Obituari, media massa menghargai orang yang sudah tiada, menginformasikan kepada masyarakat tentang keteladanan. Seperti pepatah, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.
Kompas sering mengulas berita atas berpulangnya beberapa tokoh, seperti politikus, akademisi, seniman, seniwati, pengusaha, rohaniwan, hingga wartawan Kompas, lengkap dengan fotonya. Tentu hal ini mendapat apresiasi dari masyarakat dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Sayang, akhir-akhir ini Kompas mengabaikan rubrik Obituari. Kompas harus berani menambah halaman sehingga rubrik potensial tidak hilang.
Yes Sugimo
Jl Melati Raya, Melatiwangi, Cilengkrang, Bandung 40616
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas kritik dan saran yang Anda sampaikan.
Waspadai ”Droplet”
Para peneliti di Singapura telah mengembangkan simulasi yang lebih akurat. Ini untuk menggambarkan penyebaran droplet atau tetesan air liur dan cairan hidung, pada yang terinfeksi Covid-19, di kawasan tropis (9/11/2020).
Iklim Singapura dan di Indonesia mirip, dengan suhu udara rata-rata 27 derajat celsius. Dalam kondisi ini penyebaran droplet lebih cepat. Droplet di iklim tropis akan sangat berbeda dari iklim sedang, yang akan lebih kering.
Oleh karena itu, diharapkan seluruh elemen masyarakat bersama-sama taat dan menjalankan protokol kesehatan. Caranya dengan tetap menggunakan masker, serta menjaga jarak terhadap siapa saja saat di luar rumah.
Pun kepada pemerintah, saya mengimbau untuk terus menyosialisasikan, mengawal, sekaligus menghargai masyarakat yang menaati protokol kesehatan. Sebaliknya, kepada yang melanggar bisa diberikan semacam sanksi.
Karena hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab kita bersama, kita harus mewaspadai droplet agar tidak terinfeksi virus korona yang mematikan itu.