Ngobrol dan merenung sambil nyeruput kopi klotok di Bukit Menoreh terasa sekali bahwa Jakarta sudah terlalu pengap dengan urusan politik. Padahal, warga bangsa ini butuh keteduhan agar bisa berkreasi membangun desa.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Setelah mendekam di ”penjara” Jakarta, selama lebih dari enam bulan, kegiatan Borobudur Marathon 2020 membuat saya keluar dari ”penjara” dan bergerak ke Magelang, Jawa Tengah. Borobudur Marathon menjadi maraton pertama pada masa pandemi yang digelar di Tanah Air. Maraton dalam sunyi, tanpa kehadiran penonton.
Borobudur Marathon menjadi ajang pembuktian diri bahwa bangsa ini bisa menghelat maraton dengan protokol kesehatan superketat. Tes usap diberlakukan secara ketat terhadap siapa pun yang akan memasuki race central di Taman Lumbini Candi Borobudur. Tes usap dilakukan dua kali kepada semua peserta, panitia, dan tamu VVIP saat datang dan saat akan pulang. Masker, pelindung wajah, dan sarung tangan menjadi pemandangan umum di race central.
Seusai perhelatan, menikmati senja di Bukit Menoreh, menjadi kenikmatan tersendiri. Mampir ngopi di kopi klotok Menoreh seakan menjadi oase di tengah kepengapan Ibu Kota. Beberapa kali undangan seorang teman disampaikan untuk mampir di warung kopi di tengah sawah sambil menikmati senja di Bukit Menoreh. ”Kalau datang jangan siang, panas karena pengaruh aktivitas Gunung Merapi,” ujar Eko B Supriyanto, pemimpin redaksi majalah dan mantan komisaris bank swasta.
Datang saat senja di Bukit Menoreh menawarkan keteduhan. Banyak remaja dan orang dewasa nongkrong di rumah joglo di tengah sawah. Tak ada televisi dipasang di sana. Dari obrolan yang sempat terdengar, tak ada diskusi politik Jakarta yang begitu berisik. Cerita soal gowes. Cerita soal bagaimana mengkreasi kuliner perdesaan menjadi selera kota.
Eksekutif muda itu memutuskan mundur dari kebisingan Ibu Kota. ”Jakarta terlalu sumpek. Bangun pagi, sudah berpikir ini mobil ganjil atau genap,” ucapnya. Dia pun memilih balik ke alam. Seperti yang dikatakan JJ Rousseau (1712-1778), filsuf yang lahir di Geneva, Swiss, back to nature atau retour à l\'état de nature.
Kembali ke alam menjadi tema sentral pada masa pandemi. Warung kopi tradisional tumbuh berkembang di daerah perdesaan. Persawahan dikemas menjadi lokasi berfoto, seperti di kawasan Candi Borobudur, seperti dipertontonkan warga Dusun Ngaran dan Gopalan, Desa Borobudur, dengan nama Svarga Bumi.
Sebuah tempat berfoto yang layak Instagram dengan panorama persawahan ala Ubud di Bali. Atau kreativitas warga mengemas Dusun Butuh, kawasan Kali Angkrik, di Kaki Gunung Sumbing, menjadikan kawasan itu sebagai Nepal van Java yang sedang viral. ”Lokasi ini baru viral Pak,” ujar tukang ojek yang mengantarkan wisatawan menikmati keindahan Nepal van Java. Ekonomi rakyat tumbuh.
Ngobrol dan merenung sambil nyeruput kopi klotok terasa sekali bahwa Jakarta sudah terlalu pengap dengan urusan politik. Padahal, warga bangsa ini butuh keteduhan agar bisa berkreasi membangun desa dan bertahan dalam situasi tidak mudah. Wajah politik kontemporer diwarnai dengan sumpah serapah dan kata-kata kotor. Politik diwarnai dengan pernyataan merendahkan manusia, saling serang, saling siasat. Politik ditandai dengan konsistensi dalam inkonsistensi. Politik yang diwarnai dengan tidak satunya kata dan perbuatan.
Kebijakan dibaca publik sebagai ambigu. Pada satu sisi menegaskan, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, tapi tetap mengizinkan pilkada berjalan. Pada satu sisi, melarang orang bergerak ke luar kota saat liburan, tapi memformalkan cuti bersama dan terjadilah liburan panjang. Negara seperti terlena dalam menjalankan tugas pokoknya.
Politik kontemporer Jakarta kian menjauh dari apa yang dikatakan politik adalah seni mencari berbagai kemungkinan. Mengutip Haryatmoko, politik disebut seni karena dia membutuhkan kemampuan meyakinkan melalui kemampuan bicara, bukan manipulasi, bukan pula kebohongan dan ancaman kekerasan. Politik kekuasaan haruslah memperjuangkan ”kehidupan bersama dan untuk sesama” (bonum commune). Bukan politik yang dikreasi untuk kian membelah masyarakat.
Produk legislasi di Senayan secara sadar atau tak sadar kian memperuncing polarisasi di masyarakat. Ada Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga, ada RUU soal minuman beralkohol. Undang-undang itu diproduksi Senayan dan berpotensi kian mempertajam polarisasi.
Pada saat bangsa butuh kesejukan dan upaya menguatkan kohesi sosial, untuk memenangi peperangan menghadapi Covid-19, RUU seperti itulah yang muncul dalam Prolegnas. Sebuah rancangan undang-undang yang tidak layak dibahas sekarang. Akan tetapi, siapa yang memikirkan pembangunan hukum ke depan? Rasanya, kok tidak ada politik hukum yang memperkuat eksistensi negara demokrasi konstitusional.
Saat mentari kian tenggelam, malam kian gelap, dan hujan membasahi Bukit Menoreh, sebuah pesan masuk ke telepon genggam saya. Seorang rekan berkirim pesan mengenai pidato Kamala Harris, wakil presiden terpilih Amerika Serikat, ”The decency is back. Kepatutan bernegara akan menjadi warna dunia. Kata-kata baik akan mengemuka. Menggantikan kata-kata merendahkan dan menyerang.” Itu mungkin menjadi harapan dan masa depan AS setelah Donald Trump. Akan tetapi bagaimana dengan Indonesia?
Bangsa ini membutuhkan narasi besar yang menyatukan dan menyejukkan guna mengakhiri suasana pembelahan sosial untuk kepentingan jangka pendek. Seorang sekjen ormas mengirim pesan, ”Saya sendiri tak tahu persis apa yang sedang terjadi. Seperti ada tangan tak kelihatan yang sedang bermain.”
Kembali ke Rousseau, kembali ke alam. Kembali ke cita-cita kemerdekaan. Kembali ke agungnya politik. Saatnya, politik negara teguh kukuh berdiri terhadap siapa pun yang mau mengoyak tenun kerukunan dan tenun kebangsaan. Pemilu masih empat tahun lagi.