Penemuan vaksin, serta efektivitas kebijakan pemulihan ekonomi dan sosial, akan membentuk lingkungan bagi pelaku ekonomi untuk membuat keputusan yang optimal.
Oleh
UMAR JUORO
·5 menit baca
Perekonomian Indonesia kembali mengalami resesi setelah dua dekade sejak krisis moneter 1998. Pertumbuhan pada triwulan III-2020 mengalami kontraksi 3,49 persen, menyusul pertumbuhan negatif 5,32 persen triwulan II. Meski tak seburuk banyak negara lain, pada 2020 ekonomi Indonesia diperkirakan terkontraksi sekitar 2 persen.
Pada 1998 ekonomi terkontraksi hingga 13,1 persen karena krisis keuangan dan juga kerusuhan sosial akibat perubahan politik yang drastis. Resesi 2020 terjadi karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan banyak kegiatan ekonomi terpuruk, bahkan berhenti beraktivitas. Namun, berbeda dengan pada masa krisis moneter 1998, kali ini sektor keuangan masih bertahan cukup baik, hanya kredit perbankan yang tidak tumbuh (flat).
Di kedua resesi, konsumsi masyarakat sama-sama mengalami kontraksi sekalipun dengan alasan yang berbeda.
Trayektori pemulihan
Pada pemulihan ekonomi pasca-krisis 1998, dalam lima tahun setelah krisis rata-rata pertumbuhan ekonomi sekitar 4 persen, dan kemudian meningkat ke sekitar 5 persen. Pada 2010-2013, ekonomi dapat tumbuh di atas 5 persen karena dorongan harga komoditas yang tinggi, terutama batubara dan CPO. Setelah masa boom komoditas ini berlalu, pertumbuhan ekonomi melambat ke tingkatan sekitar 5 persen 2014-2019.
Namun, berbeda dengan pada masa krisis moneter 1998, kali ini sektor keuangan masih bertahan cukup baik, hanya kredit perbankanyang tidak tumbuh (flat).
Pemulihan ekonomi kali ini akan sangat bergantung pada bagaimana Covid-19 dapat ditanggulangi. Hal ini antara lain berkaitan kuat dengan kepercayaan konsumen. Melihat naik turunnya dan luasnya penyebaran Covid-19 serta kemampuan mengatasinya, termasuk kemungkinan ketersediaan vaksin dengan perkembangan yang signifikan belakangan ini, penanggulangan Covid-19 berjalan relatif lambat sehingga kepercayaan konsumen lambat pula dalam pemulihannya.
Konsekuensinya, kegiatan ekonomi lainnya, khususnya investasi, juga relatif lambat. Pemulihan ekonomi dunia juga serupa, akan berjalan lebih lambat dari perkiraan semula dengan alasan yang sama. Selain basis yang rendah, belum terlihat sektor tertentu yang dapat menghela dengan kuat pemulihan ekonomi. Jelas bahwa semakin kita dapat mengatasi Covid-19 ini dengan lebih baik dan lebih cepat, semakin besar dukungannya terhadap pemulihan ekonomi.
Perubahan struktural
Semula, UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk memfasilitasi investasi yang sangat dibutuhkan dalam pemulihan ekonomi dengan tetap memperhatikan kesejahteraan, khususnya pekerja. Namun, kuatnya penentangan dari publik, langkah yang tergesa-gesa dan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, membawa ketidakpastian terhadap efektivitas UU ini dalam memfasilitasi investasi nantinya.
Keadaan ini juga menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan perubahan struktural untuk memfasilitasi perkembangan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan sangatlah sulit untuk dilakukan, apalagi secara komprehensif, seperti UU Cipta Kerja.
Perubahan struktural untuk membuat kegiatan investasi lebih terfasilitasi dan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel dan kompetitif sangat dibutuhkan bagi pemulihan dan perkembangan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, bagaimanapun, cakupan permasalahan (scope), dukungan publik, dan waktu (timing) sangat menentukan dalam implementasi dan tingkat keberhasilannya. Jika tidak, justru akan menurunkan kredibilitasnya.
Konsistensi kebijakan
Kebijakan untuk pemulihan ekonomi dapat dikatakan sudah maksimal, mencakup kebijakan moneter, fiskal, sektoral, dan bahkan sosial, khususnya bantuan sosial dan tunjangan pengangguran, tetapi efektivitasnya yang belum memadai. Masih terus meningkatnya infeksi Covid-19 dan berlanjutnya pembatasan sosial berskala besar (transisi) membuat kebijakan pemulihan ekonomi menjadi kurang efektif. Begitu pula kemampuan dalam merealisasikan anggaran masih jadi masalah serius.
Sejak semula sebenarnya pemerintah melakukan pendekatan superposisi ekonomi dan kesehatan, di mana upaya mengatasi Covid-19 dilakukan sejalan bersamaan dengan pemulihan ekonomi. Namun, karena upaya mengatasi Covid-19 masih jauh dari optimal, pemulihan ekonomi juga terhambat.
Namun, karena upaya mengatasi Covid-19 masih jauh dari optimal, pemulihan ekonomi juga terhambat.
Superposisi adalah dalam pengertian sinergi keduanya dilakukan bersamaan, bukan bergantian (trade off) seperti gas dan rem. Superposisi ini menghendaki dilakukannya tindakan luar biasa dalam pengujian, penelusuran, dan isolasi, dan tentu saja vaksin, dalam pemanfaatan sains dan teknologi. Indonesia telah melakukannya, tetapi masih jauh dari optimal sehingga jumlah yang terinfeksi masih meningkat dan angka kematian masih lebih tinggi daripada rata-rata dunia.
Kebijakan moneter dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan rendahnya inflasi dan terjaganya likuiditas. Perbankan juga cukup stabil dengan terjaganya likuiditas dan rendahnya kredit macet (NPL). Hanya pertumbuhan kredit yang tidak mengalami pertumbuhan, bahkan kredit konsumsi mengalami kontraksi, dan ini kembali memperlihatkan kepercayaan konsumen yang belum pulih dan permintaan kredit (berkualitas) yang rendah.
Masyarakat yang berpendapatan menengah dan tinggi masih menyimpan dananya di bank daripada untuk berbelanja sebagaimana terlihat dari tingginya dana pihak ketiga (DPK). Begitu pula perusahaan yang baik masih belum mengajukan permohonan kredit dalam jumlah yang memadai.
Untuk pertumbuhan ekonomi 4-5 persen dibutuhkan pertumbuhan kredit paling tidak dua kali lipatnya. Lemahnya rantai pergerakan ekonomi ini harus diatasi, mulai dengan perbaikan dalam kepercayaan konsumen untuk memulihkan konsumsi. Untuk pertumbuhan ekonomi berkisar 4-5 persen dibutuhkan pertumbuhan konsumsi paling tidak sama tingginya.
Selanjutnya, aktivitas produksi dan permintaan kredit mengikutinya. Untuk peningkatan investasi, upaya memperbaiki lingkungannya harus terus dilakukan, bagaimanapun UU Cipta Kerja jadinya nanti pasca-judicial review MK. Perbaikan langsung di lapangan dengan mengatasi hambatan investasi sebenarnya lebih berkontribusi dalam peningkatan investasi daripada upaya yang tampaknya komprehensif, tetapi dengan ketidakpastian yang menyertainya.
Tanda-tanda pemulihan ekonomi terlihat dari pertumbuhan per triwulanan (qtq) yang cukup signifikan sekitar 5 persen. Pertumbuhan kredit per bulanan juga positif. Tantangannya adalah bagaimana ini dapat diakselerasi dan berkesinambungan sejalan dengan perbaikan dalam mengatasi Covid-19.
Keputusan pelaku ekonomi
Dalam mengambil keputusan untuk melakukan kegiatan ekonomi, baik konsumsi maupun produksi, pelaku ekonomi, di perusahaan dan rumah tangga, tidak selalu melakukan optimalisasi seperti yang digambarkan dalam teori ekonomi. Kekhawatiran (fear) berpengaruh dalam pengambilan keputusan menurut teori ekonomi behavioris sehingga keputusan tidak optimal, seperti yang terjadi dengan pengaruh Covid-19, belanja rumah tangga dan perusahaan mengalami penurunan. Menurut kuantum ekonomi, keputusan bersifat superposisi dan berkaitan (entanglement).
Menurut kuantum ekonomi, keputusan bersifat superposisi dan berkaitan (entanglement).
Superposisi antara ekonomi dan kesehatan, keterkaitan antara penjual dan pembeli, kreditor dan debitor, menentukan tingkat optimalisasi dari keputusan tersebut. Sekarang ini, keputusan pelaku ekonomi masih belum optimal.
Dalam masa pemulihan ekonomi keputusan di perusahaan dan rumah tangga semestinya semakin mendekati ke tingkatan optimal, bergantung pada tingkat kepercayaan (confidence), kuatnya superposisi dan keterkaitan dalam pembuatan keputusan ekonomi, bisnis, dan rumah tangga.
Harapan terhadap penemuan vaksin dan penggunaannya yang luas, efektivitas kebijakan pemulihan ekonomi dan sosial, akan membentuk lingkungan bagi pelaku ekonomi untuk membuat keputusan yang optimal. Semakin optimal keputusan pelaku ekonomi akan semakin kuat pula pengaruhnya pada pemulihan ekonomi.