Peran G-20 Atasi Pandemi Global
Untuk membantu pemulihan ekonomi global jangka menengah perlu kiranya Indonesia menyuarakan agar G-20 berperan lebih aktif lagi dalam upaya mendukung pemulihan ekonomi global melalui penguatan struktural.
Konferensi Tingkat Tinggi G-20 akan diselenggarakan secara virtual pada 21-22 November 2020, dipimpin Presidensi G-20 Kerajaan Arab Saudi di tengah situasi krisis global pandemi Covid-19. Pertemuan tingkat tinggi kedua G-20 tahun ini difokuskan pada upaya penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi global. KTT G-20 merupakan KTT ketiga bulan ini setelah ASEAN dan APEC.
Dua puluh anggota G-20 yang menguasai dua pertiga perekonomian global menggarisbawahi pentingnya solidaritas dan kesatuan global dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya, upaya pemulihan ekonomi dan perdagangan global, bantuan pada negara-negara yang paling membutuhkan, dan upaya membangun masa depan yang lebih baik.
Dalam kesempatan itu, G-20 Leaders’ Declaration menjadi benchmark bagi upaya kerja sama multilateral dalam mengatasi pandemi Covid-19. G-20 sendiri didirikan pada masa krisis tahun 1999 dan kembali menghadapi tantangan di masa krisis keuangan global pada 2008-2009. Sejak saat itu hingga kini, G-20 telah memainkan peran penting dalam kerja sama internasional dan mengambil tanggung jawab kepemimpinan global di masa-masa krisis.
Keberadaan Indonesia di G-20 sangat penting karena mewakili kepentingan dan problematika negara-negara berkembang.
Indonesia bergabung sejak awal G-20 dibentuk dan merupakan satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota forum global yang mewakili 85 persen PDB dunia dan 75 persen perdagangan global. Selain faktor populasi penduduk dan potensi ekonomi yang besar, daya tahan Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi menjadi faktor penentu yang menjadikan Indonesia sebagai anggota G-20.
Keberadaan Indonesia di G-20 sangat penting karena mewakili kepentingan dan problematika negara-negara berkembang. Selain itu, posisi Indonesia di G-20 dapat dijadikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengembangkan kerja sama multilateral sekaligus berperan dalam penyelesaian krisis global.
Penanganan pandemi
Tak lama setelah WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020, G-20 mengadakan KTT Luar Biasa, diikuti serangkaian pertemuan tingkat menteri terkait. G-20 telah melakukan berbagai upaya nyata dalam mitigasi dampak pandemi dan proses pemulihan ekonomi global.
Di sektor kesehatan, hingga pertengahan tahun, negara-negara G-20 telah mengeluarkan 21 miliar dollar AS untuk mendukung produksi, distribusi, dan akses terhadap diagnosis, terapi, dan vaksin. G-20 juga mendukung WHO untuk mengimplementasikan Regulasi Kesehatan Internasional 2005, Dana Solidaritas untuk Respons Covid-19, serta mendukung inisiatif global untuk coalition for epidemic preparedness innovations (CEPI) dan inisiatif akselerator akses peralatan Covid-19 (access to Covid-19 tools) untuk menjamin akses terhadap vaksin, pengobatan, dan peralatan lain bagi semua negara.
Di sektor keuangan, negara-negara G-20 mengeluarkan stimulus hingga 11 triliun dollar AS untuk penanganan Covid-19 yang membantu menggerakkan perekonomian. Salah satu program G-20 yang berdampak signifikan terhadap upaya penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi global adalah debt service suspension initiative (DSSI) yang telah diperpanjang hingga pertengahan 2021.
Inisiatif ini merupakan penangguhan pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri bagi negara-negara paling miskin di dunia yang membutuhkan. Dalam jangka pendek, skema DSSI sangat membantu perekonomian negara-negara miskin melalui penyediaan likuiditas untuk penanggulangan pandemi Covid-19.
Selain itu, G-20 juga membuat common framework di luar fasilitas DSSI untuk membantu restrukturisasi utang bagi negara yang paling membutuhkan, serta mendorong keterlibatan kreditor sektor swasta.
Salah satu kelebihan G-20 adalah forum ini mendorong sektor-sektor lain mengatasi dampak pandemi, selain kesehatan dan keuangan.
Di samping memberikan keringanan pembayaran utang luar negeri, G-20 bekerja sama dengan Bank Dunia menyediakan fasilitas pembiayaan jalur cepat bagi negara-negara berkembang. Fasilitas ini disediakan untuk mendukung pengadaan berbagai peralatan kesehatan yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19.
Pemulihan ekonomi di sektor riil juga menjadi perhatian G-20, di antaranya terkait dukungan digitalisasi bisnis UMKM, upaya memperlancar perdagangan internasional di tengah meningkatnya proteksionisme global, dan membangun ketahanan rantai nilai global di tengah pandemi.
Salah satu kelebihan G-20 adalah forum ini mendorong sektor-sektor lain mengatasi dampak pandemi, selain kesehatan dan keuangan. Pada sektor energi, G-20 memberikan perhatian pentingnya pasokan yang mencukupi, stabil, dan terjangkau untuk layanan kesehatan. Pada sektor pertanian dan pangan, G-20 berkomitmen untuk tidak menerapkan pembatasan ekspor atau bea tambahan bagi produk-produk untuk bantuan kemanusiaan.
Pada sektor pariwisata, G-20 mengeluarkan Pedoman Aksi Perjalanan yang Aman dan Lancar sebagai bagian dari pemulihan krisis.
Berbagai langkah yang dilakukan G-20 mendapat perhatian dari masyarakat dan organisasi global. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sependapat dengan langkah G-20 tentang jaminan ketersediaan dan keterjangkauan vaksin bagi semua. PBB juga mengapresiasi inisiasi G-20 tentang penangguhan utang bagi negara-negara miskin yang terdampak pandemi, bahkan meminta agar layanan ini diperluas bagi negara-negara lain.
Terlepas dari pencapaian itu, negara-negara G-20 masih mempunyai pekerjaan rumah besar karena masih terjadi persaingan dalam pengembangan vaksin dari beberapa negara anggotanya. Selain itu, langkah yang diambil negara-negara anggota dalam mengatasi pandemi juga terlihat masih beragam. Hal ini mempersulit penghentian penyebaran virus akibat pergerakan orang lintas batas.
Langkah ke depan
Meski bukan forum multilateral yang mengikat secara hukum, peran G-20 dalam mengatasi pandemi dan dampaknya tetap dinantikan dunia, mengingat dua pertiga kekuatan ekonomi global tergabung di dalamnya. Karena itu, koordinasi dan kolaborasi anggota G-20 dalam pengembangan vaksin yang dapat diakses oleh semua secara terjangkau menjadi agenda penting yang perlu disepakati dan direalisasikan. Selain itu, koordinasi diperlukan untuk menyelaraskan langkah dalam mengatasi pandemi dan dampak sosial-ekonominya.
Selain itu, koordinasi diperlukan untuk menyelaraskan langkah dalam mengatasi pandemi dan dampak sosial-ekonominya.
Untuk membantu pemulihan ekonomi global jangka menengah, perlu kiranya bagi Indonesia menyuarakan agar G-20 berperan lebih aktif lagi dalam upaya mendukung pemulihan ekonomi global melalui penguatan struktural. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah mengurangi proteksionisme pasar negara maju bagi produk-produk impor dari negara miskin dan berkembang. Selain berpotensi mempercepat pemulihan ekonomi negara miskin dan berkembang, upaya itu diharapkan mampu menekan debt service ratio mereka pascapandemi Covid-19.
Inisiasi-inisiasi tersebut strategis bagi Indonesia dalam rangka menunjukkan kesiapannya untuk memegang Presidensi G-20 tahun 2023 sekaligus berperan aktif dalam penyelesaian pandemi global.
Tahun 2023 akan menjadi sorotan utama diplomasi Indonesia karena menjadi momentum bersejarah dipercaya untuk memegang dua kepemimpinan (dual-chairmanship), yakni Presidensi G-20 Indonesia dan Keketuaan ASEAN. Kedua forum ini memang berbeda secara organisasi ataupun cakupan. ASEAN merupakan organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, dengan Jakarta menjadi sekretariat organisasi tersebut dan Indonesia ikut melahirkan dan membesarkan ASEAN sampai saat ini.
Di sisi lain, G-20 merupakan kelompok negara dengan perekonomian terbesar dunia yang mencakup semua kawasan dunia dan tak memiliki sekretariat sehingga setiap Presidensi G-20 melakukan fungsi kesekretariatan. Oleh karena itu, sinergi baik dari persiapan maupun diplomasi yang akan dibawa Indonesia 2023 diharapkan bisa dirasakan manfaatnya secara konkret, tidak hanya bagi bangsanya sendiri, tetapi juga untuk kawasan dan global.
Febrian A Ruddyard, Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI