Pandemi, Energi Terbarukan dan Penciptaan Lapangan Kerja
Transisi energi merupakan investasi di lapangan kerja, pertumbuhan, dan di masa depan yang stabil dan tangguh. Negara-negara ASEAN—termasuk Indonesia—bisa menempatkan diri di garda terdepan masa depan yang berkelanjutan.
Oleh
FRANCESCO LA CAMERA
·4 menit baca
Belum pernah ada masa sepenting sekarang untuk merangkul masa depan rendah karbon di Asia Tenggara. Covid-19 mengingatkan kita akan potensi bencana akibat ancaman seperti pandemi global dan akan potensi bahayanya bumi yang semakin panas. Agar terjadi pemulihan yang adil, berkesinambungan, dan mampu mencegah kehancuran akibat perubahan iklim, saat ini juga dibutuhkan intervensi kebijakan yang cepat terlaksana dan berwawasan ke depan.
Setiap negara di dunia bisa mengarungi masa yang memprihatinkan ini menuju kestabilan, kemakmuran, dan ketangguhan dengan merangkul masa depan rendah karbon. Paket-paket stimulus nasional yang dirancang untuk membangkitkan ekonomi pascapandemi harus disusun berdasarkan transisi energi, selaras dengan agenda pembangunan berkelanjutan serta Perjanjian Iklim Paris.
Untuk ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), arah yang harus diambil sudah jelas. Upaya-upaya menuju transformasi energi harus diarusutamakan dalam pengambilan keputusan politik kolektif di kawasan ini. Kini saatnya mengambil langkah-langkah kebijakan dan investasi yang berani, konkret, dan bijaksana sebagai landasan untuk pemulihan yang cepat dan pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan.
Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang signifikan. Kini, negara-negara di kawasan ini baru menggunakan sekitar seperempat dari potensi mereka untuk menghasilkan daya terbarukan yang hemat biaya. Pada tahun 2030, lebih dari separuh kapasitas listrik di ASEAN bisa bersumber dari energi terbarukan yang dihasilkan oleh teknologi modern dan upaya-upaya penyempurnaan jaringan listrik. Angka tersebut adalah dua kali lipat dari yang ada sekarang.
Tenaga surya, angin, air dan panas bumi, semuanya memiliki daya tarik komersial di ASEAN. Indonesia salah satu yang memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia dan saat ini menghasilkan lebih dari dua gigawatt (GW) energi panas bumi, menjadikannya kapasitas terbesar kedua di dunia sesudah Amerika Serikat. Potensi tenaga surya juga tinggi di Indonesia. Bahkan, sebagai negara kepulauan, Indonesia pun memiliki potensi energi kelautan yang besar, yang belum dimanfaatkan secara luas.
Bank dan para investor mulai beralih dari energi tradisional, khususnya batubara. Tahun lalu, Standard Chartered Bank menarik diri dari tiga proyek pembangkit listrik batubara di Asia Tenggara dan mengumumkan targetnya untuk menginvestasikan 35 miliar dollar AS di bidang teknologi bersih dan terbarukan hingga tahun 2025.
Sebuah laporan yang terbit awal tahun ini mengindikasikan bahwa kapasitas batubara sebesar hingga 41 GW yang ada di Asia Tenggara tidak akan pernah dibangun karena bank-bank besar di Jepang, Korea Selatan, dan Singapura akan berhenti mendanai proyek batubara.
Ini bukan ancaman, melainkan peluang untuk menyelaraskan sistem energi dengan kebutuhan akan investasi jangka panjang yang stabil. Tahun lalu, lebih dari separuh total pertambahan kapasitas baru energi terbarukan di dunia menghasilkan listrik dengan biaya lebih rendah dari yang dihasilkan pembangkit baru batubara yang termurah. Mungkin secara signifikan, penurunan biaya yang konsisten telah menempatkan energi terbarukan pada posisi bersaing dengan batubara.
Analisis kami menunjukkan bahwa menghentikan operasi pembangkit listrik batubara termahal berkapasitas 500 GW dan menggantikannya dengan pembangkit baru yang menggabungkan tenaga angin dan surya secara optimal akan menghemat dana pemerintah dan konsumen di seluruh dunia hingga 23 miliar dollar AS per tahun.
Transisi ini memang padat modal, tetapi tak mustahil. Sekitar 6 triliun dollar AS investasi di bidang transformasi energi dibutuhkan dalam waktu tiga tahun ke depan, tetapi dengan manfaat yang sangat besar. Investasi tahunan sejumlah 140 miliar dollar AS pada teknologi rendah karbon mampu meningkatkan PDB di Asia Tenggara hingga 3 persen lebih tinggi dari yang diantisipasi berdasarkan upaya-upaya yang ada saat ini, dan lapangan kerja regional yang diciptakan oleh setiap 1 juta dollar AS investasi mencapai hampir dua kali lipat rata-rata di tingkat global.
Di Indonesia sendiri, sekitar 519.000 orang telah menikmati manfaat dari lapangan kerja yang tercipta oleh sektor energi terbarukan tahun lalu. Lebih dari 22.000 lapangan kerja baru diperkirakan akan tercipta pada tahun-tahun mendatang dengan adanya rencana nasional untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 1 GW setiap tahun selama empat sampai lima tahun ke depan.
Di Indonesia sendiri, sekitar 519.000 orang telah menikmati manfaat dari lapangan kerja yang tercipta oleh sektor energi terbarukan tahun lalu.
Transisi energi merupakan investasi di lapangan kerja, pertumbuhan, dan di masa depan yang stabil dan tangguh. Setiap investasi baru di infrastruktur energi abad lalu berisiko menghasilkan aset-aset yang terbengkalai, ketidakpastian ekonomi, dan kehilangan peluang pembangunan.
Mengandalkan listrik dan energi terbarukan semata mungkin tak cukup untuk membantu Asia Tenggara mewujudkan potensi dekarbonisasi secara menyeluruh dan mencapai semua sasarannya. Kuncinya, sejalan dengan perkembangan dan industrialisasi di wilayah ini, Asia Tenggara harus merangkul opsi-opsi teknologi dan inovasi baru yang memaksimalkan adopsi energi terbarukan, seperti pemakaian listrik lintas batas, perdagangan peer-to-peer, teknologi smart grid (jaringan cerdas), dan hidrogen hijau.
Kinilah saatnya melawan godaan untuk mundur atau kembali ke masa lalu, saatnya membangun sistem energi yang lebih bersih, tangguh, stabil, dan berkelanjutan untuk masa depan yang adil dan lebih baik. Dengan bahu-membahu dan berkomitmen terhadap era baru yang penuh peluang, negara-negara ASEAN—termasuk Indonesia—dapat menempatkan diri di garda terdepan masa depan yang berkelanjutan.
(Francesco La Camera, Direktur Jenderal International Renewable Energy Agency (IRENA))