Milenial perlu pemahaman lebih dalam tentang investasi, khususnya di pasar modal. Tujuannya, agar lebih mantap memulai investasi dan lebih cermat memilih instrumen keuangan.
Oleh
PRIMANDANU FEBRIYAN AZIZ Otoritas Jasa Keuangan
·4 menit baca
Milenial belum akrab dengan investasi. Banyak milenial yang mengutamakan gaya hidup daripada berinvestasi. Menurut IDN Research (2019) tentang Indonesia Millennial Report, hanya 2 persen milenial yang menyisihkan pendapatan untuk investasi.
Milenial lebih suka menghabiskan penghasilannya untuk pengeluaran rutin bulanan, seperti kuliner, hiburan, dan gaya hidup kekinian. Studi lainnya di dalam The Future of Money oleh Luno (2019) menegaskan bahwa 69 persen milenial Indonesia tidak memiliki strategi untuk berinvestasi.
Di tengah pandemi, pengetahuan tentang pengelolaan keuangan, berinvestasi, dan dana darurat menjadi hal yang sangat penting. Tanpa pengelolaan keuangan yang baik, dapat muncul stres dan produktivitas berkurang.
PwC, dalam Employee Financial Wellness Survey (2020), melakukan survei kepada karyawan di AS mayoritas responden milenial. Hasilnya, 54 persen faktor utama penyebab stres adalah masalah keuangan. Hal ini disebabkan oleh kondisi karyawan tidak siap memenuhi kebutuhan uang tunai dalam jangka pendek.
Lebih dari sepertiga (37 persen) karyawan milenial di AS memiliki simpanan kurang dari 1.000 dollar AS untuk menghadapi kondisi pengeluaran yang tidak terduga.
Literasi investasi
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (2019), keyakinan masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan masih didominasi sektor perbankan dengan tingkat literasi 36,12 persen dan tingkat inklusi 73,88 persen. Di sektor pasar modal, tingkat literasi tidak sampai 5 persen, bahkan inklusi masih sangat rendah (1,55 persen).
Literasi investasi bagi milenial menjadi isu krusial, terlebih masih marak kasus investasi ilegal. Contoh, adanya kasus Jouska yang melakukan kegiatan penasihat dan manajer investasi tanpa izin dan merugikan publik.
Pentingnya literasi keuangan, khususnya investasi, dapat mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan pengambilan keputusan keuangan. Milenial perlu pemahaman lebih dalam tentang investasi, khususnya di pasar modal. Tujuannya, agar lebih mantap memulai investasi dan lebih cermat memilih instrumen keuangan.
Lima keunggulan
Sering kali kita dihadapkan pada pertanyaan kapan harus memulai investasi? Jawabannya adalah ”kemarin”. Kenapa kemarin? Sebab, semakin dini kita berinvestasi, semakin kita menikmati hasilnya. Buat milenial yang masih ragu investasi di pasar modal, berikut lima keunggulan investasi di pasar modal.
Pertama, instrumen investasi sangat beragam. Di pasar modal ada istilah never put your eggs into one basket, perlu diversifikasi ketika berinvestasi. Pilihan instrumen investasi pasar modal beragam, seperti saham, reksa dana, obligasi, atau Exchange Traded Fund (ETF).
Reksa dana cocok untuk investor pemula karena dikelola pihak profesional, yakni manajer investasi (MI). Jenis reksa dana beragam, disesuaikan dengan portofolio efek, ekspektasi keuntungan, dan risikonya. Ada jenis reksa dana pasar uang, pendapatan tetap, campuran, dan saham.
Kedua, kemudahan investasi semudah belanja online. Pandemi Covid-19 mengakselerasi penggunaan teknologi, termasuk di sektor pasar modal. Sebelumnya, transaksi jual beli saham harus melalui telepon, sekarang sudah banyak perusahaan sekuritas (broker) menawarkan perdagangan saham secara daring (online stock trading).
Demikian pula halnya dalam investasi reksa dana, banyak platform e-commerce yang bekerja sama dengan agen penjual efek reksa dana (APERD). Investasi di obligasi, khususnya surat berharga negara (SBN), juga makin praktis karena skema penjualannya menggunakan mitra distribusi seperti bank, perusahaan teknologi finansial (tekfin), dan broker yang prosesnya dilakukan melalui aplikasi/internet.
Ketiga, investasi di pasar modal semakin terjangkau. Anggapan pasar modal hanya untuk orang kaya itu sudah kuno. Sejak tahun 2014, satuan lot saham diturunkan dari 500 lembar menjadi 100 lembar saham. Ini mengurangi jumlah dana minimal yang diperlukan untuk berinvestasi di saham.
Minimal investasi di SBN ritel juga sudah diturunkan dari Rp 5 juta menjadi Rp 1 juta. Nilai investasinya makin ramah di kantong, cocok untuk investor ritel seperti milenial. Bahkan, investasi di reksa dana, terutama yang bekerja sama dengan platform e-commerce, sudah bisa mulai dari Rp 10.000 saja.
Keempat, investasi di pasar modal itu likuid. Ketidakpastian meningkat selama pandemi. Masyarakat perlu menyiapkan dana darurat sehingga perlu menempatkan investasi ke instrumen yang likuid. Saat ini, proses pencairan instrumen investasi di pasar modal semakin cepat.
Sejak tahun 2018, proses penyelesaian transaksi (settlement) saham dipercepat dari sebelumnya T+3 menjadi T+2 (hari bursa ke-2 setelah terjadinya transaksi). Adapun pencairan (redemption) reksa dana dilakukan paling lambat T+7 sejak pengajuan diterima MI secara lengkap. Reksa dana pasar uang dinilai paling likuid karena proses redemption relatif lebih singkat, antara T+1 hingga T+2, tergantung kebijakan APERD dan cadangan kasnya.
Kelima, tersedia investasi syariah. Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia telah menerbitkan fatwa terkait pasar modal syariah dan ada banyak pilihan instrumen investasi syariah di pasar modal.
Berdasarkan data per 16 Oktober 2020, jumlah saham syariah mencapai 467 saham atau 58,82 persen dari total saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Ada 18 broker memiliki Sharia Online Trading System (SOTS). Reksa dana dengan berbagai variannya juga terdapat alternatif syariahnya.
Adapun obligasi, skema syariahnya lebih dikenal dengan istilah sukuk. Pemerintah memiliki sukuk yang berbasis ritel atau yang lebih populer disebut dengan Sukri.