Bukan Katak
Padahal, negara modern ini baru terbentuk dan dianugerahi kemajemukan istimewa, berkat bertemunya para pendatang dari berbagai penjuru dunia. Merekalah induk bagi Republik Indonesia.
Karena tidak segera mengaku kalah pemilihan umum Amerika Serikat, Donald Trump ditertawakan sebagian orang Indonesia. Ia mengingatkan tokoh serupa di Tanah Air. Akan tetapi, ada kemiripan lain yang lebih besar dan lebih serius untuk diwaspadai.
Kepresidenan Trump sudah tamat. Namun, arus sosial yang pernah melambungkannya tidak lenyap. Terserah mau disebut apa, arus seperti itu ada di berbagai wilayah dunia. Juga di Indonesia. Jadi, ini bukan masalah Trump pribadi.
Tanpa massa pendukungnya, Trump tidak teramat penting. Mengapa nyaris separuh bangsa berpenduduk ketiga terbesar di dunia itu memujanya bak selebritas? Karena ia urakan, konyol, norak? Tampaknya di berbagai negeri banyak warga mendambakan tokoh seperti dia.
Yang menonjol dari kebijakan Presiden Trump adalah nasionalisme sempit. Dua slogannya yang tenar: make ”America great again” (mengembalikan kejayaan Amerika lagi) dan ”America first” (utamakan Amerika). Sepintas, keduanya tampak wajar. Bukankah semua negara mengutamakan kepentingan nasional? Bukankah setiap negara ingin menjadi besar dan agung?
Masalahnya, nasionalisme punya watak bawaan bertolak-belakang. Ia bisa membangkitkan solidaritas, kesetaraan, dan kedaulatan. Ia juga membina kebencian, fanatisme, dan diskriminasi. Nasionalisme melahirkan pahlawan. Juga menciptakan aneka musuh.
Seperti agama, nasionalisme merupakan lahan subur bagi tumbuhnya fanatisme politik identitas. Dengan mengatas-namakan agama atau kepentingan nasional, seorang tokoh karismatik mampu membakar emosi massa untuk mengobrak-abrik tata-sosial.
Sejarah kebangkitan bangsa-bangsa di dunia ternoda banjir darah. Bukan hanya karena perang melawan bangsa lain, tetapi juga pembantaian warga sebangsa yang dituduh pengkhianat, bukan atau kurang nasionalis sejati.
Pidato Trump memecah-belah bangsa sendiri. Sikapnya rasis terhadap warga yang tidak berkulit-putih. Melecehkan perempuan. Memusuhi warga migran, apalagi yang Muslim.
Skala penembakan massal antar-warga di Amerika Serikat tak ada duanya di dunia. Maklum, senapan api dijual bebas di pasar resmi. Trump pembela gigih industri senjata. Ia merestui organisasi preman bersenjata dan penganut ideologi white supremacy (keunggulan warga berkulit putih). Mereka memuja Trump sebagai pahlawan.
Tingkah brutal polisi terhadap warga berkulit gelap membangkitkan protes massal berbulan-bulan tahun ini. Trump membela polisi yang bertindak keras kepada demonstran. Para demonstran dijulukinya dengan stigma ”kiri radikal”. Presiden yang baru terpilih Joe Biden dituduh ”antek-RRC”.
Trump meningkatkan permusuhan lama dengan negara lain (RRC) dan merusak kerja sama dengan sekutu lama (Uni Eropa). Ia mencabut negaranya keluar dari Perjanjian Paris untuk perubahan iklim. Sepihak ia membatalkan Kesepakatan Nuklir Iran. Secara provokatif, ia memindahkan kedutaan besar negaranya dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Trump mengabaikan pesan para ilmuwan dan pejabat kesehatan ketika wabah Covid-19 merebak. Bersama pendukungnya, ia lebih mengandalkan doa. Amerika Serikat menjadi korban Covid-19 dalam jumlah terbesar sedunia. Namun, dalam pidato resmi Trump membanggakan ”keberhasilan” mengatasi wabah Covid-19.
Trump ogah membayar pajak, tetapi rajin mengobral hoaks. Twitter berkali-kali menghapus twitnya, karena melanggar etika.
Mungkin Trump dikenang sebagai tokoh paling konyol dari awal abad ini. Akan tetapi, di dunia ia bukan tokoh konyol pertama atau terakhir yang didukung massa berjuta-juta. Sebagian dari mereka orang Indonesia. Fanatisme nasionalisme sempit juga bisa berkobar dengan gaya lebih santun dan kalem ketimbang Trump.
Di awal abad ke-20 kereta api, koran dan radio membangkitkan solidaritas global dan mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Rakyat menjadi warga bangsa-negara berbeda-beda, sekaligus warga dunia yang satu. Nasionalisme dan tak terpisahkan inter-nasionalisme. Tak ada yang satu tanpa yang lain.
Globalisasi nyata, tak terelakkan, tetapi tak selalu indah. Kemakmuran di belahan bumi utara bukan semata-mata hasil kerja keras warganya. Akan tetapi, berkat tata-ekonomi global yang timpang, mereka mampu menyedot kemakmuran dari Selatan.
Kini, berkaitnya nasib seluruh warga sedunia dipertegas oleh teknologi digital, perubahan iklim, dan Covid-19. Akan tetapi, nasionalisme sempit masih laris di mana-mana. Penganutnya bermental katak dalam tempurung.
Indonesia tidak kebal dari wabah nasonalisme sempit. Sebagian dari kita membayangkan Indonesia ”asli” sudah ada jauh sebelum tibanya para pendatang dari benua lain. Padahal, negara modern ini baru terbentuk dan dianugerahi kemajemukan istimewa, berkat bertemunya para pendatang dari berbagai penjuru dunia. Merekalah induk bagi Republik Indonesia.
Buah Proklamasi 1945 nyaris rontok diterjang agresi militer Belanda. Yang menyelamatkan Indonesia merdeka bukan bambu runcing, tetapi campur tangan internasional di PBB. Beberapa negara berunding dan menghasilkan kedaulatan penuh RI di tahun 1949.
Gara-gara Perang Dingin yang global, Indonesia berubah radikal di tahun 1960an, lalu Orde Baru terbentuk. Tahun 1998 Orde Baru runtuh. Bukan karena demonstrasi mahasiswa, tetapi krisis ekonomi global dan para pemenang Perang Dingin tak menyelamatkan rezim ini. Mengapa? Perang Dingin sudah usai, dan tugas Orde Baru membantai komunis sudah tuntas.
Di Tanah Air, individualisme tak terpuji. Pergaulan sosial dimuliakan. Sayangnya, persaudaraan antar-bangsa kurang dianggap penting. Negara diibaratkan keluarga dalam rumah-tangga di kawasan elite ibukota. Masing-masing terpisah pagar dan tembok tinggi. Tidak perlu saling peduli.
Kiasan negara sebagai keluarga jelas menyesatkan. Dalam keluarga, anak tidak memilih orangtua yang menjadi ayah-bunda seumur hidup. Dalam republik, rakyat memilih pejabat negara untuk masa kerja terbatas mengabdi rakyatnya.
Betapa jitu pemilihan judul dua novel terbesar Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Kisah terbentuknya nasion Indonesia bukan kisah tokoh-tokoh konyol bermental nasionalis sempit. Bukan kaum katak di bawah tempurung.