Lebih dari 40 persen sekolah, baik di bawah Kemendikbud maupun Kemenag, kekurangan infrastruktur minimum, seperti toilet dan kecukupan cahaya ruang kelas.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA.
SDN 3 Kopa, Kecamatan Alor Timur, Kabupaten Alor, NTT, Mei 2018. Sebagian besar gedung SD dan SMP di pedalaman NTT dalam kondisi memprihatinkan.
Setiap kali membaca laporan dari lembaga dunia tentang Indonesia, umumnya kita akan mendengar kemajuan dan hal positif, juga kekurangan dan kemunduran.
Ini pula yang kita simak tatkala membaca laporan perkembangan pendidikan di Indonesia yang diterbitkan Bank Dunia, di Kompas (19/11/2020). Yang bagus, kita telah memberi perhatian cukup terhadap pendidikan, diperlihatkan oleh meningkatnya dana pendidikan sekitar 200 persen sejak tahun 2002. Dalam periode yang sama, ada peningkatan jumlah siswa—lebih dari 10 juta—pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Kesetaraan jender juga termasuk yang memperlihatkan kemajuan, dengan proporsi siswa laki-laki dan perempuan hampir seimbang.
Namun, angka-angka di atas belum disertai hasil mengesankan. Selain faktor tinggal di tempat terpencil, siswa dari keluarga kurang mampu ataupun siswa penyandang disabilitas berada di sisi yang kurang beruntung.
Bahkan, siswa yang memiliki buku pelajaran hanya 47,4 persen (kurang dari setengah). Sementara dari ruang kelas IV yang diamati, hampir sepertiganya (29,4 persen) tidak memiliki bahan ajar minimum, seperti papan tulis, pensil, dan buku catatan.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Suasana pembelajaran tatap muka di SMP 9 Pariaman, Desa Marunggi, Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman, Sumatera Barat, 13 Agustus 2020.
Ada kesimpulan, lebih dari 40 persen sekolah, baik di bawah Kemendikbud maupun Kemenag, kekurangan infrastruktur minimum, seperti toilet dan kecukupan cahaya ruang kelas. Fasilitas cuci tangan dengan air mengalir dan sabun hanya dimiliki 50 persen dari sekolah yang diamati. Padahal mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir menjadi salah satu jurus 3M yang dibutuhkan di era pandemi ini. Pandemi juga menurunkan performa PISA (Programme for International Student Assessment) siswa Indonesia sebesar 21 poin.
Dari pemetaan yang ada, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mengakui, tantangan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia tidak sederhana. Sementara Menteri Agama Fachrul Razi menyebutkan, laporan yang dikeluarkan Bank Dunia harus dijawab melalui reorientasi program, juga pembenahan satuan pendidikan keagamaan yang sejauh ini belum bagus.
Kita apresiasi semua upaya dan kemajuan yang ada, tetapi kita tidak boleh menutup mata atas berbagai kekurangan yang masih ada. Kita menggarisbawahi kekurangan infrastruktur, juga tenaga pendidik yang unggul, dan berikutnya hasil luaran anak didik yang belum memuaskan.
Apalagi, ini ada pandemi yang menambah faktor pemberat masalah. Namun, kita juga mengakui, bahkan sebelum pandemi, performa anak sekolah Indonesia, seperti ditunjukkan oleh PISA, tertinggal dari negara-negara di kawasan.
Jika pemerintah konsisten untuk mengarusutamakan pembangunan SDM di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, mesti ada target jelas yang akan dicapai untuk memperbaiki potret kurang bagus seperti disampaikan Bank Dunia. Tanpa target yang jelas, kehilangan pembelajaran (learning loss) yang disinggung oleh laporan itu akan muncul dari dua situasi. Pertama, karena kita belum menemukan strategi yang tepat untuk membangun pendidikan. Kedua, dampak pandemi.