Tantangan ”Fintech Lending” sebagai Pendanaan Alternatif bagi UMKM
Dengan skema pendanaan yang tepat, ”fintech lending” akan memberikan kontribusi yang semakin besar bagi UMKM. Bukan sekadar akses pembiayaan, melainkan juga nilai tambah yang dibutuhkan bagi pengembangan UMKM.
Oleh
YOSEA ISKANDAR
·4 menit baca
Saat membuka Fintech Summit 2020, Presiden menyampaikan apresiasi kepada penggerak industri teknologi finansial.
Mereka dianggap mampu memberikan kontribusi positif bagi perekonomian dan meningkatkan akses pembiayaan kepada masyarakat. Financial technology (fintech) atau teknologi finansial (tekfin) diharapkan dapat memberikan kontribusi besar bagi pengembangan UMKM dan perekonomian nasional.
Beberapa tantangan
Menarik untuk diamati tantangan yang saat ini dihadapi. Dalam Digital Finance Innovation: Roadmap and Action Plan 2020-2024 yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinyatakan bahwa ada dua tantangan utama dalam ekonomi berkembang.
Pertama, dari sisi pendanaan, kemampuan untuk melakukan investasi terbatas. Investor dalam ekonomi berkembang hanya bisa berinvestasi secara eceran atau investasi skala kecil. Kedua, dari sisi peminjam, yaitu dalam hal kemampuannya memenuhi syarat-syarat formal. Sebagian besar pelaku UMKM tidak dapat memperoleh pinjaman dari investor komersial karena tidak mampu memenuhi persyaratan untuk memperoleh dana dari pasar modal.
Demikian pula halnya dengan persyaratan yang ditetapkan institusi perbankan. Selain rekam jejak dan catatan keuangan yang baik, bank pada umumnya juga meminta adanya jaminan berupa aset dari debitor. Hal itu dapat menjadi penghalang bagi UMKM untuk memperoleh modal kerja. Dengan demikian, kini, pinjaman melalui fintech lending menjadi salah satu alternatif pendanaan menarik bagi UMKM.
Dengan demikian, kini, pinjaman melalui fintech lending menjadi salah satu alternatif pendanaan bagi UMKM.
Pada awal perkembangannya, sempat marak diberitakan berbagai isu yang merugikan para debitor fintech lending, seperti tingginya tingkat bunga, penyalahgunaan data, dan tata cara penagihan yang tidak sesuai aturan. Hal itu kini telah diatasi oleh asosiasi fintech lending dengan menerapkan pedoman perilaku yang harus dipatuhi para anggotanya.
Meski demikian, ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan bagi kepentingan pelaku UMKM dalam skema pinjaman melalui fintech lending. Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, fintech lending menyelenggarakan layanan pinjam-meminjam uang bagi debitor yang sumber dananya berasal dari kreditor.
Peraturan ini tidak membatasi berapa banyak kreditor yang dapat mendanai satu debitor dalam satu pinjaman yang sama. Hal tersebut membuka peluang terjadinya situasi satu debitor memperoleh pinjaman dari beberapa kreditor sekaligus. Banyaknya kreditor yang harus dihadapi dalam satu transaksi pinjaman membawa berbagai tantangan tersendiri bagi pelaku UMKM sebagai debitor.
Pertama, mengenai restrukturisasi pinjaman. Kesulitan yang dihadapi pelaku UMKM dalam menjalankan usahanya dapat memengaruhi kemampuannya melunasi utang. Banyak kreditor berarti banyak variasi keinginan yang harus dihadapi dalam melakukan negosiasi. Penyelenggara fintech lending dapat melakukan fasilitasi, tetapi kesepakatan restrukturisasi harus dicapai oleh debitor dan kreditor sendiri.
Oleh karena itu, seperti yang terjadi dalam krisis sekarang ini, sukar bagi debitor fintech lending untuk dapat memperoleh keringanan melalui restrukturisasi. Tidak demikian halnya apabila debitor hanya memiliki satu kreditor, negosiasi dapat berlangsung dengan lebih mudah.
Keamanan data
Kedua, mengenai keamanan data dan informasi. Semakin banyak kreditor berarti semakin banyak pihak yang mengetahui data dan informasi debitor. Dalam perjanjian pinjam-meminjam memang dapat ditetapkan kewajiban untuk saling menjaga kerahasiaan data para pihak. Namun, tidak ada jaminan para kreditor mampu menerapkan protokol keamanan yang baik untuk menjaga kerahasiaan data debitor, terutama jika kreditornya adalah individu.
Kesulitan yang dihadapi pelaku UMKM dalam menjalankan usahanya dapat memengaruhi kemampuannya melunasi utang.
Berbeda halnya apabila kreditor yang dihadapi adalah institusi, misalnya bank. Sesuai ketentuan perbankan yang berlaku, bank wajib menjaga keamanan data nasabahnya.
Ketiga, mengenai rekam jejak transaksi dan pelunasan pembayaran debitor. Informasi ini hanya akan tersimpan dalam basis data tekfin. Pada saat usaha berjalan dengan baik dan UMKM terus bertumbuh, tentunya diperlukan modal kerja yang semakin besar. Namun, ada jumlah maksimum pinjaman yang membatasi pelaku UMKM untuk memperoleh tambahan pendanaan dari fintech lending.
Ketika pelaku UMKM memerlukan tambahan pendanaan berupa fasilitas perbankan, berbagai data dan informasi berharga tersebut kemungkinan besar tidak termanfaatkan dengan optimal.
Pelaku UMKM harus kembali mengulang proses panjang pengajuan pinjaman yang berlaku di bank. Lain halnya jika bank tersebut telah menjadi kreditornya sendiri pada saat memperoleh pinjaman melalui fintech lending. Informasi tersebut dapat dianalisis untuk menghasilkan credit score yang lebih baik sehingga membantu pelaku UMKM memperoleh pinjaman dengan bunga yang lebih rendah.
Keleluasaan memilih
Berbagai tantangan itu dapat diatasi jika penyelenggara fintech lending dapat memberi pelaku UMKM keleluasaan untuk membatasi atau memilih calon pemberi pinjaman yang diinginkannya. Atau setidaknya, sebagai debitor, pelaku UMKM dapat memiliki kesempatan untuk menentukan syarat dari siapa mereka ingin memperoleh pinjamannya.
Dengan skema pendanaan yang tepat, fintech lending akan memberikan kontribusi yang semakin besar bagi UMKM. Bukan sekadar akses pembiayaan, melainkan juga nilai tambah yang dibutuhkan bagi pengembangan UMKM dan perekonomian nasional saat ini.
Yosea Iskandar, Head of Legal and Corporate Secretariat PT Bank DBS Indonesia