Ekonomi syariah global tumbuh pesat. Untuk makanan dan gaya hidup saja di tahun 2020, pengeluaran warga Muslim diproyeksikan mencapai 2,6 triliun dollar AS.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dengan total 1,9 miliar orang, pengeluaran warga muslim untuk makanan dan gaya hidup pada tahun 2014 mencapai 1,8 triliun dollar AS, dan tahun 2020 diproyeksikan 2,6 triliun dollar AS. Untuk makanan saja, pengeluaran mereka naik 3,1 persen pada 2019 menjadi 1,17 triliun dollar dari 1,13 triliun dollar pada 2018. Covid-19 diperkirakan hanya menyebabkan penurunan sekitar 0,2 persen di tahun 2020.
Dalam laporan ekonomi Islam global 2020/2021 yang dirilis DinarStandard, perusahaan riset berbasis di Dubai dan New York, disebutkan, peringkat indikator ekonomi Islam global Indonesia naik dari posisi ke-10 pada 2018, lalu ke-5 (2019), dan ke-4 pada 2020 dari 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Peringkat Indonesia di bawah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (Kompas, 18/11/2020).
Peringkat indikator ekonomi Islam itu dihitung berdasarkan kinerja tujuh sektor, yakni industri makanan-minuman halal, ekonomi Islam, pariwisata ramah Muslim, mode Muslim, industri farmasi halal, kosmetik halal, serta media dan rekreasi bertemakan Islam. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi Syariah di Indonesia lebih banyak didorong komsumsi.
Menurut Wakil Presiden Ma’ruf Amin, ada tiga penggerak utama pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia yakni aset keuangan syariah yang mencapai 99 miliar dollar AS, kedatangan turis Muslim sekitar 2,5 juta orang, serta belanja gaya hidup Muslim senilai 203 miliar dollar AS.
Benar, industri keuangan, makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, mode, pariwisata dan media rekreasi, terus berkembang di Indonesia. Hal ini, antara lain, bisa dilihat dari sektor pertanian yang terus tumbuh positif. Tetapi, perkembangan itu belum merata di seluruh sektor.
Meski demikian, Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng menyatakan, sisi permintaan yang besar di berbagai sektor ekonomi dan keuangan syariah perlu diintegrasikan dengan sisi pasokan guna menciptakan sumber pertumbuhan baru yang optimal bagi perekonomian Indonesia.
Merujuk pada data DinarStandard, pada tahun 2019 ekspor produk halal Indonesia ke negara anggota OKI berada di peringkat ke-10 di bawah AS, Brasil, Perancis, Rusia, China, Argentina, Uni Emirat Arab, Jerman, dan Turki. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, peringkat di atas mengindikasikan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mengejar ketinggalan meski hanya di antara negara sesama anggota OKI.
Kehadiran UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal belum berdampak besar bagi pengembangan industri halal. Dan secara umum, iklim investasi di Indonesia belum mendukungnya. Belum lagi kalau melihat tata cara sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kita berharap banyak pada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, yang menggantikan MUI.