Pandemi, Sains, dan Masalah Moral
Menurut Immanuel Kant, untuk mengukur moralitas seseorang, kita tak boleh melihat pada hasil perbuatannya, melainkan pada apakah kehendak pelaku ditentukan semata-mata oleh kenyataan bahwa perbuatan itu suatu kewajiban.
Pandemi Covid-19, kendati belum akan berakhir, dampak mental psikologisnya bagi manusia tak seketika sirna. Deraan yang dihadapi manusia masih mendera: alienasi diri, kesepian, dan stres.
Tatkala seluruh dunia sedang berlomba-lomba terlibat dalam revolusi 4.0 yang segala kegiatannya hampir serba digital ataupun virtual, manusia kemudian diingatkan kembali bahwa eksistensi mereka yang sebenarnya berada di dunia nyata; pada tubuhnya, dan bukan di dunia virtual. Pandemi yang sedang terjadi kini membuktikan betapa rentan dan ringkihnya tubuh seorang manusia.
Awal mula ketika munculnya virus ini, terjadi kepanikan di mana-mana akibat simpang siur tanggapan. Di Amerika contohnya sempat terjadi isu kepanikan sehingga menyebabkan beberapa produk di supermarket seperti tisu toilet bisa ludes habis di sana. Di Indonesia sendiri pun hampir tidak jauh berbeda, sempat terjadi kelangkaan maupun lonjakan harga alat kesehatan, seperti hand sanitizer, masker, dan alat pelindung diri, di masyarakat akibat segelintir oknum yang menimbun alat kesehatan tersebut.
Pandemi yang sedang terjadi kini membuktikan betapa rentan dan ringkihnya tubuh seorang manusia.
Kemudian hal yang menggelisahkan lainnya ialah klaim-klaim atau opini dari umat beragama yang ritual keagamaan, yang perlu kehadiran orang banyak, kini mulai dilarang karena berpotensi memperburuk penyebaran virus. Mereka mengeluarkan opini-opini seperti tidak takut kepada virus ataupun takutlah kepada Tuhan yang menciptakan virus, dan lain-lain.
Lalu ada pula teori-teori konspirasi, seperti virus ini hanya akal-akalan dari perusahaan atau virus ini adalah senjata biologis dari suatu negara untuk memenangi perang dagang yang sedang terjadi.
Tidak luput pula penyangkalan-penyangkalan yang sempat digaungkan oleh beberapa pejabat Pemerintah Indonesia, beberapa di antaranya ”Indonesia tidak akan terdampak karena memiliki iklim tropis”, lalu ”virus ini tidak dapat bertahan hidup di musim panas”. Ada juga pernyataan yang terdengar seperti lelucon, seperti ”orang Indonesia tidak dapat terjangkit virus ini karena suka makan nasi pecel”, dan lain sebagainya.
Hal-hal yang disebutkan di atas adalah beberapa contoh kecil dari simpang siur tanggapan dan informasi yang membuat masyarakat gelisah ataupun resah karena tidak tahu mana yang benar atau salah dari informasi-informasi tersebut.
Pew Research Center pada tahun 2017 (www.pewforum.org) merilis data tentang negara paling religius di dunia. Hasilnya, Indonesia menduduki peringkat kedua dari daftar tersebut, hanya kalah dari Etiopia. Sebagai salah satu negara paling religius, dan dalam situasi panik seperti sekarang, apa sebenarnya peran agama?
Dihadapkan pada situasi keterbatasan ilmu pengetahuan dan evolusi alam yang kini melompat, umat beragama sering kali memunculkan tanggapan yang primordial dan berakhir pada anggapan mendakwa Tuhan atas peristiwa yang terjadi, di antaranya ”Ini ialah azab yang diturunkan oleh Tuhan atas dosa seseorang”. Ada pula sudut pandang yang lebih positif, seperti ”ini adalah cobaan dari Tuhan kepada umatnya”.
Anggapan lainnya berkata bahwa ”ini adalah wabah yang dikirim oleh Tuhan untuk membasmi musuh-musuhnya” yang kemudian kembali melahirkan penyangkalan bahwa selama diri kita saleh dan beriman kepada Tuhan, maka kita akan selamat dari murka Tuhan.
Terlepas dari beberapa keburukan yang dilakukan oleh segelintir umat beragama, hal yang acap kali luput dari pengamatan orang yang skeptis dengan umat beragama, menganggap mereka selalu berpikir secara irasional, adalah metode observasi dan isolasi untuk mengatasi penyakit menular, yang dalam sejarah, pertama kali diperkenalkan di dalam kitab suci keagamaan.
Jauh sebelum Hippocrates muncul dengan istilah epideminya, jauh sebelum Galen dengan metode observasinya dalam pengobatan, dan jauh sebelum Ibnu Sina tampil bersama metode karantinanya.
Sains bekerja dengan sebuah siklus antara observasi dan teori yang dilakukan secara berulang-ulang.
Sementara itu sains, ketika dihadapkan pada situasi seperti ini, dituntun oleh pertanyaan-pertanyaan seperti apa, mengapa, bagaimana, dan kapan. Kunci dari ini adalah melakukan penelitian, melakukan observasi yang kemudian melakukan eksperimen untuk dapat membangun sebuah teori. Barulah penyebab, faktor penyebaran, dan dampak yang dirasakan dapat diketahui.
Sains bekerja dengan sebuah siklus antara observasi dan teori yang dilakukan secara berulang-ulang. Eksperimen memang bisa menciptakan sebuah teori, tetapi eksperimen juga dapat dilakukan untuk menguji sebuah teori. Karena metode ini dapat diuji oleh siapa pun yang memiliki pengetahuan, kompetensi, dan pengalaman mumpuni di bidang yang ingin diteliti. Maka barulah teori tersebut dapat digolongkan sebagai penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dari hal tersebut kemudian dapat diturunkan pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang dapat, harus, dan boleh dilakukan. Apa yang dapat dilakukan belum tentu boleh dilakukan, dan kata ”boleh” di sini telah masuk ke ranah etika (filsafat moral). Membantu orang lain dengan mencegah supaya tak tertular adalah bagian dari kewajiban moral manusia, kendati yang dilakukan hanyalah sebatas anjuran.
Immanuel Kant berpendapat bahwa manusia merupakan bagian dari alam, yang secara tidak langsung baik secara lahiriah maupun batiniah manusia merupakan subyek dari hukum kausalitas. Oleh karena itu, kebebasan kita dibatasi tidak hanya dari ’luar’, tetapi juga dari ’dalam’: Kita tidak lebih bebas ’dalam diri kita’ daripada kita ’di dunia’.
Secara lebih logisnya, selalu ada kemungkinan untuk ’menjelaskan’ setiap tindakan yang dilakukan subyek, yaitu untuk menetapkan penyebab dan motif, atau mengekspos ’mekanisme’ mengapa si subyek melakukan tindakan tersebut. Bahkan jika kita ragu bahwa itu benar-benar mungkin untuk memperhitungkan semua ’faktor’ terlibat dalam tindakan apa pun (karena manusia sebagai pelaku dipandang terlalu kompleks untuk ini menjadi mungkin).
Hal ini dipandang tidak cukup untuk menetapkan bahwa kebebasan itu ada, seperti halnya seorang ”humanis” menyiratkan suatu anggapan yang pada dasarnya bersifat teologis: Dari perspektif tertentu, di mata Allah kita dipandang mampu merangkul semuanya, manusia itu ibaratnya seperti mekanisme jarum jam yang rumit. Bayangkan ketika mereka satu per satu pergi setiap waktu adalah hasil dari keputusan mereka sendiri, tidak ada alasan apa-apa selain ritme mengikuti mereka sendiri.
Kant menegaskan bahwa kebebasan dan hukum moral memiliki semacam keterkaitan satu sama lain. Ini disebabkan kebebasan tidak harus didasarkan kepada suatu ”kemunduran yang ada dalam diri kita”. Oleh karena itu, kita tidak perlu lagi mempertanyakan kemurnian dari jiwa kita sebagai lawan dari moral yang berada di luar diri kita sendiri.
Kant menegaskan bahwa kebebasan dan hukum moral memiliki semacam keterkaitan satu sama lain.
Kant tidak serta-merta mendorong kita untuk bertindak sesuai dengan ”keyakinan terdalam dari diri kita”, sebagaimana yang diajarkan oleh ideologi kontemporer untuk mengindahkan ’kecenderungan otentik’ dan menemukan kembali ’diri sejati’ kita.
Berdasarkan kepada argumen-argumen yang dinyatakan oleh Kant mengenai keterkaitan moralitas dan kebebasan; dapat dilihat memiliki suatu keterkaitan yang saling memengaruhi satu sama lain. Dalam tindakan sehari-hari, manusia mempunyai berbagai pilihan yang bisa dipilih untuk dilaksanakan. Tindakan-tindakan ini dilaksanakan berdasarkan kepada keinginan yang terdapat dalam diri manusia, yang nantinya akan memberikan dampak baik positif maupun negatif terhadap kehidupan kita (manusia).
Ketika kita memutuskan untuk melakukan suatu tindakan, tentu akan muncul pertimbangan mengenai apa dampak dari tindakan yang kita lakukan tersebut. Misalnya, ketika kita akan berbicara dengan seseorang untuk senantiasa memakai masker, pasti akan terlintas suatu pertimbangan, apa saja yang ingin kita sampaikan, bagaimana cara kita menyampaikan ide dalam pikiran kita kepada orang tersebut dengan cara yang tidak menyinggung perasaan orang itu.
Hal ini disebabkan manusia bukanlah makhluk yang murni rohani, tetapi makhluk alami yang dapat merasakan dorongan emosi, kebutuhan fisik dan psikis. Jadi tindakan akal budi – ada saingannya, yaitu tindakan yang menyesuaikan diri dengan segala macam kondisi inderawi-alami.
Manusia tidak hanya tertarik berbuat baik, tetapi juga berbuat buruk. Ada tiga kemungkinan orang memenuhi kewajibannya, yaitu pertama, ia dapat memenuhi karena hal itu menguntungkan. Kedua, ia dapat memenuhinya karena ia merasa langsung terdorong dalam hatinya. Dan ketiga, ia memenuhi kewajibannya demi kewajibannya itu.
Menurut Kant, tipe yang ketigalah yang betul-betul moral. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah kehendak baik tanpa batas. Untuk mengukur moralitas seseorang, kita tidak boleh melihat pada hasil perbuatan seseorang, melainkan apakah kehendak pelaku ditentukan semata-mata oleh kenyataan bahwa perbuatan itu merupakan kewajiban.
(Eko Wijayanto. Dosen Filsafat UI)