Kita masih belum tahu bagaimana kelanjutan kisah pemerintahan Biden-Harris. Namun, setidaknya kita bisa menangkap nuansanya, kembali ke demokrasi.
Oleh
M ALFAN ALFIAN
·5 menit baca
Joe Biden dan Kamala Harris telah terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat periode 2024. Dunia menyambut gembira karena sudah ada kepastian dalam kepolitikan AS. Era kepresidenan Donald Trump, yang diwarnai ragam kontroversi sejak 2016, usai sudah. Publik berharap kepemimpinan Biden-Harris akan lebih baik dan menarik kembali demokrasi yang sempat terbajak Trumpisme.
Trump memang sudah kalah, tetapi tidak demikian halnya dengan Trumpisme. Pilpres AS sejak 2016 dan berlanjut hingga pasca-Pilpres 2020 tampak sekali menyisakan polarisasi tajam di masyarakat. Inilah dampak Trumpisme yang paling nyata. Ia merujuk gaya populis Trump yang mengeksploitasi politik identitas (supremasi kulit putih), mengumbar ragam isu yang rasialis dan diskriminatif, serta antiglobalisasi.
Sudah banyak ulasan mengenai fenomena yang penjelasan awalnya bermula dari kemenangan Trump pada Pilpres 2016 yang ditengarai diwarnai oleh propaganda komputasi sistematis. Trump sendiri sering mencuit di akun Twitter-nya informasi yang belum tentu benar dan bombastis.
Terpilihnya Trump ialah kecelakaan sejarah. Para pengamat demokrasi menyambar fenomena kemenangan Trump sebagai ”matinya demokrasi” (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, 2018), ”berakhirnya demokrasi” (David Runciman, 2018), ”naiknya demokrasi perasaan” (William Davies, 2018), ”naiknya politik identitas” (Francis Fukuyama, 2018), ”senja kala demokrasi” (Anne Applebaum, 2020), dan menanjaknya ”fasisme gaya baru” (Madelaine Albright, 2018).
Trump memang sudah kalah, tetapi tidak demikian halnya dengan Trumpisme.
Ini dikaitkan fenomena senada di Eropa dan di sejumlah negara. Di Eropa yang paling fenomenal ialah British Exit (Brexit), menandai keluarnya Inggris dari organisasi regional Uni Eropa pada 2016. Populisme politik juga naik daun dengan ditandai menanjaknya suara partai-partai politik populis di beberapa negara Eropa.
Di kawasan Asia, gejala populisme politik juga menanjak. Tidak hanya di AS dan Eropa, populisme politik juga telah menjadi gejala global. Yang cukup fenomenal di Asia, khususnya Asia Tenggara, misalnya, ialah Indonesia dan Filipina melalui fenomena ketokohan politik Joko Widodo dan Rodrigo Duterte atau di Thailand semasa Thaksin Shinawatra.
Betapapun demikian, yang paling menjadi sorotan ialah AS itu sendiri. Kekagetan luar biasa, sekali lagi, ketika Trump memenangi Pilpres 2016. Pada Pilpres 2020 tak hanya publik AS yang tegang menunggu hasilnya, tetapi juga publik dunia.
Banyak yang penasaran dengan selalu memantau perkembangannya melalui beragam akses informasi media sosial. Proses penghitungan suara memang cukup menegangkan kendati sejak awal tren kemenangan sudah tampak pada dukungan pemilih elektoral (electoral votes) lebih tinggi ketimbang Trump. Akhirnya memang tak terbendung lagi, Biden melesat meninggalkan Trump.
Angin segar
Menyimak pidato kemenangannya, Biden berjanji ”akan menjadi presiden yang tidak memecah belah, tapi mempersatukan”. Tentu ini dimaksudkan untuk menyinggung gaya kepemimpinan Trump yang berdampak memecah belah. Biden juga merasa ”mendapat kehormatan untuk bekerja sama dengan wakil presiden yang fantastis, Kamala Harris” sebagai seorang perempuan yang kebetulan representasi kulit hitam keturunan Asia Selatan.
Itu pertama kali terjadi dalam sejarah, yang tak mustahil di AS. Dalam konteks ini, apa yang terjadi di AS kini menjadi inspirasi kembali bagi negera-negara demokrasi bahwa pengalaman kepemimpinan ala Trump yang menyerempet-nyerempet bahaya (vivere pericoloso) ke arah neo-otoritarian memang sebaiknya harus diakhiri.
Memang, dalam konteks ini, sebagaimana diulas, misalnya, oleh Anne Applebaum (2020), potensi akan hadirnya gaya kediktaktoran lunak (soft dictactorship), ketika kondisi negara dihadapkan pada upaya mengatasi dampak pandemi Covid-19. Sepanjang sejarah, pandemi mendorong perluasan kekuasaan negara. Khalayak harus taat kepada negara, jika pun itu berarti hilangnya kebebasan.
Dalam kondisi pandemi, negara dituntut mengondisikan agar warganya disiplin melalui pembatasan kebebasan. Dalam konteks Applebaum, kondisi pandemi memberikan peluang bagi kekuasaan untuk bertindak otoriter, terlepas peluang itu dimanfaatkan atau tidak.
Menyimak pidato kemenangannya, Biden berjanji ”akan menjadi presiden yang tidak memecah belah, tapi mempersatukan”.
Namun, di sisi lain, kondisi pandemi tidak menghalangi banyak pihak melancarkan protes, manakala mereka merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah. Dalam protes masif menolak kebijakan tertentu, lazim mengemuka, apa yang ditengarai Davies (2018), pengutamaan perasaan. Ketika suasana yang tercipta perasaan terdzalimi, massa protes tak dapat didekati dengan sekadar anjuran berdebat argumentatif. Mereka harus didekati secara empatik, sesuatu yang sangat menentang pemerintahan mana pun.
Pidato pertama kali Joe Biden cukup berempati. Hal ini terasa dalam retorikanya bahwa dia hendak membangun ”koalisi yang terbesar dalam sejarah” yang melibatkan kalangan Demokrat, Republik, independen, progresif, moderat, konservatif, tua, muda, urban, suburban, rural, kulit putih, keturunan Latin, orang Asia, ataupun orang asli Amerika. Retorika yang bernada merangkul ini setidaknya merupakan semangat awal kepemimpinannya.
Tantangan
Kolomnis David French, menulis untuk majalah Time edisi 16 November 2020, mengingatkan bahwa kisah politik AS pada abad ke-21 ialah polarisasi dan kemacetan yang meningkat, yang sering kali membuat negara sulit melangkah. Merujuk French, tidaklah semudah membalik telapak tangan untuk bisa menyatukan polarisasi yang tajam dalam masyarakat, sebagai dampak pertarungan politik itu. Krisis identitas ditengarainya masih akan terus berlanjut. Realitas sosiologi politik sedemikian terus akan menjadi masalah krusial, selain ragam masalah lain yang kompleks di era pandemi Covid-19.
Bagi AS, polarisasi sosiologis sesungguhnya masalah klasik sejak berdirinya. Di masa modern, polarisasi rasial masih sering terjadi. Apa yang terjadi pada 1960-an, ketika aksi protes warga kulit hitam memuncak digerakkan oleh Martin Luther King Jr dan Malcolm X, menggambarkan fenomena tersebut.
Protes-protes serupa yang hadir kini, semacam yang dipicu tewasnya warga kulit hitam oleh polisi, segera mengingatkan kembali sejarah AS yang penuh kontradiksi itu. Biden tentu tak bisa menyatukan polarisasi masyarakat AS tanpa modal kesejarahan negaranya.
Tantangan utama lainnya, pengelolaan perekonomian. Ragam pakar mengkritik kebijakan ugal-ugalan Trump sebelumnya yang diwarnai ketekoran anggaran dan utang yang terus menumpuk. Trump juga berhadapan dengan pandemi Covid-19 yang menuntut penyediaan anggaran sangat besar.
Semua itu tentu akan terwariskan ke pemerintahan selanjutnya. Kebijakan ekonomi Biden (Bidenomics) akan mengoreksi Trumpnomics sebelumnya. Kendati demikian, Bidenomics belum tentu efektif melakukan pengelolaan ekonomi AS pasca-Trump.
Tentu Biden-Harris tak bisa langsung tidur nyenyak setelah ini.
Taruhannya kegagalan atau setidaknya ekonomi terkelola secara tak beranjak. Kalau itu terjadi, popularitas Biden bisa drop. Dan, kondisi ekonomi yang buruk gampang memicu protes ragam kalangan. Selain itu, dalam skala internasional, masalah ekonomi berkaitan dengan realitas perang dagang AS-China. Reputasi AS di dunia internasional juga merupakan tantangan yang tidak gampang di era digital ini. Tentu Biden-Harris tak bisa langsung tidur nyenyak setelah ini.
Kita masih belum tahu bagaimana kelanjutan kisah pemerintahan Biden-Harris. Empat tahun ke depan mereka akan diuji sejarah. Saat ini, setidaknya kita baru bisa menangkap nuansanya, kembali ke demokrasi.*
(M Alfan Alfian, Dosen Magister Ilmu Politik, Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta)