Tahun depan, sebaiknya tekanan pedal gas (stimulus dana PEN, khususnya UMKM) jangan dikendurkan supaya mobil UMKM tidak kembali melorot. Kita tidak tahu pasti ke depannya, yang jelas tahun ini tantangannya sangat berat.
Oleh
ANTON HENDRANATA
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Hunian kumuh berdiri di tepian Waduk Pluit, Jakarta Utara, Kamis (5/11/2020). Indonesia resmi memasuki jurang resesi setelah pertumbuhan ekonominya pada kuartal III minus 3,49 persen. Berdasarkan data BPS, jumlah pengangguran pada Agustus 2020 sebanyak 9,77 juta orang atau meningkat 2,67 juta jiwa dari tahun sebelumnya yang sebesar 7,10 juta jiwa. Resesi ini dikhawatirkan akan menambah jumlah penduduk miskin Indonesia.
Pandemi Covid-19 menyebabkan resesi ekonomi di hampir seluruh negara di dunia. Hanya segelintir negara yang bisa terlepas dari resesi, yaitu China, Vietnam, dan Taiwan. China dan Vietnam yang biasanya tumbuh 6-7 persen, diperkirakan hanya tumbuh seperempat dari kapasitasnya, sekitar 1,5-2,0 persen di 2020. Kesuksesan mereka bisa tumbuh positif karena mampu mengendalikan Covid-19 secara sigap dan tuntas dengan tingkat kedisiplinan tingkat dewa dari pemerintah dan masyarakatnya.
Covid-19 telah menyerang siapa saja, tak mengenal status atau level ekonomi, dan tak pandang bulu. Negara maju dibuat tak berkutik, apalagi negara berkembang, dan miskin. Seluruh lapisan masyarakat dan sendi perekonomian terdisrupsi secara menyeluruh. Bukan hanya perusahaan besar dan menengah yang terdampak, usaha kecil pun dibuat sulit bernapas dan tidak berdaya.
Indonesia juga merasakan hal yang sama seperti kebanyakan negara. Yang cukup mengkhawatirkan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ternyata terpukul cukup dalam. Padahal, UMKM peranannya sangat besar terhadap perekonomian nasional. Ada 64,2 juta unit UMKM Indonesia yang menyerap 97 persen tenaga kerja nasional, dengan kontribusi terhadap PDB sekitar 61 persen dan sumbangan ekspor 14 persen.
Pengalaman krisis ekonomi di Indonesia, UMKM terbukti cukup tangguh dalam menghadapi berbagai resesi dan selalu menjadi dewa penyelamat. Krisis ekonomi dan politik 1998 adalah bukti konkret dan tak terbantahkan.
Pengalaman krisis ekonomi di Indonesia, UMKM terbukti cukup tangguh dalam menghadapi berbagai resesi dan selalu menjadi dewa penyelamat.
Perusahaan besar bertumbangan karena pelemahan nilai rupiah hampir 208 persen dan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di mana-mana. Kala itu, perekonomian dalam titik nadir, pertumbuhan ekonomi terkontraksi sangat dalam sampai minus 13,1 persen pada 1998 dari positif 4,7 persen tahun 1997.
Namun, ada fenomena yang unik, di saat sektor formal tiarap, sektor informal dan usaha mikro justru menjamur, membuat Indonesia bisa bangkit kembali. Penyerapan tenaga kerja informal meningkat signifikan dan bisa tumbuh positif 8,7 persen pada 1998, bisa menampung sebagian besar para pekerja yang terkena PHK.
Bisa dibayangkan betapa penting dan krusialnya sektor informal yang merupakan refleksi usaha mikro, ketika pertumbuhan tenaga kerja formal turun signifikan 6,6 persen. Benar pengamatan Chatib Basri (Kompas, 11/11/ 2020), ”resesi ekonomi di negeri ini mungkin adalah tentang warung tenda yang menjamur pada malam hari di pelbagai belahan Jakarta 1997-1998”.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja menggunakan troli untuk mengangkut barang menuju ke tempat jasa ekspedisi di kawasan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (5/11/2020). Pertumbuhan ekonomi nasional yang minus dalam dua kuartal berturut-turut membuat Indonesia masuk dalam resesi. Namun, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi triwulan III Juli-September 2020 masih lebih tinggi dibandingkan triwulan II-2020 yang minus 5,32 persen.
Pertanyaan besarnya sekarang dan membuat kita harap-harap cemas: akankah UMKM kembali menjadi pemenang dan menjadi dewa penyelamat kebangkitan ekonomi Indonesia? Ini menjadi ujian besar bagi UMKM untuk membuktikan kembali kedigjayaannya.
Resesi sekarang pastinya jauh berbeda dan sangat kompleks dibandingkan resesi ekonomi 1998. Kondisi perekonomian 1997/1998, sektor UMKM masih bisa beraktivitas normal dan tak ada pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sehingga UMKM tak begitu terpuruk. UMKM tak dilarang bekerja dan tidak dilarang untuk berbisnis/berjualan. Kemudian, tidak ada orang disarankan untuk bekerja di rumah (work from home).
Dalam krisis ekonomi dan politik 1998, yang paling merasakan dampaknya adalah pelaku usaha kategori elite atau kaum konglomerat. Sementara resesi ekonomi tahun ini dirasakan oleh semua lapisan pelaku usaha, tidak terkecuali UMKM.
Berdasarkan riset Bank BRI terhadap 3.000 pelaku UMKM yang tersebar di 33 provinsi dan sektor ekonomi pada kuartal III-2020, memang betul pelaku UMKM sangat menderita. Wabah Covid-19 berdampak negatif terhadap 84,7 persen pelaku UMKM. Rata-rata pendapatan turun signifikan 53 persen. Dari rata-rata penurunan pendapatan ini, yang cukup miris, sekitar 72 persen menyatakan pendapatannya turun di atas 40 persen.
Sementara resesi ekonomi tahun ini dirasakan oleh semua lapisan pelaku usaha, tidak terkecuali UMKM.
Mulai menggeliat
Di tengah tekanan luar biasa terhadap UMKM, ada asa UMKM bangkit dan menjadi pahlawan kembali. Survei aktivitas bisnis UMKM BRI kuartal III-2020 memperlihatkan kegiatan usaha UMKM mulai menggeliat dan tepercik optimisme yang lebih tinggi di kuartal IV-2020.
BRI Micro & SME Index (BMSI) menunjukkan kenaikan indeks secara signifikan dari 65,5 menjadi 84,2 pada kuartal III-2020. Selanjutnya, BSMI diekspektasikan meningkat lagi menjadi 109,3 ke depannya di kuartal IV-2020.
Restrukturisasi pinjaman, subsidi bunga, dan pinjaman baru terhadap UMKM sudah mulai ada tuaiannya dan berdampak positif. Restrukturisasi nasabah yang terimbas Covid-19 dan subsidi bunga membuat UMKM bisa bertahan sekitar 56 persen, bahkan ada yang meningkat usahanya 12 persen. Saya kira ini capaian luar biasa karena tekanan pandemi sungguh dahsyat dan tajam.
Restrukturisasi dan subsidi bunga adalah syarat perlu agar UMKM bisa bertahan, tetapi belum cukup agar usaha UMKM segera bangkit. Untuk meningkatkan usahanya kembali, hampir bisa dipastikan dibutuhkan tambahan modal baru untuk menyambut dorongan permintaan melalui stimulus fiskal pemerintah.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Perajin menata tahu yang telah selesai dicetak di sebuah UMKM pembuatan tahu di kawasan Parung Serab, Tangerang, Banten, Minggu (1/11/2020). OJK mencatat penyaluran kredit UMKM mulai tumbuh per Agustus 2020 sebesar Rp 1.015,93 triliun, dari posisi Juli 2020 sebesar Rp 1.013,75 triliun. Para pelaku UMKM menjadi salah satu bagian yang mendapat perhatian dari pemerintah selama pandemi Covid-19 ini karena mereka yang banyak terdampak.
Nasabah UMKM yang dapat tambahan modal baru melalui PMK 70 dan perbankan sudah merasakan manis madunya. Mayoritas UMKM yang dapat pinjaman baru menyatakan 54 persen usahanya tetap bisa bertahan dan di luar dugaan 31 persen menyatakan usaha mulai ada peningkatan walaupun mungkin terbatas.
Stimulus pemerintah dan relaksasi perbankan melalui restrukturisasi berdasarkan POJK 11 nampaknya tak sia-sia. Momentum pemulihan UMKM sudah ada di depan mata, jangan sampai redup kembali karena masih kuatnya tekanan Covid-19 dan tingginya ketidakpastian.
Kondisi UMKM saya ibaratkan seperti mobil yang berada di tanjakan curam. Sebelum ada dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), menekan gasnya mungkin hanya mampu 20 km/jam. Setelah ada stimulus dana PEN, mobil UMKM sudah bisa berlari 30 km/jam.
DOKUMENTASI ANTON HENDRANATA
Anton Hendranata
Tahun depan, sebaiknya tekanan pedal gas (stimulus dana PEN, khususnya UMKM) jangan dikendurkan, supaya mobil UMKM tidak kembali melorot. Kita tidak tahu pasti ke depannya, yang jelas tahun ini tantangannya sangat berat.
Semoga tantangan tahun depan lebih ringan, apalagi kalau vaksin Covid-19 bisa segera ditemukan. Rasanya tidak salah kalau kita masih berharap UMKM kembali menjadi dewa penyelamat dan pahlawan perekonomian nasional.