Saat tatanan masyarakat lama iporak-poranda akibat serangan pandemi kita sangat perlu melakukan revitalisasi dan membuat pondasi baru tatanan masyarakat dengan tetap menjaga nilai-nilai dan sikap kepahlawanan.
Oleh
FX RUDY GUNAWAN
·5 menit baca
Tulisan opini Eko Sulistyo di harian Kompas, 28 Oktober 2020 yang berjudul "Sumpah Mahasiswa", ternyata memantik polemik di sejumlah kalangan aktivis tahun 80an. Pemicunya adalah kalimat penutup alinea pertama tulisan Eko yang mengatakan: Kebetulan penyusun sumpah (mahasiswa) tersebut juga salah seorang aktivis mahasiswa dari UGM.
Sontak tulisan itu mendapat sorotan di sebuah WA group aktivis tahun 80an dimana penulis sumpah mahasiswa menjadi anggota group tersebut. Afnan Malay adalah mahasiswa yang dimaksud Eko dalam tulisannya.
Semua anggota group tersebut tahu persis Afnan adalah penulis sumpah mahasiswa. Sebagian besar tahu lebih detil peristiwa pertama kalinya sumpah mahasiswa itu dibacakan dalam sebuah mimbar bebas acara peringatan Sumpah Pemuda 1988 di gedung Litbang Fisipol UGM.
Polemik dalam group itu terutama tentang bagaimana sebuah fakta sejarah seharusnya tidak boleh dikaburkan atau direduksi untuk alasan apapun. Apalagi jika fakta tersebut terang benderang dan para pelaku atau saksi-saksi sejarahnya masih hidup.
Apakah benar tulisan Eko sengaja mengaburkan fakta sejarah? Hanya yang bersangkutan yang tahu persis. Tapi mengingat Eko adalah seorang sarjana ilmu sejarah, seharusnya ia sangat memahami historiografi atau bagaimana seharusnya menuliskan peristiwa bersejarah.
Salah seorang anggota group menjapri saya dan mengatakan bahwa yang lebih subtansial dan justru luput dari diskusi WAG itu adalah konteks perjuangan dimana sumpah mahasiswa itu muncul dan dibacakan sebagai bagian dari nilai-nilai yang diperjuangkan aktivis mahasiswa tahun 80an.
Nilai dan sikap kepahlawanan
Refleksi tentang nilai-nilai perjuangan aktivis mahasiswa tahun 80an yang terpicu oleh tulisan Eko Sulistyo menjadi penting dan menarik untuk dielaborasi dalam konteks pembelajaran bagi generasi milenial saat ini.
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, perjuangan para mahasiswa selalu mengandung nilai kepahlawan, yaitu memperjuangkan keadilan, menentang penguasa korup dan otoriter serta semangat berani berkorban untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Pertanyaannya kemudian, apakah nilai-nilai kepahlawan itu otomatis didukung oleh sikap kepahlawanan?
Meski para aktivis mahasiswa pada umumnya tidak berpretensi menjadi sosok pahlawan, karena gerakan mahasiswa seharusnya memang tanpa pamrih, namun sejarah juga mencatat sejumlah pahlawan atau martir lahir dari kancah perjuangan gerakan mahasiswa. Artinya, berpretensi atau tidak, tetap saja ketika seseorang memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi banyak orang, apapun motifnya, ia telah memasuki wilayah nilai kepahlawanan. Dan di wilayah ini, mereka bisa menjadi pahlawan seperti para pahlawan sejak zaman kolonial sampai era kemerdekaan.
Eko dalam tulisannya mengatakan bahwa di era kini, perjuangan telah mengerucut pada perlawanan terhadap rezim hoax dan kebohongan sehingga semangat sumpah ketiga dari sumpah mahasiswa tetap relavan, yaitu melawan kebohongan dan menegakkan kebenaran.
Perubahan ini seiring dengan kemajuan zaman yang dipicu oleh berbagai lompatan penemuan di bidang teknologi informasi dan internet yang telah mengubah tatanan dunia menjadi borderless dan melahirkan digital culture. Sesuatu yang sama sekali baru dan mungkin tak terbayangkan bisa menjadi perubahan yang begitu cepat.
Kita mungkin tergagap oleh perubahan itu seperti kini dunia juga gagap menghadapi pandemi Covid-19. Namun di tengah perubahan sedrastis apapun, termasuk dalam budaya baru kehidupan masyarakat digital, nilai dan sikap kepahlawan masih tetap belum mengalami pergeseran paradigma ataupun perubahan makna. Keduanya juga belum mengalami kohesi dan tetap merupakan dua hal yang seolah berdiri sendiri walau seharusnya merupakan satu kesatuan.
Keberadaan seseorang di wilayah nilai kepahlawanan tidak serta merta terkoneksi dengan sikap kepahlawanan. Siapa saja bisa berada di wilayah nilai itu tanpa harus memiliki sikap dan kualitas seorang pahlawan.
Ini mungkin sebuah ironi atau bahkan tragedi. Idealnya antara nilai dan sikap tak bisa dilepaskan satu sama lain. Jika terlepas, maka sejarah kerap mencatat lahirnya sosok oportunis yang jauh dari sikap dan kualitas pahlawan di kancah perjuangan nilai-nilai kepahlawanan.
Pahlawan di tengah pandemi
Di tengah perang melawan pandemi Covid-19, menurut laporan Center for American Progress (2020), para imigran gelap muncul sebagai sosok pahlawan tanpa tanda jasa karena merekalah yang menopang sejumlah kewajiban negara agar tetap bisa berjalan.
Dilaporkan bahwa para imigran gelap tetap bekerja di berbagai sektor penting seperti pekerja pertanian, pekerja di pusat kesehatan masyarakat, jasa pengiriman bahan pokok, usaha groceries, perusahaan cleaning service dan sanitasi serta sektor penting lain. Laporan itu juga mengatakan: undocumented immigrants make up nearly 13% of the nation’s construction workforce, bring about $50 billion in national gross domestic product (GDP) each year.
Kenyataan ini sangat kontras dengan ketidakjelasan status mereka yang berarti absennya hak-hak mereka di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lepas dari motif para imigran itu semata-mata bekerja untuk menyambung hidup, apa yang mereka kerjakan ternyata memiliki kualitas kepahlawanan seperti halnya tenaga medis yang berjuang di garda depan perang melawan pandemi. Pada saat yang sama mereka adalah kaum paria yang tak diakui oleh negara Amerika Serikat. Lagi-lagi ini adalah sebuah ironi yang tragis.
Sepertinya kepahlawanan selalu mengandung potensi tragedi di dalamnya. Mungkin karena itulah hidup para pahlawan kerap tragis dan mungkin hal ini juga terjadi karena antara nilai dan sikap kepahlawanan masih belum menjadi satu kesatuan utuh.
Namun pahlawan sejati tak akan peduli jika hidupnya harus menjadi ironis atau tragis karena sejak awal mereka berjuang tulus tanpa pamrih dan siap dengan resiko kehilangan kehidupan personal mereka. Di tengah pandemi, kualitas pahlawan sejati sangat dibutuhkan di berbagai sektor kehidupan seperti sektor-sektor yang dikerjakan oleh para imigran gelap di Amerika.
Dalam polemik yang dipicu tulisan Eko tentang sumpah mahasiswa, para aktivis 80-an bisa mempertanyakan kualitas yang ada pada diri masing-masing dan kualitas aktivis mahasiswa dari generasi ke generasi, sekaligus melakukan refleksi hari pahlawan untuk menemukan cara melahirkan pahlawan-pahlawan baru yang kini semakin dibutuhkan di tengah perang melawan pandemi Covid-19.
Apalagi saat ini tatanan masyarakat lama relatif telah diporak-porandakan oleh serangan pandemi sehingga kita sangat perlu melakukan revitalisasi dan membuat pondasi baru tatanan masyarakat dengan tetap menjaga nilai-nilai dan sikap kepahlawanan di dalamnya.
(FX Rudy Gunawan Penulis saksi sejarah awal gerakan mahasiswa 80an dan pendiri media Katadesa.id)