Obituari bagi Lelaki Liar yang Selalu Mendahului
Kegairahan itu bahkan ia ”bekukan” dengan kalimat ”korek api yang membakar almari es”. Ia tak peduli cibiran orang tentang seorang perupa yang menulis antologi puisi, bahkan sampai tiga judul kumpulan puisi.
Kabar tentang kepergian perupa Made Wianta (70), betapa pun pelannya tiba di telinga banyak orang, tetap mengoyak perasaan. Gairah hidupnya yang tinggi dan jiwa kesenimanannya yang tak kenal menyerah seolah menafikan kemungkinan kepergiannya yang terlampau cepat. Tetapi, Jumat (13/11/2020) pukul 14.49 Wita, Wianta benar-benar pergi meninggalkan gairah yang menggebu-gebu itu di Jalan Pandu, Denpasar.
Buratwangi, putri tertuanya, menulis kabar, ”Bapak, terima kasih atas cintamu yang abadi. Dengan kesedihan kami yang terdalam kami informasikan tentang meninggalnya opa, bapak, dan suami kami tercinta, I Made Wianta, pada hari Jumat, 13 November 2020, pukul 14.49.”
Membaca kalimat yang ditulis dalam bahasa Inggris ini, tanganku gemetar. Terakhir aku bertemu dengan Made Wianta, 9 November 2018, di tengah-tengah pameran Art Bali di Nusa Dua. Kami bahkan berfoto di depan lukisannya yang berukuran besar. Wianta duduk di kursi roda, tersenyum, lalu mengerang-erang saat direkam kamera video.
Suatu hari, jika kau benar-benar menyimak perjalanan kesenimanan Made Wianta, kau akan mengerti bahwa ekspresi seni tak bisa dikungkung dalam satu genre kesenian.
Tak jelas benar apa yang ingin dikatakannya. Senyum dan isyarat tangannya memperlihatkan, ada jejak kegairahan berkarya yang tak pernah padam. Kegairahan itu bahkan ia ”bekukan” dengan kalimat ”korek api yang membakar almari es”. Ada sumber api yang terus menyala meski di sekitarnya udara membeku menjadi kristal-kristal es.
Ia kemudian ”membekukan” api gairah itu dalam sebuah buku antologi puisi bertajuk Korek Api Membakar Almari Es, yang berisikan serpih-serpih catatan Made Wianta dalam berbagai aktivitas di dunia. Ia tak peduli cibiran orang tentang seorang perupa yang menulis antologi puisi, bahkan sampai tiga judul kumpulan puisi.
Ia hanya bilang, ”Ini puisi kata. Aku cuma mengalihkan garis, warna, dan komposisi rupa menjadi kata-kata. Tak ada yang keliru, bukan?” Tak ada yang keliru, Bli. Suatu hari, jika kau benar-benar menyimak perjalanan kesenimanan Made Wianta, kau akan mengerti bahwa ekspresi seni tak bisa dikungkung dalam satu genre kesenian. Ia melintas batas, bahkan jauh melintasi batas-batas paling mungkin dari pencarian seorang seniman.
Tahun 1990-an, ketika terjadi bom seni rupa Indonesia, karya-karya Made Wianta menjadi salah satu karya yang ”dikuliti” oleh media karena larisnya. Ada media yang bahkan menghitung jumlah titik dalam lukisannya untuk kemudian dikalikan agar mendapatkan nilai jual lukisannya.
Wianta juga dituding telah mempekerjakan artisan untuk menghasilkan lukisan-lukisannya yang penuh dinamika warna dalam bentuk-bentuk geometrik. Konon, ia hanya membuat sketsa dasar untuk seterusnya dikerjakan para artisan. Oleh sebab itulah, lukisannya selalu mengalir deras dalam berbagai pameran dan galeri sampai akhirnya dikoleksi banyak kolektor.
Dalam bentuk-bentuk geometrik itulah, biasanya, ia membubuhkan jutaan titik dengan berbagai warna yang menimbulkan semacam gradasi cahaya. Kelak kita akan tahu bahwa titik-titik adalah dasar dari garis, sebagaimana dipraktikkan dalam teknologi komputer kemudian. Wianta sudah jauh-jauh hari memulainya.
Baca juga : Kisah yang Tak Betah Jadi Kata-kata
Toh begitu, masih banyak orang mempertanyakannya, bagaimana mungkin ia betah mengerjakan titik demi titik itu, sementara ia ”keluyuran” dalam berbagai media rupa?
Pastilah titik-titik itu dikerjakan oleh para artisan yang dipekerjakannya secara rahasia di ruang studionya. Suatu hari nanti, kau akan tahu juga, kini banyak perupa mempekerjaan artisan untuk menghasilkan karya-karyanya, dan itu tetap dianggap sah, karena sesungguhnya seni itu dimulai dari sesuatu yang ”ideal” bukan?
Wianta seperti tak menggubrisnya. Ia tetap saja mengembangkan daya jelajah artistiknya untuk terus bergerak menemukan bahasa baru yang membuat karyanya selalu terasa otentik. Aku ingat, pada 10 Desember 1999, ketika turut terlibat dalam perhelatan besar bernama Art and Peace di Pantai Padanggalak, Denpasar.
Wianta membentangkan kain sepanjang 2.000 meter yang berisikan ratusan tulisan perdamaian dalam berbagai bahasa. Saat itu, pantai dipenuhi oleh 2.000 penari dengan koreografi dari Restu Imansari. Waktu itu, Wianta berada di atas helikopter untuk membentangkan tulisan-tulisan tentang perdamaian dari udara.
Aksi ini tak hanya dicatat sebagai peristiwa art performance, tetapi lebih-lebih adalah seruan perdamaian bagi seluruh umat manusia dalam memasuki milenium baru, abad ke-21. ”Seni harus sepenuhnya terlibat untuk menyerukan perdamaian dunia. Kalau enggak, untuk apa kita berkesenian,” kata Wianta di hari-hari sebelum pelaksanaan Art and Peace.
Wianta, bagiku, menjadi sedikit dari seniman Indonesia yang terus berpikir. Ia mengembangkan karya-karya seni rupanya berdasar riset. Banyak kemudian yang menjuluki karya-karyanya kaya wacana, seni yang berpikir. Tak segan-segan ia berlayar ke Pulau Run, pulau di mana dahulu rempah-rempah menjadi emas hitam yang diburu oleh bangsa Eropa.
Baca juga : Misi Kejujuran pada Tubuh
Wianta melakukan riset kapal Belanda pertama yang tiba di Run untuk kemudian memicu peperangan berkepanjangan dengan Inggris. Bahkan, peperangan itu terpaksa harus diakhiri dengan Perjanjian Breda tahun 1667. Hasilnya, Inggris menguasai New England (Pulau Manhattan) dan Belanda menguasai Pulau Run.
Sejarah itu diluluhkan oleh Made Wianta dalam wujud karya-karya rupa, yang kemudian ia pamerkan dengan tajuk ”Run for Manhattan” di Jakarta tahun 2017. Dari atas kursi roda, lelaki kelahiran Desa Apuan, Tabanan, itu menyaksikan 44 karyanya digantung di dinding Ciptadana Art Space, Jakarta.
Sudah lama ia punya obsesi untuk mewujudkan kemelut yang melanda Run dan Manhattan menjadi karya seni. Ia bahkan pernah bercita-cita mengajak para seniman berlayar bersama dengan rekonstruksi kapal di zaman kolonial. Rupanya, agenda itu belum sempat terlaksana karena tahun 2015 ia mengalami kecelakaan di desanya, Apuan.
”Bli Made itu cuma dibonceng orang lain waktu naik motor ke kebun, eh kok akibatnya jadi fatal,” kata Intan Kirana, istri Made Wianta, suatu hari. Sejak kecelakaan itu, Wianta didiagnosis mengalami stroke. Oleh sebab itu, separuh badannya, termasuk kaki, tidak bisa berfungsi secara normal.
Selama hampir lima tahun, kata Intan, suaminya berusaha tetap sehat dengan menjalani terapi. Di sela-sela itu, Wianta tetap ingin melukis dan memamerkan karya-karyanya kepada publik.
Hal lain, selain karya-karyanya yang digarap berdasar riset, Wianta juga seorang seniman yang paham akan pentingnya buku dan dokumentasi. Kapan pun dan di mana pun ia berada, tangannya tak henti mencoret-coret kertas. Oleh sebab itulah, banyak sketnya yang dikerjakan di atas sembarang kertas, entah tisu, sobekan tiket parkir, boarding pass, bungkus rokok, kertas semen, atau apa saja yang kebetulan ada di dekatnya.
Baca juga : Buah Imajinasi Jatuh di Kolong Panggung
Hebatnya, kertas-kertas berisi coretan itu ia dokumentasikan secara baik. Bahkan, Wianta menggaji seseorang yang khusus untuk mengarsipkan kertas-kertas penuh coretan itu. Di kemudian hari, kertas-kertas itu lahir menjadi beberapa buku penting, yang menandai perjalanan kreativitasnya sebagai seorang seniman.
Selain itu, di balik kegairahan bekerjanya sebagai seniman yang menghasilkan banyak karya dan kemudian dikoleksi oleh banyak kolektor dunia, Wianta tetap tegas kepada dirinya sendiri. Ia selalu menyimpan karya-karya terbaiknya, terutama karya-karya pada periode Karangasem (1970-1980-an) ketika ia hidup melarat.
Saat itu, kenang Intan Kirana, mereka hanya punya tiga piring makan untuk tiga anggota keluarga. ”Saya, Bli Made, dan Burat. Tak ada piring lain. Lalu, Bli Made melukis dengan getah pisang atau odol di atas kain seadanya,” ujar Intan.
Karya-karya periode ini dikerjakan Wianta di atas kain kasa dengan media getah pohon pisang atau pasta gigi. Penulis seni rupa yang mengikuti perjalanan Made Wianta, Eddy Soetriyono, mengatakan, meski secara ekonomi Wianta melarat, ia tak pernah meninggalkan kanvasnya.
”Ia terus berproses, ada atau tidak ada media, meski ia tidak yakin akan menjadi seorang seniman yang dihormati kelak,” ujar Eddy, Sabtu (14/11/2020), sesaat setelah mendapat kabar kepergian Made Wianta.
Karya-karya pada periode ini memperlihatkan betapa intens pergulatan Wianta dalam menghayati kesenimanannya. Ia menggores makhluk-makhluk renik dalam berbagai bentuk yang aneh dan ajaib.
Baca juga : Drupadi Terkapar di Jalanan Kota
Terkadang sulur-sulur tangan dan kaki makhluk itu memanjang menggapai sudut-sudut kanvasnya yang berserat longgar. Hebatnya, sebagian dari wujud makhluk ini digoreskan Wianta dengan menggunakan getah pisang atau terkadang pasta gigi.
”Sekarang kira-kira karya Wianta ada ratusan dari periode terbaik, mungkin cukup untuk dua kali pameran tunggal,” kata Eddy. Bersama Made Wianta dan Intan Kirana, Eddy sebenarnya sejak lama sedang mempersiapkan pameran tunggal Made Wianta dari karya-karya arsip. ”Pelukis ini hebat, harus diakui ia tahu mana karya bagus mana tidak, dan itu disimpannya secara baik,” kata Eddy.
Sesungguhnya, selain sebagai kreator yang lintas media, Made Wianta juga lebih-lebih seorang seniman yang sadar akan pentingnya sebuah dokumen. Oleh sebab itulah, ia selalu mengabadikan seluruh aktivitas berkeseniannya.
Kini, buku-buku seperti Made Wianta: Art and Peace (2000) dan Wild Dogs in Bali: The Art of Made Wianta (2005) serta tiga antologi puisi yang ia terbitkan sendiri terasa begitu penting keberadaannya.
Robert C Morgan, penulis seni rupa populer dari Amerika Serikat, menjuluki Wianta sebagai ”anjing kampung liar” karena wilayah jelajah kesenimanannya tak bisa diukur dengan satu teori tertentu.
Wianta selalu bergerak liar, ibarat anjing kampung yang bebas menjelajah tempat-tempat tersembunyi di sudut-sudut desa. Penjelajahan itu kemudian menghasilkan karya-karya berbagai genre dan aliran, yang harus didekati dengan cara-cara berbeda.
Wianta selalu bergerak liar, ibarat anjing kampung yang bebas menjelajah tempat-tempat tersembunyi di sudut-sudut desa.
Kini, binatang liar yang sulit dijinakkan itu telah pergi. Ia meninggalkan catatan-catatan penting sebagai peta jalan menuju otentisitas pengembaraan seorang seniman. Jejak-jejak itu sangat berarti di tengah kebekuan gairah kesenian di saat-saat pandemi seperti ini.
Aku akan menutup obituari ini dengan mengutip sajak penyair Frans Nadjira, sahabat baik Made Wianta: //Untuk kali terakhir/kata menjengukmu/karena kata cuma milikku://”Selamat jalan, batu paras/yang ditatah dengan kapak”// (”I Gusti Nyoman Lempad”, Frans Nadjira).
Lalu, jasad perupa yang tak henti berkarya itu menyatu bersama api yang menyala dalam krematorium, mengembalikannya kepada Semesta, di mana ia dahulu memulai perjalanan. Sekarang, ia kembali dan memulai perjalanan baru, menuju keabadian....