Belakangan, negara serasa tak berdaya menghadapi (dugaan) pelanggaran di depan mata. Negara tak konsisten menerapkan hukum yang dibuatnya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pesan Pasal 28J Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 itu sangatlah jelas. Aturan dalam Bab Hak Asasi Manusia (HAM) itu menegaskan, pelaksanaan hak seseorang di negeri ini tidak bisa mengabaikan atau mengorbankan hak orang lain, apalagi sampai membuat hak asasi orang lain tidak bisa dilaksanakan. Negara harus menjamin terjadinya saling menghormati antarwarga negara dalam menjalankan hak asasinya itu.
Ayat (2) pun makin menguatkan pesan itu. Bunyinya, ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Ada kebebasan di negeri ini, termasuk kemerdekaan untuk berpendapat, berserikat, atau berkumpul. Namun, tak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya karena ada kebebasan dan hak orang lain yang harus dihormati. Kebebasan harus tunduk kepada hukum, perundang-undangan yang berlaku, selain pada berbagai norma kemasyarakatan. Kekuasaan negara mengatur dan melindungi warga negara itu dilaksanakan pemerintah dan aparaturnya di semua tingkatan.
Namun, jaminan penghormatan HAM dan kebebasan warga negara dalam konstitusi itu dalam pekan ini dipertanyakan banyak kalangan, baik melalui media massa, linimasa, maupun percakapan warga. Negara, khususnya pemerintah, terkesan tidak mampu menghadapi saat ada warga negara atau kelompok warga negara yang terkesan di atas hukum, bisa mengabaikan hak dan kebebasan warga negara lain. Bahkan muncul kesan pemerintah memberi ”angin” dan membiarkan pelanggaran hukum serta membiarkan kegaduhan terjadi di masyarakat.
Padahal, sejak pandemi Covid-19, Maret lalu, pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan negara menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pelaksanaan aturan itu mengharuskan warga menaati protokol kesehatan: memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun secara rutin. Kerumunan warga dilarang, termasuk upaya warga untuk hidup dengan mencari penghasilan, bekerja atau berusaha, dibatasi.
Pelanggaran terhadap aturan itu diikuti dengan sanksi, mulai dari tidur dalam peti mati, membayar denda, bahkan hingga menjadi tersangka, seperti yang dialami Wakil Ketua DPRD Kota Tegal, Jawa Tengah, Wasmad Edi Susilo. Wasmad mengundang kerumunan massa dengan menggelar konser dangdut saat menikahkan anaknya, September lalu.
Namun, belakangan, negara serasa tak berdaya menghadapi (dugaan) pelanggaran di depan mata. Negara tak konsisten menerapkan hukum yang dibuatnya. Padahal, UUD 1945 menjamin persamaan warga negara di depan hukum.