Kurikulum Bernalar
Wabah Covid-19 membuka peluang bagi pendidikan Indonesia untuk fokus meningkatkan mutu pembelajaran bernalar secara sistematis sehingga perlu digaungkan adanya Kurikulum Bernalar.
Krisis global Covid-19 berhasil mengusik pendidikan di mana-mana. Internet dan teknologi belajar, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, telah menjadi media pembelajaran yang berperan besar. Sikap dan perilaku belajar siswa telah berubah. Demikian pula sikap dan pendekatan guru dalam mengajar juga berubah.
Perubahan besar tidak terjadi hanya pada bagaimana menjalankan kegiatan belajar-mengajar, tetapi juga pada apa yang dibelajarkan guru dan diharapkan dipelajari siswa. Oleh karena itu, murid dan guru sama-sama perlu menetapkan ulang kecakapan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) yang dikembangkan.
Baca juga: Catatan 75 Tahun Pendidikan
Dengan waktu dan intensitas tatap muka berkurang seperti sekarang, para pendidik dipaksa harus memilah dan memilih pengetahuan serta keterampilan yang dibelajarkan. Untuk itu, kementerian dan lembaga pendidikan di mancanegara menyusun kurikulum edisi krisis ini, atau panduannya, guna beradaptasi dengan cara hidup baru saat ini.
Yang dikhawatirkan para pakar pendidikan ialah terjadinya pengurangan muatan di kurikulum. Situasi darurat dianggap mewajarkan pemangkasan kurikulum. Sudah barang tentu, langkah reduksi atau pengurangan bahan ajar merugikan dan membahayakan Generasi Covid-19 yang sekarang sedang menjalani masa persekolahan.
Yang dikhawatirkan para pakar pendidikan ialah terjadinya pengurangan muatan di kurikulum.
Oleh karena itu, perlu ada suatu pedoman untuk menentukan muatan seperti apa yang harus tetap dibelajarkan atau diprioritaskan. Penting tidaknya suatu ilmu pengetahuan tak dapat dijadikan pegangan untuk menentukan dibelajarkan atau tak dibelajarkannya karena semua keilmuan penting.
Namun, yang lebih perlu dipertimbangkan adalah daya pembangun dari muatan tersebut. Muatan tertentu disebut memiliki daya pembangun jika muatan tersebut mampu menjadi perekat sekaligus fondasi banyak muatan atau topik lain.
Baca juga: Pendidikan di Masa Sulit
Sebagai contoh, penulisan bilangan Romawi—apalagi sampai ribuan—sesungguhnya tak punya daya pembangun yang kuat. Kecuali bahwa sistem bilangan Romawi itu pengetahuan yang dapat dipelajari sambil lalu, amat sedikit muatan lain yang tergantung kuat padanya. Sebaliknya, membaca dan menulis bilangan pecahan, misalnya, memiliki daya pembangun yang kuat.
Di Amerika Serikat (AS), organisasi seperti Council of Great City Schools, Student Achievement Partners, dan National Council of Teachers of Mathematics telah berkolaborasi menyusun dokumen panduan untuk membantu pendidik menyusun kurikulum baru. Dokumen ini mendata muatan prioritas dalam matematika dan bahasa untuk masa wabah ini.
Meski demikian, masalah serta prioritas di setiap negara tak selalu sama. Secara umum, yang diutamakan haruslah langkah membenahi kelemahan utamanya, di mana bagi Indonesia, kelemahan itu sudah terang benderang. Berbagai asesmen pendidikan dan survei, baik nasional maupun internasional, sudah dengan secara gamblang menuding pada kekurangcakapan bernalar.
Oleh karena itu, di saat sistem pendidikan di mana-mana sedang merumuskan kecakapan prioritas yang dibelajarkan, Indonesia harus meletakkan pembelajaran kemampuan bernalar sebagai garapan utama.
Baca juga: Budaya Berkomputer dan Kecakapan Bernalar
Dapat jadi, wabah ini membuka peluang bagi pendidikan Indonesia untuk fokus meningkatkan mutu pembelajaran bernalar secara sistematis. Maka, beralasan kuat dan strategis jika kurikulum, yang akan menggaungkan pesan utama bernalar ini, dapat dinamai Kurikulum Bernalar.
Kurikulum ini akan menjadi sebuah pernyataan dari kehendak tegas bersama guna memajukan kemampuan bernalar. Bukan sekadar jargon, kurikulum baru nanti harus menjabarkan terobosan mendasar sekaligus merumuskan langkah nyata dalam membelajarkan bernalar dengan bahasa Indonesia yang jelas dan sederhana. Untuk itu, mau tak mau, harus dipikirkan pula kurikulum bagi gurunya dan di situ letak kepelikannya.
Kurikulum ini akan menjadi sebuah pernyataan dari kehendak tegas bersama guna memajukan kemampuan bernalar.
Kurikulum keguruan
Seperti yang telah ditunjukkan dalam artikel Anita Lie, ”Kurikulum: Idealisme dan Politisasi” (Kompas, 9/10/2020) dan juga beberapa tulisan sebelumnya terkait pelajaran Sejarah, perubahan kurikulum senantiasa memicu polemik.
Perdebatan terkait mata pelajaran tertentu, dimasukkan atau tidak dan diwajibkan atau tidak, dalam kurikulum selalu riuh dan sarat aroma politik. Masih teringat jelas bagaimana perubahan mata pelajaran terkait Bahasa Inggris dan Ilmu Komputer dalam kurikulum, juga menelurkan polemik.
Baca juga: Kurikulum: Idealisme dan Politisasi
Di satu sisi, sudah jamak terdengar para guru, siswa, orangtua, masyarakat, dan juga akademisi mengeluhkan terlalu banyaknya jumlah mata pelajaran sekaligus berjubelnya bahan ajar yang harus dipelajari anak.
Namun anehnya, manakala ada usulan untuk mengurangi mata pelajaran, mengubah yang wajib menjadi pilihan, atau menyatukan beberapa mata pelajaran, tidak sedikit pula yang protes.
Jumlah mata pelajaran di kurikulum Indonesia memang relatif lebih banyak ketimbang di sejumlah negara lain. Kurikulum sekolah dasar (SD) di sana lebih umum. Jumlah mata pelajaran siswa SD hanya empat atau, bahkan, tiga.
Baca juga: Mengembalikan Hakikat Pendidikan
Misalnya, tiga mata pelajaran itu: Bahasa (mencakup Bahasa Nasional dan Bahasa Ibu), Matematika, dan Studi Lingkungan (di dalamnya mencakup Ilmu Sosial, Ilmu Alam, Kewarganegaraan, Sejarah, dan lainnya).
Bahkan ada sistem pendidikan SD yang berani ”menitipkan” matematika di mata pelajaran lain.
Di satu sisi, untuk membuat dan menjalankan kurikulum seperti itu dibutuhkan pendidik yang berpikiran luwes, kuat mengendalikan ”ego keilmuan” dirinya, sekaligus berpengetahuan luas. Sebaliknya, dalam sistem pendidikan seperti itu, para guru dan murid akan secara berkelanjutan membentangkan cakrawalanya.
Artinya, tingkat keumuman-kekhususan kurikulum sekolah dan kurikulum keguruan harus seirama. Program studi S-1 di institusi keguruan yang terlalu spesialis atau khusus akan sulit menjawab kebutuhan pendidikan di Indonesia ke depan.
Bahkan, mungkin justru merepotkan. Desain program studi yang didirikan secara khusus untuk mata pelajaran tertentu menghambat langkah pengembangan kurikulum sekolah. Saat ada upaya perubahan kurikulum sekolah, kelanggengan program studi dirasa diusik.
Akibatnya, setiap upaya mengubah kurikulum sekolah menyangkut disiplin tertentu dipandang sebagai ancaman terhadap kesempatan kerja lulusan dan, mungkin, staf akademiknya.
Baca juga: Mencari Kurikulum Pendidikan yang Relevan dengan Perubahan Zaman
Kecuali itu, banyak sekolah dasar maupun menengah di luar Jawa saat ini masih kekurangan guru. Sekolah seperti itu membutuhkan guru yang lincah serta piawai mengampu beberapa mata pelajaran sekaligus.
Maka, desain program studi S-1 keguruan yang terlalu khusus, seperti dirancang untuk sekolah ideal di kota besar di Jawa, tak menjawab kebutuhan persekolahan Indonesia saat ini. Karena itu, institusi keguruan perlu menggagas sekaligus lebih mengedepankan program studi S-1 yang bersifat lebih umum, seperti Pendidikan IPA dan Pendidikan IPS. Lalu, di strata S-2, baru program studi dibuat bersifat lebih spesialis atau khusus.
Kecuali itu, banyak studi S-1 keguruan yang terlalu khusus, seperti dirancang untuk sekolah ideal di kota besar di Jawa, tak menjawab kebutuhan persekolahan Indonesia saat ini.
Struktur umum-khusus di pendidikan tinggi juga searah dengan permasalahan dunia yang semakin kompleks, yang membutuhkan solusi lintas-disiplin. Juga struktur ini akan memicu kelahiran keilmuan baru, janin dari interaksi berbagai disiplin.
Yang paling penting, sistem umum-khusus di pendidikan tersier akan menyokong langsung gagasan perkembangan (bukan pengembangan) manusia seutuhnya yang meletakkan upaya tiap insan membangun dirinya sebagai tujuan utama pendidikan.
Dari diskusi di atas, pertama, terbaca bahwa struktur kurikulum di pendidikan tinggi perlu seirama dengan kurikulum sekolah. Oleh karena itu, kedua, membenahi kurikulum pendidikan guru tak kalah penting dibandingkan membenahi kurikulum bagi murid.
Iwan Pranoto, Pengajar Matematika Institut Teknologi Bandung