Pustakawan sesungguhnya berpotensi memberikan kontribusi besar bagi negara dan dunia dengan melakukan perbaikan dan pengembangan cara kerja, mentalitas, dan optimalisasi kemampuan literasi informasi.
Oleh
FRIAL RAMADHAN SUPRATMAN
·5 menit baca
Setiap tanggal 16 November, dunia internasional memperingati Hari Toleransi Internasional, yang dikukuhkan saat HUT Ke-50 Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal yang sama tahun 1995.
Berdasarkan catatan sejarah, bayang-bayang perang besar selalu menghantui peradaban manusia. Dalam bukunya yang berjudul The Destined for War, Graham Allison menyebutkan bahwa dalam rentang waktu 500 tahun terdapat 16 konflik yang melibatkan negara-negara besar, 12 konflik di antaranya berakhir dengan perang.
Sebagai lembaga internasional paling berpengaruh pasca-Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diharapkan menjadi lembaga dunia yang aktif membangun perdamaian. Salah satu upaya untuk mewujudkan perdamaian adalah mendorong upaya ”aliansi peradaban” atau alliance of civilization. Kofi Annan (mantan Sekjen PBB) pada 2005 menggagas terbentuknya lembaga The United Nations of Alliance of Civilizations (UNAOC).
Terbentuknya UNAOC bertujuan ”melawan prasangka dan pembelahan antarbudaya dan agama (dengan kasus khusus adalah antara Islam dan Barat) dan merancang model kesepahaman dan saling menghormati”. Aliansi peradaban adalah usaha untuk menjembatani dialog antarbudaya dan agama agar terjadi sikap saling menghormati antarwarga negara di dunia.
Peran pustakawan
Jika melihat dari tujuan UNAOC, prasangka dan pembelahan antarbudaya dan agama dapat dilawan dengan pemahaman literasi yang baik. Selama ini literasi yang buruk di dalam masyarakat dapat mengakibatkan prasangka terhadap suatu negara, budaya ataupun agama tertentu sehingga menimbulkan kegelisahan dan konflik. Pustakawan sebagai garda depan pendidikan literasi memiliki peran strategis dalam membangun perdamaian.
Pustakawan selama ini menjadi profesi yang termarjinalkan. Stereotip masyarakat terhadap pustakawan yang dianggap sebagai ”penjaga buku’ turut memperkuat inferiorisasi terhadap profesi pustakawan. Selain itu, pustakawan juga terjebak pada kegiatan teknis yang kemudian mengisolasinya dari hiruk-pikuk wacana global dan internasional. Ketika berbagai konflik besar menjadi perbincangan masyarakat dunia, apa yang dapat dilakukan pustakawan?
Sejarah telah membuktikan bahwa pustakawan sebenarnya memiliki kegiatan yang sangat penting untuk menjaga perdamaian dunia. Kathy Peiss, dalam bukunya yang berjudul Information Hunters, menjelaskan bagaimana pustakawan menjadi garda terdepan dalam melawan teror Nazi dalam Perang Dunia II. Ketika itu Amerika Serikat menugaskan para pustakawan untuk berburu literatur dan bahan pustaka yang dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk mempertahankan negara dari teror Nazi.
Mereka mengumpulkan bahan pustaka, baik itu buku, peta, surat kabar, maupun majalah untuk mengetahui kelemahan-kelemahan Nazi. Setelah itu, para pengambil kebijakan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam melawan teror dan propaganda jahat yang dapat mengancam perdamaian.
Dalam hal ini, kita melihat bahwa pustakawan sebenarnya dapat menjadi pahlawan untuk menyelamatkan dunia dari ancaman teror. Dengan kata lain, mereka dapat menjadi ”diplomat peradaban” dengan melakukan berbagai upaya mendidik masyarakat melalui kegiatan literasi informasi yang baik dan berorientasi pada pembangunan perdamaian.
Pustakawan dapat melakukan akuisisi terhadap literatur-literatur yang memperkuat perjuangan pelaksanaan hak-hak asasi manusia hingga menyelamatkan naskah-naskah kuno yang mampu mendorong perdamaian. Karya-karya Maulana Jalaludin Rumi merupakan salah satu contoh naskah yang dapat mendorong berlangsungnya dialog peradaban sehingga perlu diselamatkan dan disebarluaskan untuk kebutuhan perdamaian.
Divisi peradaban
Semua pustakawan di Indonesia sebenarnya mampu untuk ikut serta dalam mempromosikan aliansi peradaban dan perdamaian dunia. Perpustakaan Nasional memiliki tugas yang sangat sentral dan siginifikan untuk mendidik para pustakawan agar dapat mewujudkan tujuan ini.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh perpustakaan adalah dengan membentuk divisi peradaban di dalam struktur kerja perpustakaan. Divisi ini merupakan pusat riset, penelitian, informasi dan literatur mengenai peradaban-peradaban dunia. Pustakawan dapat melakukan kegiatan akuisisi, katalogisasi, hingga pelayanan terhadap informasi mengenai peradaban dunia.
Informasi tersebut tidak hanya berupa buku cetak, tetapi juga informasi yang dapat diakses secara dalam jaringan (online), seperti jurnal elektronik, ebook, surat kabar dan majalah digital, dan berbagai macam sumber lainnya. Untuk itu, perpustakaan dapat melakukan kegiatan akuisisi yang lebih masif terhadap bahan pustaka mengenai peradaban dunia dalam beragam bahasa. Hal ini bertujuan agar pustakawan dapat mendorong kesepahaman dan dialog peradaban yang lebih kuat.
Setelah memiliki bahan pustaka yang layak menjadi referensi, pustakawan dapat melakukan katalogisasi, membuat indeks, abstrak, anotasi, dan alat bantu pencarian informasi lainnya yang dapat diakses secara terbuka untuk masyarakat agar diseminasi informasi berlangsung dengan lancar. Untuk itu, pustakawan juga harus mampu berpikir lintas disiplin sehingga memiliki horizon pengetahuan lebih luas untuk memahami tema-tema aktual, baik dalam bidang, politik, hubungan internasional, ekonomi, maupun teknologi.
Pemahaman pustakawan mengenai masalah aktual yang berorientasi global menjadi kunci agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Kemampuan bahasa juga menjadi syarat penting agar pustakawan dapat berperan dalam mendorong aliansi peradaban ini.
Bahasa Inggris tentu saja kemampuan utama yang harus dimiliki pustakawan, tetapi seharusnya perpustakaan memiliki pustakawan yang ahli dan kompeten dalam beragam bahasa asing lainnya, seperti Arab, Perancis, Jerman, dan China. Hal ini nantinya akan mempermudah pustakawan untuk melakukan kegiatan akuisisi, katalogisasi, dan pelayanan terhadap bahan pustaka berbahasa asing.
Untuk menyukseskan visi dalam mendorong perdamaian dunia, perpustakaan juga harus terbuka berkomunikasi dan bekerja sama dengan berbagai kementerian, lembaga, dan elemen masyarakat. Tanpa adanya kerja sama yang baik dengan semua instansi, kementerian, lembaga, dan masyarakat, hasil kegiatan akuisisi dan katalogisasi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Pustakawan sesungguhnya berpotensi memberikan kontribusi besar bagi negara dan dunia dengan melakukan perbaikan dan pengembangan cara kerja, mentalitas dan optimalisasi kemampuan literasi informasi. Kegiatan literasi informasi merupakan elemen yang signifikan dalam membangun toleransi hidup bersama sekaligus menjaga perdamaian dunia.
(Frial Ramadhan Supratman, Pustakawan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; lulus Studi Pascasarjana (S-2) Ilmu Sejarah, Universitas Istanbul, Turki)