Kompetisi Sumber Energi Global AS-China
Indonesia harus memegang inisiatif dan kendali dalam menawarkan investasi dan meningkatkan nilai potensi nasional yang dimiliki untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa.
Era kompetisi kekuatan global saat ini sangat berbeda dengan kondisi bipolar dunia pada Perang Dingin era 1970-an. Pada era Perang Dingin, kompetisi yang terjadi murni terkait penguasaan ideologi dunia antara Uni Soviet yang mendukung ideologi komunis dan AS yang mengusung demokrasi liberal.
Perubahan terjadi pada bentuk kompetisi global saat ini, dengan kehadiran China yang menyeruak di tengah dominasi tunggal AS—dengan bermodalkan peningkatan ekonomi nasional yang mengagumkan, potensi demografi dan kebanggaan nasional—memosisikan dirinya menjadi penantang utama AS.
Baca juga: Ketegangan AS-China dan Jebakan Thucydides
Kebijakan strategis global AS yang masih mempertahankan pola lama sewaktu Perang Dingin dengan mengedepankan upaya menanamkan nilai demokrasi, kesetaraan dan kebebasan, saat ini menghadapi lawan yang tak simetris, yaitu China. Kebijakan nasional China tidak mengedepankan nilai ideologi, tetapi lebih pada penguasaan ekonomi global.
Kebijakan nasional China tidak mengedepankan nilai ideologi, tetapi lebih pada penguasaan ekonomi global.
China berhasil membuat AS berada dalam zona nyamannya, yaitu pendekatan militer sebagai kekuatan hardcore dengan memberikan ruang konflik, yaitu Laut China Selatan (LCS), sehingga AS terfokus pada strategi superioritas pertahanan di Asia dengan membentuk Indopacific Command (Indopacom) dan pembentukan kerja sama pertahanan regional lainnya, seperti QUAD (Quadrilateral Security Dialogue) antara AS, India, Jepang, dan Australia yang sangat terlihat bertujuan mengurung China, khususnya LCS, serta jalur laut energi China di kawasan.
Di lain pihak, China fokus pada penguasaan ekonomi globalnya melalui strategi One Belt One Road (OBOR) Initiative yang berubah menjadi Belt and Road Initiative (BRI). Konsep penguasaan ekonomi memiliki lingkup luas, seperti investasi, sistem pendanaan (debt), perbankan, dan pengelolaan SDA.
Strategi China, mengadopsi kebutuhan nyata negara-negara sasaran. Penguasaan terhadap sumber energi yang dilakukan China mengedepankan pendekatan ekonomi terhadap negara sasaran. China menyadari, keterbukaan informasi dan era globalisasi yang mengarah pada interdependensi global saat ini telah membangkitkan pemahaman dan kesadaran negara-negara sumber energi yang mayoritas miskin untuk membangun negaranya memaksimalkan potensi nasional yang dimiliki.
Baca juga: AS-China, Mau Dibawa ke Mana
Strategi BRI berupaya mengakomodasi fenomena ini dengan mengarah ke sektor infrastruktur, pinjaman lunak, investasi.
Kekuatan lain adalah modal demografi. Tenaga kerja murah melimpah membuat produk dalam negeri China jadi sangat melimpah, dan strategi ekspansi ekonomi global China telah mampu menjawab kebutuhan pasar dari produk yang dihasilkan.
Strategi ekspansif ekonomi China juga tak terlepas dari sistem pemerintahan China yang sentralistik di bawah kekuasaan tunggal Partai Komunis Pusat China. Sistem komunis yang diterapkan di dalam negeri berhasil mengendalikan sektor usaha dan bisnis di China untuk berada dalam koridor strategi nasional secara solid dan kuat. Sementara dalam menjalankan pertarungan bisnis di wilayah global, China mengikuti iklim global yang kapitalis agar bisa bersaing dengan kompetitor.
Perubahan kepemimpinan di AS akan mengubah kebijakan ihwal perubahan iklim dan energi ramah lingkungan. Dalam kampanye politik untuk Pilpres AS 2020, Trump beberapa kali menyatakan isu perubahan iklim adalah hoaks dan akal-akalan China untuk mengalahkan AS. Sikap Trump ini cukup beralasan mengingat dominasi China dalam penguasaan sumber mineral kritis di dunia untuk mendukung industri energi alternatif, seperti kobalt dan nikel.
Baca juga: Menanti Gebrakan ”Bidenomics”
Dengan kemenangan Biden di Pilpres AS, dapat dipastikan kebijakan presiden terpilih AS akan berubah, khususnya terkait isu perubahan iklim. AS dipastikan akan bergabung kembali dengan Piagam Paris untuk mengedepankan penggunaan energi ramah lingkungan.
Hal ini tentunya akan mewarnai persaingan global dalam penguasaan sumber mineral untuk energi listrik sebagai pengganti energi fosil. Kemungkinan AS akan kembali menajamkan strateginya untuk dapat menyaingi China yang lebih dulu menguasai sumber bahan baku mineral energi listrik dunia.
Indonesia dan perebutan sumber energi listrik
Mundurnya AS dari Piagam Paris tahun 2017 memperlihatkan bahwa Trump tak menginginkan penggunaan potensi energi, khususnya minyak bumi, dibatasi oleh kesepakatan dunia ini. AS memiliki cadangan minyak sangat besar, baik domestik maupun yang berada di luar negeri, seperti Timur Tengah, Amerika Selatan, dan Asia.
Data US Geological Survey (USGS) McKinsey’s Future Mobility Initiative menunjukkan adanya tren peningkatan kebutuhan kobalt yang ekstrem pada periode 2018-2025, yakni sekitar 60 persen. Lonjakan ini dipicu oleh meningkatnya kebutuhan konsumen akan kendaraan listrik dunia yang mencapai 18 juta unit di 2025.
Energi terbarukan saat ini akan bermuara pada kebutuhan sistem penyimpanan, yaitu baterai yang dibuat dengan bahan dasar di antaranya kobalt dan nikel. Lumbung terbesar kobalt dunia ada di Afrika, khususnya Kongo. China telah menguasai investasi tambang kobalt di Kongo. Sekitar 70 persen produk kobalt Kongo sudah dibeli China dan China memegang hampir 70 persen produksi baterai litium-ion dunia.
Kembalinya AS bergabung dalam Piagam Paris akan membuat AS masuk ke dalam pertarungan perebutan bahan mineral pembuat baterai, yang sebagian besar telah dikuasai China. Ini membuat Indonesia tak dapat melepaskan diri dari dampak persaingan kedua negara.
Baca juga: Arahkan Kerja Sama RI-AS ke Energi Terbarukan
Berdasarkan data Kementerian ESDM 2019, cadangan nikel Indonesia terbesar di dunia, 32,7 persen dari cadangan dunia, diikuti Australia 21,5 persen. Menghadapi kompetisi global ini, Indonesia harus mampu menemukan peluang dengan terus meningkatkan nilai potensi nasional, termasuk SDA yang dimiliki.
Secara de facto China telah mendominasi investasi tambang dan mineral di Indonesia, termasuk nikel, di mana China dan Korea telah menyatakan ketertarikan untuk menanamkan investasi hingga 20 miliar dollar AS. Perusahaan kendaraan listrik AS, Tesla, juga telah menyampaikan minat untuk berinvestasi pada industri kendaraan listrik di Indonesia.
Indonesia harus bisa memanfaatkan momentum yang ada untuk kepentingan nasionalnya.
Beberapa opsi investasi AS terkait nikel adalah di industri hilir, berupa pembuatan kendaraan listrik. Namun, AS dihadapkan pada kendala distance tyranny karena wilayah Asia, bahkan Australia, sudah dikuasai China.
Indonesia harus bisa memanfaatkan momentum yang ada untuk kepentingan nasionalnya. Strategi nasional yang utuh dan berkelanjutan jadi penting di sini. Upaya peningkatan nilai telah dilakukan pemerintah, antara lain, melalui penghentian ekspor bahan mentah nikel dan kobalt dan pembangunan smelter serta kerja sama investasi perusahaan pembuatan mobil listrik sebagai industri hilir.
Indonesia harus memegang inisiatif dan kendali dalam menawarkan investasi dan meningkatkan nilai potensi nasional yang dimiliki, untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa.
AA Oka Wirayudha, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia