Pandemi saat ini memperlihatkan bagaimana struktur fisik apalagi yang besar-besar di ambang rontok, digantikan oleh individuasi dari kebutuhan manusia yang ternyata tidak seberapa. Lightness menggantikan wadak.
Oleh
Bre Redana
·4 menit baca
Gunung Merapi meningkat aktivitasnya. Soal akan terjadi erupsi atau tidak, spiritualis sekaligus pemilik Padepokan Seni Budi Aji di lereng Merapi, Ki Rekso Jiwo, mengatakan tidak ada yang tahu kehendak alam. Ibaratnya, kata dia tatkala Tanto Mendut mengajak saya dan beberapa teman menemuinya, peristiwa alam datang tidak memberi kabar pergi tanpa pamit.
Dengan pasrah saya ikuti Tanto dan kawan-kawan Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Menoreh, Andong, dan Sumbing) untuk menggelar ritual hari Minggu (8/11) di Candi Pendem, sekitar 15 kilometer dari puncak Merapi.
”Aku akan mengumumkan pengunduran diri sebagai Presiden Lima Gunung,” katanya pada saya beberapa waktu sebelumnya. ”Sekaligus meruwat novel barumu tentang Gayatri yang akan terbit. Meskipun alasan pengunduran diriku tidaklah sedramatis pengunduran diri Gayatri dari hiruk pikuk kekuasaan untuk menjadi biksuni seperti ceritamu,” tambahnya.
Saya cuma bisa mengiyakan. Dia suka aneh-aneh, seaneh pengunduran diri, sebab Presiden Lima Gunung hanyalah istilah yang diberikan terutama oleh media massa terhadapnya, bukan jabatan konstitusional ditetapkan oleh MPR.
Rombongan kecil terdiri dari 15 orang berangkat dari Studio Mendut pukul 04.30 pagi. Selain para penari, ada para penggerak utama Komunitas Lima Gunung, yakni Supadi, Riyadi, Ismanto, tak ketinggalan wartawan Hari Atmoko. Anak muda bernama Singgih mengatur segala-galanya. Kami menuju Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang. Kami melewati pematang sawah, ladang, serta belantara rumput gajah yang kami terobos dengan semangat militan gerilyawan kebudayaan.
Tanpa rundown acara dan latihan, tiba di candi masing-masing menyiapkan diri. Khoirul Mutaqin, Handoko, Nabila Rivani, Begawan Prabu, Andin, Agus, dan Giyanto ganti pakaian. Nabila dan Andin mengenakan kain. Cantik. Yang lain ada yang melilit diri dengan kain panjang, ada yang memakai topeng, ada yang bertelanjang dada.
Langit mulai semburat terang. Mereka menari di candi diiringi tembang yang dilantunkan Supadi. Gunung Merapi disaput kabut tipis menatap dari belakang. Dalam bahasa medsos: Merapi berstatus Siaga. Dalam bahasa teman-teman gunung: Merapi menyapa, menggugah kesadaran kita. Kami adalah anak-anak gunung.
Andin, sinden yang baru kami kenal dua hari sebelum acara ini, melantunkan tembang Jagad Anyar kang Dumadi (Jagad Baru yang Terjadi). Lirik tembang tersebut ditulis oleh sinden terkenal, Soimah. Dalam keheningan candi suara bening Andin berpadu dengan tembang yang dilantunkan oleh Supadi. Dugaan saya, tanam-tanaman, serangga, burung-burung, dan seluruh penghuni alam baik yang kelihatan maupun tidak kelihatan mengapresiasi paduan suara polyphonic yang subtil ini.
Usai ritual gerak Supadi mengajak berdoa. Dilanjutkan menikmati makanan yang dibawa oleh Begawan Prabu, nasi putih kebul-kebul, sayur mayur dari lahan setempat, dan goreng ikan nila. Minuman hangat air secang menambah segar lahir batin. Terima kasih Mas Begawan.
Komunitas Lima Gunung terbentuk sekitar 20 tahun lalu. Tiap tahun mereka menyelenggarakan Festival Lima Gunung, yang selain melibatkan para anggota komunitas yang jumlahnya ribuan juga didatangi para seniman dan penggiat budaya dari berbagai kota dan negara. Dana festival didapat dari iuran para petani dan seniman desa. Mereka menolak dibiayai pihak lain.
Pengunduran diri Presiden Lima Gunung disambut dengan tertawa-tawa oleh anggota komunitas. Inti Komunitas Lima Gunung adalah pada semangat persaudaraan, bukan pada struktur organisasi yang mereka akui sangat longgar.
Mungkin inilah dunia baru yang menyongsong kita, seperti tembang Jagad Anyar kang Dumadi. Pandemi saat ini memperlihatkan bagaimana struktur fisik apalagi yang besar-besar di ambang rontok, digantikan oleh individuasi dari kebutuhan manusia yang ternyata tidak seberapa. Lightness menggantikan wadak. Ambisi-ambisi besar nyatanya telah menghancurkan dunia.
Andin yang muncul di sekitar Kali Pabelan dan Tringsing tempat lokasi Candi Pendem dengan menyetir mobil sendiri, bilang: kapan saja kalau ada acara seperti ini saya dihubungi ya. Saya akan ikut.
Nanti saya akan WA kamu dik, barangkali untuk ritus yang lain, menyambut tatanan baru yang bakal muncul setelah situasi sekarang ini. Apa pun zamannya kita perlu berterima kasih dan mengembalikan apa yang kita miliki kepada alam melalui masyarakat dan ritus kebudayaan.