Rahasia
Apakah perbuatan yang Anda lakukan di akun media sosial Anda agar orang lain bisa naik kelas? Pintu kesempatan apakah yang Anda buka untuk orang lain? Ataukah Anda masih belum mau membukakan pintu itu?
Saya tengah menyaksikan tayangan di televisi mengenai seorang juru masak yang tengah ditanyai rahasia masakannya yang enak. Sambil tersenyum ia berkata, ”Itu rahasia.”
Membuka pintu
Pada hari Minggu ini, saya ingin bertanya kepada Anda. Seandainya Anda adalah juru masak yang saya ceritakan di atas, apakah Anda akan memberi jawaban yang sama atau malah Anda tak segan-segan akan membeberkan tip dan cara membuat masakan yang tampaknya lezat itu?
Kalau Anda memberi jawaban yang sama dengan juru masak itu, apa kira-kira alasannya? Apakah alasannya klise seperti takut kalau rahasia dibeberkan, maka orang tak akan lagi datang ke rumah makan Anda?
Baca juga: PARODI Memilih
Apakah Anda enggan kehilangan eksklusivitas atas menu itu, karena untuk menemukan cara membuat bumbunya atau teknik memasaknya, Anda telah melakukan berbagai usaha yang cukup lama, dengan percobaan yang tak sedikit dan melelahkan. Apakah begitu?
Nah, kalau Anda yang berada di pihak yang membeberkan tanpa rasa enggan, mengapa Anda melakukan itu? Apa alasannya? Apakah Anda berpikir bahwa kalaupun rahasia dibeberkan, yang namanya rezeki itu sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa, jadi tak perlu takut kalau kemudian rumah makan menjadi sepi dan kehilangan pelanggan.
Apakah Anda berpikir bahwa semakin banyak yang tahu, Anda membantu banyak orang untuk bisa makan enak? Bahkan tak hanya itu, dengan memberi tahu rahasia resep itu, mereka bisa mulai berpikir untuk menerima pesanan dan pada akhirnya menghasilkan pendapatan yang memberi kesejahteraan.
Baca juga: Mengabdi
Saya mengikuti sebuah akun dari seorang juru masak wanita yang mengkhususkan pada masakan padang. Ia sendiri memang orang Padang. Di akunnya ia menceritakan latar belakang setiap masakan yang akan dibuat. Ia membeberkan rahasia memasaknya, bahkan ia menawarkan beberapa program memasak masakan padang.
Saya sungguh kagum dengan konten akunnya itu. Bukan saja saya menjadi tahu soal masakan padang, bahkan tahu cara membuatnya, tetapi lebih kepada ia memanfaatkan media sosial untuk membagikan kepiawaiannya agar orang lain juga dapat melakukan hal yang sama. Tentu, bisa jadi, dari para pengikut setianya dapat mulai berpikir untuk menerima pesanan.
Jadi, ia memanfaatkan teknologi untuk menyejahterakan perut dan pemasukan orang lain. Ia membantu membukakan pintu bernama kesempatan.
Baca juga: Menyesal
Harus rela
Pertanyaan untuk Anda, pembaca budiman. Apakah perbuatan yang Anda lakukan di akun media sosial Anda agar orang lain bisa naik kelas? Baik dalam pengetahuan, baik dalam kesejahteraan batin sampai pada memberi peluang untuk menaikkan pendapatan di tengah kesusahan hidup yang belakangan memorakporandakan kehidupan banyak orang.
Pintu kesempatan apakah yang Anda buka untuk orang lain? Ataukah Anda masih belum mau membukakan pintu itu?
Saya sendiri kalau ditanya, maka saya akan seperti juru masak yang saya ceritakan di atas. Saya tak bisa membayangkan membeberkan rahasia masakan saya untuk orang lain. Saya masih belum siap mental untuk melihat orang lain dengan mudah menerima apa yang saya dapatkan bertahun lamanya, yang saya cari dengan bermacam-macam percobaan demi percobaan.
Baca juga: Reuni
Kemudian nurani saya bersuara nyaring setelah sekian lama tertidur seperti orang yang sedang sengsara karena pandemi ini. ”Nggak papa sih kalau elo mikir-nya gitu. Kalau elo belum siap membukakan kesempatan. Tetapi gini. Elo tuh sekarang bisa mindahin video dari Youtube ke akun media sosial itu gimana caranya? Elo cari tahu, bukan? Dan elo mendapatkan caranya karena ada orang yang berbaik hati melakukan itu sehingga sejuta umat termasuk elo sekarang tahu cara memindahkan video itu. Ya, nggak?”
”Dari mana elo tahu dengan mudahnya cara membuat cash flow, dari mana elo tahu istilah ini dan itu, dari mana elo tahu cara menghitung depresiasi, dari mana elo tahu sekarang dollar naik atau turun, dari mana elo tahu alamat rumah makan atau kantor yang elo butuhkan, dari mana elo tahu ada bakmi paling enak di Jakarta atau steak di New York?”
Baca juga: Penemuan Diri
”Elo mungkin akan gampang akan mengatakan dari search engine. Betul jawaban elo itu. Nah, kalau sekarang ada search engine tapi nggak ada manusia di dunia ini yang mau masukin informasi tentang cara-cara atau informasi seperti yang di atas, yang elo butuhkan dan elo bisa akses sedemikian mudahnya, emang elo mau nyari sendiri?”
Kemudian saya terdiam. Dan nurani itu terus menggonggong tidak henti seolah ingin menghajar saya mati-matian. ”Orang tuh ya, kagak boleh mikirin dirinya sendiri. Orang tuh kalau rela ngasih, nggak bakalan miskin. Kalau elo mau kaya, elo harus rela nolongin orang, elo harus rela memberi, bukan melulu menyimpan. Rela itu harus dilatih, bukan cuma dicita-citakan.”
”Mulai sekarang coba otaknya dipakai buat kebaikan. Mulai aja dengan dikit-dikit dulu. Orang kalau kikir kayak elo, nggak bakalan bisa langsung rela bantuin orang. Harus latihan pelan-pelan. Mau masuk surga seperti cita-cita elo itu, harus dimulai dengan melatih kerelaan untuk melangkah dengan langkah yang kecil dulu. Elo tuh emang kagak ada otaknya. Mau masuk surga, tapi kikir jalan terus. Itu filosofi macam apa?”