Warisan Pemulihan Ekonomi Trump
Isu ke depan yang dihadapi Indonesia bukanlah pada kemampuan teknokratis untuk membuat rancangan kebijakan, tetapi pada kemampuan untuk mengeksekusi kebijakan.

Presiden AS Donald Trump mengatur posisi pelantang saat akan menyampaikan pidato penerimaannya sebagai calon presiden dari Partai Republik pada hari terakhir Konvensi Nasional Partai Republik di Halaman Selatan Gedung Putih, Washington, AS, Kamis (27/8/2020).AP Photo/Alex Brandon
Beberapa waktu sebelum hari pemilihan umum, Presiden AS Donald Trump mengumumkan perekonomian negeri itu mengalami perbaikan substansial di kuartal ketiga. Tercatat ada peningkatan sebesar 33,1 persen dibandingkan dengan kuartal kedua. Disebutkan sebagai perubahan substansial karena dari kuartal pertama ke kuartal kedua, perekonomian AS mengalami penyusutan atau minus 31,4 persen sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Sinyal perbaikan
Tentu saja klaim prestasi Trump ini tidak mudah diterima begitu saja oleh para pengecamnya. Menurut para pengkritiknya, data yang disajikan oleh Trump merupakan penyampaian informasi sepihak saja. Disebut sebagai data yang dipilih sekenanya atau cherry picking, biasanya ditemukan dalam pernyataan verbal sebagian besar politisi.
Data ekonomi yang disampaikan hanya menunjukkan perubahan dari kuartal kedua ke kuartal ketiga. Karena itu, data kuartalan yang dikutip Trump tak menggambarkan dinamika secara tahunan. Hal ini dilakukan secara sengaja oleh Trump untuk dapat dukungan elektoral menjelang hari pemilihan.
Memang jika diukur secara tahunan (bukan dari kuartal ke kuartal), perekonomian AS sebenarnya masih mengalami pertumbuhan negatif sekitar 2,9 persen. Secara teknis itu berarti perekonomian AS telah memasuki masa resesi. Selama dua kuartal berturut-turut perekonomian negara itu mengalami pertumbuhan negatif, di mana sebelumnya pada kuartal kedua tahun ini terkontraksi minus 9 persen.
Hal ini dilakukan secara sengaja oleh Trump untuk dapat dukungan elektoral menjelang hari pemilihan.
Di luar tudingan penyorotan data yang cherry picking ini, sukar untuk dibantah adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi AS pada kuartal ketiga. Sebab, hampir semua komponen PDB AS mengalami pertumbuhan pesat dari kuartal kedua ke kuartal ketiga. Investasi, misalnya, tumbuh 83 persen, impor tumbuh 91,1 persen, konsumsi dan ekspor juga meningkat masing-masing 40,7 persen dan 59,7 persen.
Apa sebenarnya yang telah dilakukan Trump? Mengapa terjadi perubahan cukup substansial di kuartal ketiga dibandingkan kuartal sebelumnya?
Ada tiga sebab yang bisa menjelaskan munculnya sinyal pemulihan ini. Sebab pertama terkait dengan konsensus politik. Semua aktor politik di AS tampak sepakat untuk segera meluncurkan dan memberikan tanggapan kebijakan yang cepat.
Pada krisis ekonomi sebelumnya, terutama pada 2008, konsensus politik yang cepat seperti ini tidak muncul cukup kuat. Ketika itu terdapat pelaku dan sektor ekonomi yang bisa disalahkan, yaitu sektor keuangan sehingga menciptakan kontroversi dan debat politik yang cukup panjang di Kongres.
Namun, kali ini, penyebab krisis ekonomi bukan berasal dari kelalaian institusi-institusi ekonomi. Kesadaran dan konsensus politik inilah yang menjadi modal dasar untuk meluncurkan rancangan kebijakan (policy design) untuk melakukan intervensi.

Para trader bekerja di lantai New York Stock Exchange di New York, Amerika Serikat, Senin (16/3/2020). Indeks-indeks saham global anjlok meski bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, telah menurunkan suku bunga ke nol persen.
Sebab kedua terkait dengan besaran intervensi fiskal. Identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa besaran paket stimulus yang telah diluncurkan dari intervensi fiskal ini luar biasa, mencapai 2,5 triliun dollar AS. Paket stimulus ini terdiri dari tiga skema program besar, yaitu Response Supplement Appropriation Act, Families First Coronavirus Response Act, dan Coronavirus Aid, Relief and Economic Security Act.
Menarik mencatat bahwa seluruh paket stimulus senilai total 2,5 triliun dollar AS itu secara konkret telah dapat dicairkan pada Maret 2020. Dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, besaran dana paket stimulus Trump ini memang sangat monumental.
Pada masa Bush (2008), Economic Stimulus Act hanya 152 miliar dollar AS. Pada masa Obama, kebijakan stimulus melalui American Recovery and Reinvestment Act mencapai 787 miliar dollar AS, ditambah 700 miliar dollar AS yang dikeluarkan melalui Troubled Asset Relief Program (TARP). Besaran dana paket stimulus ini juga menyiratkan adanya kecemasan serius di antara pembuat kebijakan kunci di AS tentang dampak ekonomi dari pandemi Covid-19.
Kecemasan ini beralasan mengingat belum pernah selama 14 tahun terakhir ekonomi AS mengalami penyusutan drastis pada kuartal pertama hingga lebih dari 30 persen. Pada masa krisis keuangan global 2008, titik terdalam penyusutannya hanya sekitar 8 persen.
Dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, besaran dana paket stimulus Trump ini memang sangat monumental.
Sebab ketiga, terkait dengan kelembagaan. Keseluruhan skema dan aneka program stimulus yang diberikan tidak menghadapi kendala kelembagaan dalam penyalurannya. Program stimulus untuk mengatasi kejutan di sisi permintaan, misalnya, tersalurkan melalui mekanisme pengiriman tunai (cash transfer) yang secara populer dikenal dengan helicopter money.
Pemberian langsung juga diberikan melalui mekanisme asuransi pengangguran, yang diberikan secara langsung selama empat bulan. Hal ini tak berarti intervensi diberikan hanya untuk mengatasi kejutan di sisi permintaan. Skema bantuan langsung juga diberikan untuk mengatasi kejutan di sisi penawaran melalui skema bantuan pinjaman dan hibah (grant), baik untuk korporasi maupun untuk usaha kecil dan menegah.
Tiga hal penting di atas, yaitu konsensus politik, intervensi fiskal untuk stimulus dan dukungan kelembagaan menjadi kata kunci untuk mengatasi dampak ekonomi dari Covid-19 ini di AS. Ketiganya mungkin bisa menjelaskan, mengapa terjadi perubahan secara cepat dari kuartal kedua ke kuartal ketiga di AS. Mata rantai dari ketiga penyebab ini yang menjelaskan, mengapa komponen-komponen PDB di AS—baik di sisi konsumsi, investasi, maupun ekspor— mengalami peningkatan cukup pesat dari kuartal kedua ke ketiga.
Berbagi rasa sakit
Pelajaran atau catatan refleksi apa yang dapat dipetik? Membandingkan Indonesia dengan AS mungkin tidak tepat dan mengada-ada. Perbandingan besaran PDB atau ukuran ekonomi kedua negara sangatlah berbeda.
Meskipun demikian, ada dua alasan sederhana mengapa catatan refleksi ini perlu dibuat.

Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas membahas laporan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang digelar secara virtual, Senin (28/9/2020).
Pertama, terdapat kemiripan antara keduanya. Sebagai contoh, pada kontribusi konsumsi. Komponen ini menyumbang porsi terbesar di kedua negara. Jika di Indonesia porsinya 54-58 persen, konsumsi AS ada di kisaran 67-69 persen. Kemudian, komponen investasi juga penyumbang terbesar kedua di kedua negara, yaitu 30 persen di Indonesia dan 16-17 persen untuk AS.
Di sisi ekspor dan impor, kedua negara juga memiliki kemiripan dalam persentasenya terhadap PDB, di mana Indonesia porsinya 23-24 persen dan AS 12-16 persen. Dengan catatan, impor Indonesia yang lebih besar disebabkan oleh jatuhnya harga komoditas.
Kedua, semua rancangan kebijakan dalam masa krisis bersifat universal. Pada dasarnya rancangan tersebut dibuat untuk berbagi rasa sakit (pain sharing). Intervensi fiskal adalah bagian dari resep kebijakan untuk membagi rasa sakit itu. Intinya, membantu masyarakat yang paling terdampak ketika terjadi krisis ekonomi.
Sebagian besar lembaga keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), juga menawarkan resep kebijakan intervensi itu kepada negara anggotanya. Indonesia juga tidak ketinggalan. Indonesia telah meluncurkan rancangan kebijakan untuk berbagi rasa sakit itu dengan kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat kemiripan dengan AS.
Identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat kemiripan dengan AS. Terdapat konsensus politik yang kuat di tataran elite di Indonesia untuk berbagi rasa sakit itu dengan segera melakukan rancangan kebijakan untuk intervensi fiskal.
PP PEN, yang dijadikan sebagai arsitektur untuk meluncurkan intervensi kebijakan berbagi rasa sakit itu, telah dibuat secara cepat. Hampir tanpa resistensi politik. Suatu prestasi luar biasa. Batasan defisit anggaran, yang sebelumnya 3 persen dari PDB, telah ditiadakan hingga 2022. Tidak akan ada lagi diskusi bertele-tele di proses legislasi anggaran untuk melakukan intervensi fiskal menghadapi dampak pandemi itu.
Dilihat dari sebab kedua, yaitu besaran intervensi fiskal yang dilakukan, dapat dibandingkan besarannya secara proporsional dengan ukuran ekonomi masing-masing. Rancangan kebijakan intervensi fiskal yang dikeluarkan jumlahnya juga cukup impresif. Indonesia sebenarnya tak terlalu jauh ketinggalan dari negara maju jika menggunakan rasio besaran intervensi dengan PDB.
Kajian yang dilakukan Albert Cavallo dan timnya (2020) menegaskan hal ini. Besaran intervensi fiskal Indonesia sesungguhnya berada di atas rerata negara berkembang. Jika intervensi rerata negara berkembang berada pada angka 3,64 persen terhadap PDB, Indonesia berada pada rerata rasio 4,05 persen. Sementara, rata-rata intervensi fiskal AS dan negara maju adalah sebesar 12,42 dan 6,66 persen.

Kendaraan melintasi proyek Jalan Tol Cimanggis-Cibitung di kawasan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu (6/9/2020). Jalan tol Cibitung-Cilincing sepanjang 34 kilometer dan Cimanggis-Cibitung sepanjang 25,21 kilometer merupakan bagian dari Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) 2. Pembangunan jalan tol Cimanggis-Cibitung ini membutuhkan 2.189 bidang tanah dengan luas total 1.522.722 meter persegi. Akselerasi proyek-proyek strategis nasional menjadi salah satu cara untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Problem eksekusi
Tampaknya yang problematik bukan pada rancangan kebijakan, melainkan pada eksekusi kebijakannya (policy execution). Kelembagaan untuk mengeksekusi kebijakan masih menunjukkan persoalan serius. Hal itu terlihat dari daya serap anggaran PEN yang masih belum berjalan dalam proses yang cepat dan optimal.
Dari analisis secara cepat dan ringkas terhadap laporan BPS per 5 November 2020, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dari kuartal kedua ke kuartal ketiga lebih ditopang oleh konsumsi pemerintah yang tumbuh 16,93 persen dibandingkan dengan kuartal lalu atau 9 persen dibandingkankan dengan periode yang sama tahun lalu.
Hal ini terjadi karena sebagian stimulus itu dianggarkan melalui kementerian sebelum disalurkan ke masyarakat. Proses ini menyebabkan terdapat gap atau rentang waktu yang cukup lama untuk memacu konsumsi di tataran masyarakat sehingga konsumsi masyarakat hanya tumbuh 4,7 persen, yang berarti tidak berhasil mengikuti dorongan percepatan dari konsumsi pemerintah.
Menarik mencatat juga bahwa anggaran yang dialokasikan untuk korporasi belum terserap sama sekali hingga Oktober lalu. Ringkasnya, isu ke depan yang dihadapi Indonesia bukanlah pada kemampuan teknokratis untuk membuat rancangan kebijakan, tetapi pada kemampuan untuk mengeksekusi kebijakan. Tantangan klasik yang harus dicarikan solusi, baik secara teknokratik maupun secara politik sehingga tak jadi mata rantai yang hilang dalam seluruh proses bisnis eksekusi kebijakan itu.
(Makmur Keliat Pengajar Ekonomi Politik Internasional, FISIP, Universitas Indonesia)