Tragedi Semanggi dan Janji Kampanye
Di Indonesia, masalah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tidak bergerak. Isu hak asasi manusia masih menjadi komoditas politik.
Jangan
Kita dari akar yang sama
Dari pohon sejarah yang satu
Kita dari bangsa yang sama
Dari kemanusiaan yang satu
Maka jangan berucap dengan peluru
Jangan bergumam dengan dentuman
Jangan berkata lewat batu
Jangan sampaikan lewat pentungan
utarakan dengan mawar
dengan bijak tingkah lembut merdu
utarakan dengan sabar
asal dari nurani yang satu
(Jakarta, 13 November 1998
Sutardji Calzoum Bachri)
Puisi Sutardji terpampang di halaman muka kiri atas Kompas, 14 November 1998, 22 tahun lalu. Puisi itu tampak mencolok. Latar belakang hitam dengan huruf putih. Boleh jadi puisi Sutardji merupakan ekspresi penyair atas kemampatan politik Ibu Kota yang penuh dengan kekerasan. Kekerasan terjadi di mana-mana berbarengan dengan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR, 10-13 November 1998. Kekerasan juga masih terjadi sampai sekarang.
Berita utama Kompas itu sendiri berjudul, ”Tragedi di Akhir SI MPR–Lima Mahasiswa Tewas, 253 Luka-luka”, dengan foto utama tiga panser dihadang rakyat. Para pengunjuk rasa menolak Sidang Istimewa MPR pada 10-13 November 1998. Harian ini melaporkan secara deskriptif, ”penembakan bertubi-tubi oleh aparat militer berlangsung pada saat penutupan Sidang Istimewa MPR, Jumat malam.
Rangkaian penembakan membabi buta berlangsung sejak 15.40 WIB sampai tengah malam. Darah berceceran di kawasan Semanggi, yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer, dari tempat wakil rakyat bersidang”.
Tragedi Semanggi, demikian peristiwa itu diingat publik. Setiap Kamis, ibu-ibu keluarga korban pelanggaran HAM melakukan Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta. Mereka menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Sumarsih, ibu dari BR Norma Irawan, salah seorang mahasiswa yang ditembak di kawasan Semanggi November 1998, konsisten menggelar Aksi Kamisan hingga ke-656. Namun, saat pandemi, mereka melakukan aksi #DiRumahAjaDulu. ”Aksi Kamisan jalan terus. Selama wabah virus korona, tidak berdiri diam di depan Istana, tetapi surat kepada Presiden tetap dikirim,” tulis Sumarsih.
Aksi Kamisan terinspirasi perjuangan ibu-ibu dari Plaza de Mayo (Madres de la plaza di Mayo) di Buenos Aires, Argentina. Ibu-ibu berkumpul untuk memprotes anak-anak mereka yang menjadi sasaran penghilangan paksa oleh militer Argentina semasa dirty war. Gerakan para ibu di Plaza de Mayo terus mengingatkan publik bahwa ada kejahatan hak asasi manusia yang belum terselesaikan.
Afrika Selatan dengan tokoh Nelson Mandela serta Uskup Desmond Tutu berhasil menyelesaikan masa lalu mereka di masa rezim apartheid. Afrika Selatan menjadi negara contoh bagaimana Nelson Mandela menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu untuk menatap masa depan.
Di Indonesia, masalah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tidak bergerak. Isu hak asasi manusia masih menjadi komoditas politik. Sejak jatuhnya kekuasaan Orde Baru, Presiden BJ Habibie, Presiden KH Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo belum berhasil menyelesaikan problem pelanggaran HAM masa lalu dengan berpihak kepada korban.
Baca juga: Keluarga Korban Tragedi Semanggi I dan II Sesalkan Pernyataan Jaksa Agung
Sementara di level elite, ”rekonsiliasi” dilakukan. Elite yang patut diduga terkait problem hak asasi manusia masa lalu justru mendapatkan pos-pos politik bergengsi. Sementara keluarga korban tetap meratapi kesedihan jadi korban ketidakadilan.
Boleh jadi, penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia mengikuti saran Samuel P Huntington dalam buku Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century. Samuel memberikan advis. ”Boleh jadi langkah yang paling rendah tingkat ketidakpuasannya adalah jangan mengajukan ke pengadilan, jangan menghukum, jangan memaafkan, dan yang terpenting, jangan melupakan.”
Pola Huntington dengan segala variasi itulah yang sedang dijalani Indonesia. Ada tuntutan ke pengadilan, tetapi tidak ada yang dihukum karena hakim membebaskan. Tidak ada yang memberi maaf, tetapi juga tidak ada yang mau melupakan kisah gelap pelanggaran HAM masa lalu.
Sejumlah pengadilan HAM Ad hoc digelar, tetapi tak ada terdakwa yang dihukum. Dalam kasus Semanggi 1998, perkara itu mondar-mandir di Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, tanpa ada arahan.
Baca juga: 20 Tahun Tragedi Semanggi
Mengutip buku klasik soal transisi demokrasi yang ditulis Guillermo O Donnell dan Philippe Schmitter, pengungkapan kebenaran masa lalu adalah masalah pelik. Demokratisasi adalah proses menuju lorong ketidakpastian.
Tak ada jaminan proses transisi betul-betul mengarah pada demokrasi atau terjebak dalam sebuah gray area-menurut istilah Thomas Carothers, peneliti dari Carnegie Endowment for International Peace. Gray area dimaknai bahwa proses transisi demokrasi mandek. Otoriter tidak, demokratis juga tidak. Atau, kelihatan demokratis, tetapi berwatak otoriter.
Kemunculan Presiden Jokowi adalah harapan. Dia tak punya beban masa lalu. Dia bersih dari berbagai kasus HAM masa lalu. Dengan kekuatan mayoritas yang ada di tangannya yang terbukti efektif mengegolkan revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja, harusnya Presiden Jokowi mampu melunasi janji kampanyenya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang daftarnya ada di Nawacita.
Bisa dengan kompensasi, restitusi, bisa dengan pengadilan. Terlebih lagi tokoh pejuang demokrasi dan pejuang HAM berada di sekitar Presiden dan di Kantor Staf Kepresidenan.
Jika itu dilakukan, Presiden Jokowi akan tercatat sebagai presiden yang melepaskan bangsa ini dari beban masa lalu. Dan kultur kekerasan diakhiri. Apakah bisa? Bisa….