Pneumonia menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan di dunia. Pemerintah Indonesia berkomitmen mencegah dan mengendalikan pneumonia. Pelaksanaan di lapangan dan kepedulian masyarakat menjadi penting.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Indonesia telah “naik kelas” menjadi negara dengan kategori pembangunan manusia yang tinggi dalam hal kesehatan, akses pendidikan, dan standar hidup layak. Dalam laporan Program Pembangunan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun 2019 Indonesia berada di peringkat 111 dari 189 negara dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 0,707.
Namun, hingga kini masalah pneumonia pada anak belum juga selesai. Badan PBB untuk Anak-Anak (Unicef) memperkirakan, tahun 2018 ada 19.000 balita meninggal karena radang paru akut di Indonesia. Sementara di dunia, pneumonia merenggut nyawa lebih dari 800.000 anak balita setiap tahun.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (2019), terdapat 153.987 kasus pneumonia pada bayi (usia di bawah satu tahun) dan 314.455 kasus pada anak usia satu sampai lima tahun. Jumlah kematian anak akibat penyakit ini 550 kasus. Tahun ini, tercatat 443 anak meninggal karena pneumonia. Jumlah kematian bisa lebih besar, mengingat pencatatan di Indonesia belum sempurna.
Penurunan angka kematian bayi dan balita menjadi penting dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Salah satunya menurunkan angka kematian anak pada 2030.
Faktor risiko pneumonia antara lain gizi buruk, rendahnya pemberian ASI eksklusif, pemberian imunisasi tidak lengkap, kekurangan vitamin A, bayi dengan berat badan lahir rendah, dan faktor lingkungan seperti polusi udara. Hal itu melemahkan daya tahan tubuh bayi dan balita sehingga rentan terkena pneumonia.
Pneumonia dapat dicegah dengan imunisasi dan beberapa upaya lain yang hemat biaya serta dapat diobati dengan antibiotik berbiaya murah.
Di masa pandemi, pneumonia sebagai penyakit penyerta dapat meningkatkan jumlah anak yang tertular dan meninggal akibat Covid-19 di Indonesia. Hal ini memprihatinkan, karena pneumonia dapat dicegah dengan imunisasi dan beberapa upaya lain yang hemat biaya serta dapat diobati dengan antibiotik berbiaya murah.
Komitmen pemerintah
Pada Global Forum on Childhood Pneumonia, 29-31 Januari 2020, Pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen tinggi terkait upaya nasional untuk program pencegahan dan pengendalian pneumonia. Beberapa jenis vaksin yang dapat mencegah pneumonia ditambahkan ke program imunisasi rutin nasional secara bertahap. Yakni, vaksin Campak (1982), vaksin Haemophilus influenza tipe b (2013) dan vaksin Pneumococcus Conjugated Vaccine (PCV) yang dilakukan bertahap. Pemberian PCV dimulai di Lombok tahun 2017 dan akan mencakup seluruh Indonesia pada 2024. Targetnya, angka kematian akibat pneumonia turun menjadi kurang dari 3 per 1.000 anak balita pada 2025.
Tantangan bagi Indonesia adalah penurunan cakupan imunisasi, selain masalah sarana dan prasarana juga akibat tentangan dari kelompok masyarakat antivaksin. Hal itu terlihat dari rendahnya cakupan imunisasi dasar di Indonesia termasuk campak yang hanya 57,9 persen secara nasional. Selain itu, prevalensi stunting anak Indonesia masih 27,67 persen, gizi kurang 16,29 persen (Survei Status Gizi Balita Indonesia 2019), ASI eksklusif hanya 54 persen, bayi dengan berat badan lahir rendah masih 10,2 persen, serta tingginya paparan polusi udara di ruang tertutup, terutama karena asap rokok.
Untuk itu, kebijakan yang sudah ada seyogianya diikuti pemantauan dan evaluasi pelaksanaan di lapangan secara serius untuk memastikan program tercapai dan faktor risiko pneumonia ditanggulangi.