Gending Masa Depan Rahayu Supanggah
Semasa sekolah, Rahayu Supanggah belum menyukai gamelan. Sampai suatu kali, tokoh sekelas Martopangrawit memuji permainannya. Mulailah ia termotivasi. Kelak, ia ikut menjadikan gamelan bicara di pentas internasional.
”Saya adalah orang Jawa yang sekarang, Jawa yang mengindonesia, Jawa yang mendunia. Kami membuat karya itu kontemporer,” kata Rahayu Supanggah dalam sebuah perbincangan.
Maestro karawitan itu meninggal di Solo, 10 November 2020, dalam usia 71 tahun. Supanggah ikut menjadikan gamelan diterima dan bicara di pentas internasional.
Ucapan Rahayu Supanggah di atas disampaikan pada acara Bukan Musik Biasa di Solo tahun 2014. Ia mengutarakan pernyataan tersebut untuk menanggapi pengibaratan seni tradisi sebagai ”kasur tua” yang harus dibuang. Lewat karya-karyanya, Supanggah membuktikan bahwa gamelan bisa berada di garis depan musik modern.
Suatu hari di London, Inggris, Rahayu Supanggah menitikkan air mata. Ia tak mampu menahan haru ketika orang-orang Inggris dengan fasih memainkan gending ”Ayak-ayakan Pamungkas”. Itu terjadi September 2017 di School of Oriental and African Studies (SOAS), London.
Ketika itu Supanggah sebagai komposer film Setan Jawa. Filmkarya Garin Nugroho ini hadir di London dan Glasgow untuk pemutaran dan lokakarya pada 7-15 September 2017. Para peserta antara lain warga Inggris yang pernah belajar gamelan di Solo. Mereka dulunya mahasiswa Supanggah di Institut Seni Indonesia, Surakarta, para pangrawit atau pemain gamelan dan penggerong atau penyanyi pria yang fasih menembang dalam bahasa Jawa.
Gending ”Ayak-ayakan Pamungkas” bermuatan harapan agar bangsa Indonesia hidup rukun dan damai. Supanggah terharu, bangga, dan bersyukur bahwa gamelan bisa diterima dan dicintai oleh orang di luar Indonesia. Ia teringat semasa remaja tidak berminat belajar gamelan. Ketika itu gamelan baginya tidak dapat menjadi andalan hidup.
Sebagai anak dalang di Desa Klego, Boyolali, Jawa Tengah, setiap hari ia mendengarkan gamelan. Terlebih ayahnya, Ki Gondosaroyo, mempunyai banyak murid yang belajar pedalangan dan gamelan di rumahnya. Akan tetapi, ia sama sekali belum tertarik belajar gamelan, karena dalam pendapatnya gamelan tidak menjanjikan masa depan.
”Saya dulu tidak mau menjadi pemain gamelan. Main gamelan opo arep dadi kere (apa mau hidup miskin). Sekarang gamelan dimainkan di mana-mana,” kata Supanggah dalam perbincangan di London.
Ketika harus melanjutkan sekolah, Supanggah ”terpaksa” memilih Konservatori Karawitan Indonesia atau Kokar di Solo pada 1964. Kata ”terpaksa” digunakan Supanggah karena alasan biaya pendidikan di Kokar yang murah. Fasilitas belajar pun disediakan oleh Kokar.
Baca juga: Pahlawan, di Mana Lagumu Kini?
Pada awalnya, semasa sekolah belum menyukai gamelan. Sampai pada suatu kali, seorang tokoh sekelas Martopangrawit, memuji kemampuannya. Ketika itulah ia termotivasi belajar gamelan.
Alkisah pada suatu latihan untuk persiapan pergelaran, ada seorang pemain yang tidak hadir. Supanggah yang tidak masuk dalam daftar pemain memberanikan diri duduk di posisi pemain gong. Ketika itulah kemampuan dan kepekaan musikalnya terbaca.
Dalam pendapat Supanggah, mungkin sejak dalam kandungan ia telah belajar gamelan. Ia hidup dalam lingkungan karawitan karena ayah, pamannya, hingga kakek leluhurnya adalah dalang. Setiap hari mereka bergumul dengan gamelan.
Pujian Martopangarawit itu mengubah pandangan Supanggah tentang gamelan. Terlebih setelah dia sering diikutsertakan dalam misi kebudayaan Indonesia. Di usia remaja, pada era 1960-an, ia mengikuti lawatan budaya, antara lain ke Jepang, Korea, dan China. Ketika itulah ia yakin bahwa gamelan bisa menjadi masa depan dan bicara di forum musik dunia.
Modern itu sikap
Sejak muhibah ke sejumlah negara tersebut, wawasan Supanggah makin melebar. Ia yakin dengan gamelan mampu membuat karya kontemporer. Sejak era 1960-an, Supanggah sudah termasuk salah seorang musisi yang disebut new music. Dia termasuk generasi awal musik kontemporer Indonesia.
Karya Supanggah dalam Setan Jawa bisa dikatakan sebagai new music. Apapun sebutannya, musik Supanggah tetap berakar kuat dari budaya musik gamelan atau karawitan. Setan Jawa sebagai film ”bisu” diputar menggunakan musik live karya Rahayu Supanggah. Gamelan dimainkan bersamaan dengan narasi cerita di layar.
Apa yang dilakukan Supanggah dengan new music atau musik kontemporer itu di masa lalu pernah dianggap sebagai ”merusak” tradisi. Supanggah sendiri yang tumbuh dari karawitan, tidak pernah merasa ”merusak” apa pun dari musik yang ia akrabi dan cintai itu.
Baca juga: Rindu Ini, Artefak Tercecer dari Chrisye
Ia tumbuh dengan apa yang orang Barat sebut sebagai Javanese music. Ketika pergaulannya meluas, wawasannya melebar, dan pemikirannya berkembang, maka musiknya pun mengikuti pertumbuhan dan kematangannya.
Meski demikian, ia tidak pernah meninggalkan ”tradisi” yang membesarkannya. Bagaimanapun, ia lahir dan tumbuh dalam tradisi gamelan. Dalam istilahnya, tradisi tetap menjadi ”roh” Supanggah dalam berkesenian.
Ia juga tidak berpretensi untuk mengubah orientasi karyanya ke ”Barat” agar terkesan modern. Pada berbagai kesempatan, Supanggah mengoreksi adanya anggapan yang mengatakan bahwa musik moden adalah musik yang menggunakan alat musik Barat.
Bagi Doktor lulusan Universitas Sorbonne ini, musik modern itu musik yang selalu mencari adanya kebaruan. Musik yang terus-menerus menggali dan mengembangkan ide-ide baru. Modern baginya adalah sikap.
Dengan sikap tersebut, Supanggah bisa bekerjasama dan bekerja bersama dengan seniman lintas kebangsaan. Ia bersama komposer asal Jepang, Toshi Tsuchitori, menggarap musik pentas Mahabharata karya Peter Brook di Paris pada 1985.
Bersama sutradara Robert Wilson, ia menjadi komposer I La Galigo di New York tahun 2001 dilanjutkan dengan pentas ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Bersama sutradara Singapura Ong Keng Sen, ia mengerjakan musik pentas King Lear.
Baca juga: Oleh-oleh Rasa dari Indonesia
Supanggah juga bekerja sama dengan The Kronos Quartet, kwartet gesek dari San Francisco, AS. Satu hal yang dipegang saat berkolaborasi dengan siapapun, Supanggah menjaga benar agar jangan sampai kehilangan identitas musik. Roh karawitan harus tetap hadir.
Next generation
Bagi Supanggah, gamelan bisa diajak mengembara ke mana saja, meski wilayah kulturalnya berbeda. Ia menyadari benar bahwa musik Barat lahir dari tradisi yang berbeda. Akan tetapi, perbedaan latar itu bukan menjadi hambatan untuk kolaborasi.
Supanggah memberi contoh, musik Barat tumbuh dalam tradisi tulis, sedangkan musik Jawa tumbuh dalam tradisi lisan. Musik Barat cenderung individual, adapun musik gamelan cenderung menghadirkan kebersamaan, komunal.
Hal ini diakui oleh Jonathan Roberts, warga Inggris yang menjadi murid Supanggah di ISI Surakarta, yang kini menjadi pelatih gamelan di London. Jonathan merasakan, dalam karawitan terdapat kehidupan sosial (social life). Gamelan menciptakan komunitas yang membuat akrab dan rukun.
Dalam komunitas gamelan, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam kelompok paduan suara ataupun orkes yang pernah ditekuninya. Di Barat, orang diberi kertas partitur dan ia akan berkonsentrasi pada kertas serta pengaba.
Jonathan menggambarkan, antara musisi dan konduktor ada tali. Lantas, ada beberapa orang lain yang juga ditali ke konduktor. Di gamelan, para pemain harus ditali ”ke mana-mana”, setiap pemain dalam karawitan terhubung satu sama lain.
Perbedaan lain, gamelan menganut tradisi oral. Tidak ada panduan yang rigid dari karya sang klomposer. Komposisi bersifat terbuka untuk penafsiran, dan itu tergantung pada tempat, fungsi, dan siapa yang memainkan. Kelenturan garap inilah menurut Supanggah, yang menjadikan karawitan hidup dari waktu ke waktu, melintas zaman, dan tidak mandeg.
Dalam bahasa Alec Roth, komposer dan pakar musik Timur-Barat, musik akan bertahan jika terhubung dengan generasi mendatang, next generation. Kreativitas menuntut adanya karya baru. Menurut Roth, yang memperkenalkan gamelan di Inggris, tidak ada inovasi tanpa tradisi. Tak ada tradisi tanpa inovasi.
Supanggah telah melakukan berbagai inovasi dengan bertumpu kuat pada tradisi. Dari sana ia menghubungkan gamelan dengan generasi mendatang. Dan kini, murid-muridnya akan dan sedang melanjutkannya kepada generasi mendatang....