Vaksinasi Covid-19
Sosialisasi vaksin Covid-19 perlu membawa masyarakat tiba pada pemahaman, memperkuat keniscayaan masyarakat, bukan menjadi bingung dan kurang percaya lagi. Vaksin Covid-19 laik diterima.
Presiden Joko Widodo mengingatkan, vaksinasi Covid-19 tidak tergesa-gesa. Melihat kedaruratan Covid-19 di lapangan, sebetulnya program vaksinasi Covid-19 apa perlu bersegera, dan tidak menunda?
Ada yang minta menunggu sampai uji klinis tahap akhir selesai dulu, memastikan vaksin betul aman mulai dipakai massal. Uji klinis tahap akhir dimaksudkan untuk melihat dengan sampel lebih banyak apa muncul efek buruk vaksin. Ada juga yang minta masyarakat perlu disiapkan dulu supaya semua bersedia menerima.
Keduanya sama perlunya, apalagi kalau benar sinyalemen ada korban meninggal sehabis divaksinasi produk AZ, yang vaksinnya termasuk yang kita pesan. Diberitakan, kita membatalkan pemesanan vaksin dari farmasi tersebut karena alasan pihak farmasi tidak mau memikul tanggung jawab terhadap pemakaian vaksinnya. Fakta ini menambah alasan kita perlu lebih cermat memulai vaksinasi.
Di mata epidemiologis, vaksinasi Covid-19 upaya lain pemutus rantai penularan, mendampingi upaya protokol kesehatan. Keduanya mempercepat grafik kasus baru jadi melandai. Upaya ini penting mengingat setiap hadir satu kasus baru, yang secara eksponensial memunculkan sekian banyak kasus baru (Ro), kendala penyelesaian Covid-19.
Di mata epidemiologis, vaksinasi Covid-19 upaya lain pemutus rantai penularan, mendampingi upaya protokol kesehatan.
Persepsi risiko
Kerisauan Presiden Jokowi beralasan melihat tingkat penerimaan dunia (beberapa negara yang sudah melaksanakan vaksinasi) terhadap vaksinasi Covid-19 berkisar 70 persen. Indonesia diprediksi lebih rendah lagi. Belum dihitung bila benar pengamatan yang menemukan 44 juta masyarakat kita tidak percaya Covid-19 hadir.
Ditambah kemunculan lebih 200 hoaks di masyarakat dalam delapan pekan sejak Covid-19 muncul. Ragam disinformasi dan misinformasi Covid-19 meramaikan seliweran infodemi. Dampak sosial infodemi menambah bingung masyarakat, kurang percaya pada isu Covid-19, dan ini bisa menjadi kendala vaksinasi.
Setelah vaksinasi, bukan berarti protokol kesehatan tidak lagi berguna. Vaksinasi benteng kedua apabila protokol kesehatan dijebol. Namun, oleh karena perlindungan vaksinasi belum tentu seratus persen, masih ada celah masyarakat tertular, pihak epidemiologi masih menilai protokol kesehatan setelah vaksinasi, perlu dipertahankan.
Seiring dimulainya program vaksinasi Covid-19, pemahaman masyarakat apa-siapa Covid-19 yang selama ini bolong-bolong boleh jadi itu sebab masyarakat memakai masker hanya karena takut dihukum. Masker dipakai hanya kalau ada petugas. Juga bila abai soal jaga jarak, dan mencuci tangan. Saatnya memberi tahu masyarakat, misal, kendati cuma sejenak melepas masker di ruang pubik, hal itu punya arti berisiko tertular Covid-19.
Kejadian tertular Covid-19 pada grup gowes, jogging, dan tenaga kesehatan yang sudah mematuhi protokol kesehatan, contoh kasusnya. Mungkin tidak menduga, saat masker dilepas sewaktu beristirahat, mengobrol, dan makan-makan bersama, penularan Covid berpotensi terjadi. Dan, nyatanya betul terjadi. Banyak masyarakat belum menyadari ini.
Belum semua masyarakat tahu juga, Covid-19 tidak cuma ditularkan lewat percikan liur atau droplet semata, sebagaimana di awal Covid-19 berjangkit di Wuhan. Belakangan kedapatan, Covid-19 bisa berterbangan di udara terbawa partikel aerosol, serbuk lebih renik dari droplet, yang bisa lebih 10 meter tersembur dari mulut dan hidung pembawa Covid-19 bila tak bermasker, dan Covid-19 masih beredar beberapa jam di udara ruangan tertutup.
Belum semua masyarakat tahu juga bahwa AC di ruangan tertutup menambah besar potensi penularan. Itu, maka, berada di restoran, tempat ibadah, tempat gym, gedung bioskop, dan ruangan tertutup ber-AC lainnya, satu saja tanpa masker, dan orang tersebut pembawa Covid-19, terbilang berisiko tinggi penularan Covid-19. Masyarakat perlu diberi tahu.
Belum semua masyarakat tahu juga bahwa AC di ruangan tertutup menambah besar potensi penularan.
Demikian pula pilihan, cara memakai, dan melepaskan masker, ada aturannya. Patuh bermasker, tapi jenis masker yang dipilih rendah daya lindungnya, sama berisiko tertularnya. Masker bedah yang ideal pun hanya 90 persen kemampuan melindunginya, apalagi masker asal kain.
Tepat pilihan masker, tetapi tak tepat melepaskannya, dengan menyentuh bagian luar masker, sehingga bila sudah ada Covid-19 melekat di situ, virus berukuran mikron mudah berpindah ke jemari tangan. Jika kemudian jemari menyentuh wajah, hidung, mulut atau mata tanpa sengaja, dengan cara itu Covid-19 memasuki tubuh. Soal ini masyarakat perlu diajak memahaminya juga.
Lebih dari itu, masyarakat perlu memahami seluk-beluk tabiat Covid-19 yang lain. Covid-19 masih memiliki sejumlah celah menyelusup memasuki tubuh. Covid-19 masih bertahan lebih lama pada kertas, kayu, kaca dan logam selain kardus.
Maka, perlu berhati-hati memegang uang kembalian, menyentuh kiriman paket, dan semua permukaan barang apa saja di ruang publik. Dengan memahami ini masyarakat lebih menghayati, lalu menyadari perlunya menaati protokol kesehatan. Demikian halnya perlunya divaksinasi.
Masyarakat perlu diajak menyadari, bila sampai terkena Covid-19, yang merugi bukan diri sendiri, hingga berisiko kehilangan nyawa, dan ongkos menyembuhkannya pun tidak murah, orang lain juga harus ikut menanggung akibat kealpaan kita. Menolak vaksinasi berarti mendahulukan hak, abai pada kewajiban sebagai warga bangsa.
Perlu banyak sosialisasi supaya persepsi risiko terhadap Covid-19 sama. Semakin masyarakat memahami seluk-beluk Covid-19, semakin tumbuh kewaspadaan, semakin bulat persepsi risiko terhadap Covid-19. Semakin bulat persepsi risiko, tanpa perlu diminta, bukan pula dipaksa, sendirinya masyarakat sadar, misal, tidak memasuki kondisi berisiko tertular.
Kalau tidak perlu benar, tidak ke ruang publik. Tahu mana yang prioritas, mana yang bukan. Semakin rinci komunikasi, informasi, dan edukasi Covid-19 yang masyarakat terima, semakin mampu masyarakat mempertimbangkan bagaimana agar tidak perlu sampai tertular. Pada tingkat kesadaran demikian, vaksinasi menjadi kebutuhan.
Pada tingkat kesadaran demikian, vaksinasi menjadi kebutuhan.
Persepsi vaksinasi
Program imunisasi dasar anak kita belum pernah mencapai cakupan sebagaimana diminta. Idealnya 80 persen dari target. Tahun 2020 dilaporkan hanya sekitar 21,5 persen saja, lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Itu berarti hanya seperlima anak yang terlindung dari delapan penyakit yang mengancamnya.
Persepsi keliru ihwal imunisasi menjadi kendala besar upaya menyehatkan generasi. Anggapan keliru masyarakat, contohnya, tadinya sehat, anak jadi demam setelah divaksinasi; tadinya sehat, anak jadi sakit sehabis divaksinasi; dan anggapan keliru lainnya. Dalam hal vaksinasi Covid-19 untuk segala umur bisa muncul persepsi keliru lain apabila informsi vaksin belum sepenuhnya masyarakat pahami.
Keberhasilan vaksinasi Covid-19 agaknya serupa dengan program imunisasi dasar anak, sama-sama perlu sosialisasi. Bahwa dengan vaksinasi Covid-19, masyarakat tidak perlu sakit Covid-19. Belum ada cara melindungi diri terhadap Covid-19 lebih pasti daripada dengan mengandalkan vaksinasi. Terbukti secara ilmiah, vaksin memberikan khasiat, selain aman.
Vaksin betul berkhasiat oleh karena sudah menempuh protokol pembuatan vaksin, mulai uji kimiawi, uji biologis, sampai uji klinis. Bahwa betul vaksin aman, terbukti dari uji klinis tahap akhir tidak menimbulkan efek buruk berarti. Bahwa vaksin tergolong halal, pihak MUI melakukan uji tersendiri. Bahwa vaksin sudah laik edar, pihak Badan POM sendiri memberi restu, yang secara keilmuan berarti bisa dipertanggungjawabkan.
Sosialisasi vaksin Covid-19 perlu membawa masyarakat tiba pada pemahaman, memperkuat keniscayaan masyarakat, bukan menjadi bingung dan kurang percaya lagi. Bahwa vaksin Covid-19 laik diterima. Peran koran, terlebih radio, dan TV perlu besar membawakan pesan, kepanjangan tangan pemerintah, oleh karena yang menerima vaksin sampai jauh ke pelosok negeri.***
Handrawan Nadesul, Dokter, motivator kesehatan, penulis buku Covid-19