Agar Trump dan Trumpisme tak segera naik lagi, Biden harus bekerja ekstrakeras dan hati-hati. Demokrasi tengah melewati tikungan licin yang sangat tajam dan berbahaya.
Oleh
ACHMAD MUNJID
·5 menit baca
Lewat persaingan sengit, Joseph Biden akhirnya unggul dalam Pemilu AS 2020. Dalam pidato kemenangannya, Sabtu (7/11/2020) malam, ia berjanji mempersatukan Amerika Serikat. Ia siap mengemban mandat rakyat untuk bertempur ”mengendalikan virus, membangun kemakmuran, menghapus rasialisme sistemik, mengembalikan kesantunan, dan mempertahankan demokrasi”.
Namun, lawannya, Donald Trump, rupanya tak bisa menerima kekalahan. Meninggalkan tradisi politik Amerika, sampai sekarang ia tak mau mengucapkan selamat dan menyampaikan pidato penerimaan kekalahan. Sebelumnya, ia bahkan telah mengklaim dirinya menang. Ia menuduh pemilu dipenuhi kecurangan masif. Selama menjabat, Trump memang terus menggempur demokrasi dari segala sisi.
Kemenangan tipis Biden
Sebagaimana kemenangan Trump pada 2016, kini Biden menang relatif tipis. Pemilih Biden berjumlah sekitar 75 juta (50,8 persen), sedangkan Trump 71 juta (47,5 persen). Secara electoral college diperkirakan Biden maksimal akan meraih angka sekitar 304, mirip perolehan Trump pada 2016.
Sejak awal, Trump selalu berkoar ia mustahil kalah kecuali jika ada kecurangan. Ia juga terus mendelegitimasi sistem alternatif pengiriman surat suara lewat pos secara massal yang diberlakukan akibat pandemi. Ketika ditanya apakah alih kekuasaan akan berlangsung damai jika ia kalah, Trump menolak menjawab.
Sejak awal, Trump selalu berkoar ia mustahil kalah kecuali jika ada kecurangan.
Akibatnya, ketegangan dan ketidakpastian pun menghantui pemilu. Pada hari-H, muncul demonstrasi, bahkan sempat ricuh di Oregon dan New York. Ketika suara Trump makin tertinggal, para pendukungnya menuntut agar penghitungan suara dihentikan. Banyak di antara mereka yang berkeliaran menenteng senjata otomatis laras panjang.
Selain telah menuntut penghitungan ulang dan mengajukan tuntutan lewat pengadilan negara bagian, kini Trump juga tengah sibuk menyiapkan gugatan ke Mahkamah Agung. Berkat manuvernya, komposisi Mahkamah itu kini adalah 6:3, mayoritas adalah hakim konservatif yang sangat menguntungkan posisi Trump.
Sebelumnya, kebanyakan jajak pendapat, media, dan pengamat memperkirakan Biden akan menang telak. Kenapa? Trump dianggap sebagai perkecualian Amerika. Tidak normal, brutal, penuh ketidakpastian, dan tak peduli etika. Pengalaman roller coaster era Trump itu diasumsikan telah membuat mayoritas orang Amerika kapok. Mereka ingin kembali pada kewarasan.
Kemenangan tipis Biden membuktikan bahwa anggapan itu keliru. Kenaikan tajam partisipasi pemilih ternyata datang bukan cuma dari kubu Biden, melainkan juga Trump. Trump sama sekali bukan perkecualian. Ia adalah bagian nyata, bahkan sangat besar dan menentukan dalam masyarakat Amerika. Trump bukan sebab, melainkan akibat dari Amerika yang dilanda krisis.
Krisis dan rasialisme
Setelah kalah, Partai Republik kini terbenam dalam krisis. Fenomena membelotnya Cindy McCain, para pendeta Kristen evangelis, Lincoln Project, serta sejumlah sosok berpengaruh lain yang melompat ke kubu Biden sebelum pemilu hanyalah gejala dari krisis yang lebih besar tersebut.
Kekalahan relatif tipis ini justru menyulitkan unsur-unsur Partai Republik untuk rujuk setelah teracak-acak, terpecah belah, dan mengalami disorientasi akibat sepak terjang Trump. Saling tuding, tapi sulit mencari kambing hitam, bahkan sulit menyadari adanya kesalahan. Satu-satunya yang bisa membuat mereka bersatu adalah musuh bersama: kaum kiri liberal!
Situasi serupa dihadapi Partai Demokrat. Biden akhirnya terpilih di antara 25 kandidat Demokrat bukan karena dia ideal, melainkan demi mengatasi perpecahan internal. Mereka bisa bersatu juga karena musuh bersama: kaum konservatif dan ultrakanan. Pendukung Demokrat memilih Biden terutama karena mereka takut kepada Trump dan kaum ultrakanan. Begitu pun sebaliknya.
Begitu menang, kelompok kiri kubu Bernie Sanders kini menunjukkan sikap agresif. Konflik internal bisa kembali terbuka.
Biden akhirnya terpilih di antara 25 kandidat Demokrat bukan karena dia ideal, melainkan demi mengatasi perpecahan internal.
Perlu dicatat, karena tak punya rencana kebijakan ekonomi yang kuat dan tak berkarisma, sebelum pandemi Covid-19 datang, peluang kemenangan Biden sangat kecil. Sebaliknya, sebelum ada pandemi, karena prestasi ekonominya, Trump hampir pasti terpilih lagi.
Rendahnya kepercayaan publik akan menjadi tantangan serius pemerintahan Biden. Selama ini Trump telah berhasil menggiring pendukungnya agar tidak memercayai otoritas apa saja yang tak sejalan dengan kepentingan mereka. Politisasi masker dan pembatasan sosial (social distancing) selama kampanye serta tafsir angka kematian Covid-19 yang melebihi 230.000 adalah contoh terbarunya.
Dengan kekuatan relatif berimbang—Senat kemungkinan tetap di tangan Republik dan Demokrat bahkan kehilangan beberapa kursi di DPR—bisa dibayangkan tantangan Biden dalam mengendalikan roda pemerintahannya kelak.
Sementara itu, rasialisme berwajah garang makin muncul demonstratif. Kini, ada lebih dari 180 kelompok paramiliter bersenjata otomatis sangat lengkap yang tersebar di mana-mana.
Selain kelompok ultrakanan yang diringkus FBI setelah ketahuan merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Gubernur Michigan, ada banyak kelompok serupa yang aktif melakukan latihan tempur. Mereka siap menghadapi perang sipil yang dipercaya bisa pecah setelah pemilu.
Dendam akibat serangkaian kerusuhan rasial di sejumlah kota yang menyertai demonstrasi Black Lives Matter (BLM) setelah pembunuhan George Floyd bisa kembali meledak kapan saja. Polarisasi rasial dulu mengangkat Barack Obama yang berjanji akan menyatukan Amerika. Lalu, datanglah Trump dengan menaiki gelombang polarisasi yang kian membesar justru untuk menggelorakannya. Kini, Amerika terancam kian terbelah setelah Trump kalah.
Trumpisme dan ramifikasi
Selain mengatasi krisis pandemi Covid-19, tantangan terberat Biden terutama pemulihan ekonomi. Sayangnya, justru itulah kelemahan dia. Dengan prestasi ekonominya, mungkin sekali kelak Trump akan terus aktif ”mengganggu” Biden sembari bersiap maju empat tahun mendatang.
Kemenangan tipis, rasialisme sistemik, dan buntut rusuh demonstrasi BLM serta ketakutan dan kebencian antarkubu kini ibarat api dalam sekam, baik di kalangan konservatif maupun liberal.
Jika Biden tak segera menaklukkan pandemi dan menunjukkan keberhasilan ekonomi, Trump dan Trumpisme berpotensi kembali membesar.
Yang mencemaskan, Trumpisme memperlihatkan betapa etika dan moralitas bisa dicampakkan tanpa konsekuensi berarti. Dengan playing victim, Trump membuat justifikasi untuk menerabas berbagai aturan. Ia berhasil memobilisasi dukungan, terutama dari kaum kulit putih konservatif yang juga mengidentifikasi diri sebagai ”korban”.
Ia dianggap sebagai ”juru selamat” yang blak-blakan dan berani pasang badan demi kepentingan kaumnya. Meski daftar aibnya kian panjang dan terus ditelanjangi media setiap hari, para pendukungnya tak peduli.
Yang juga mengkhawatirkan adalah ramifikasinya di tingkat global. Meski Trump kalah, kelompok ultrakanan Eropa mungkin akan melanjutkan ”capaian” Trump dan para pendukungnya. Sambil mencemooh demokrasi Amerika yang kini compang-camping, penguasa otoriter, seperti Vladimir Putin, Xi Jinping, dan Kim Jong Un, akan menepuk dada. Para diktator di negara-negara ketiga juga akan punya alasan lebih besar untuk meremehkan demokrasi.
Agar Trump dan Trumpisme tak segera naik lagi, Biden harus bekerja ekstrakeras dan hati- hati. Demokrasi tengah melewati tikungan licin yang sangat tajam dan berbahaya.