Kampanye Politik Media Sosial Tak Bisa Lagi Ugal-ugalan
Iklan politik di media sosial menjadi salah satu alternatif pendapatan bagi penyedia platform. Namun, sejumlah batasan diterapkan demi terciptanya transparansi dan pencegahan beredarnya informasi palsu.
Oleh
Andreas Maryoto
·5 menit baca
Sebuah akun Facebook milik pengurus cabang sebuah partai mengiklankan calon wali kota dan wakil wali kota yang bertarung di Pilkada Tangerang Selatan. Orang yang mendanai iklan disebut sangat jelas di dalam iklan itu. Namanya terpampang di dekat nama akun. Di Amerika Serikat, Twitter juga menandai cuitan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ketika ia dipandang memberi informasi yang tidak benar atau cuitannya dinilai membahayakan mereka yang membaca.
Kali ini, orang yang beriklan dan menggunakan media sosial untuk aktivitas politik tak lagi leluasa. Sejumlah pengalaman buruk penggunaan media sosial untuk kampanye politik menjadi penyebab para penyedia platform lebih berhati-hati, bahkan membatasi permintaan iklan politik. Kasus Cambridge Analytica menjadi sejarah kelam penggunaan media sosial untuk memenangkan mereka yang bertarung di dalam ajang politik. Penyedia platform tak mau lagi kecolongan. Mereka tidak mau media sosial menjadi tempat untuk tindakan-tindakan atau aksi-aksi yang tidak terpuji.
Beberapa kalangan mengkritik kampanye melalui media sosial sebagai cara-cara yang menghancurkan demokrasi. Orang tak lagi memiliki kebebasan untuk memilih. Mereka lebih menuruti informasi yang terbangun dari sebuah mesin berbasis algoritma. Mesin itu mampu memapar kita dengan informasi yang berdasar pada kebiasaan dan perilaku kita di media sosial. Pilihan politik pengguna media sosial pun bisa goyah karena setiap hari kita mendapat informasi yang bisa memengaruhi pikiran dan pendapat kita.
Oleh karena itu, kemudian beberapa penyedia platform membuat aturan terkait dengan kampanye politik di platform media sosial. Secara umum, aturan-aturan itu belum memuaskan, tetapi telah menjadi sinyal bahwa organisasi politik tak bisa lagi leluasa menggunakan media sosial untuk menjatuhkan lawan politik atau membuat kabar palsu. Mereka tidak bisa lagi sembarangan menggunakan media sosial. Meski demikian, penyedia platform juga tidak seragam dalam melihat konten-konten yang dikategorikan terkait aktivitas politik.
Facebook menyatakan, politisi dikecualikan dalam pengecekan fakta yang dilakukan oleh pihak ketiga. Seorang penulis bernama Kris Ruby yang banyak mendalami industri digital untuk komunikasi di dalam sebuah lamannya mengatakan, oleh karena kebijakan itu, politisi diperkenankan untuk melakukan iklan kampanye dengan klaim-klaim palsu. Facebook sendiri beralasan bahwa mereka tidak mempunyai peran untuk menyensor pidato atau pernyataan politik. Meski demikian, mereka melakukan pengecekan konten dari sejumlah kelompok politik. Langkah ini dikritik oleh beberapa kalangan. Facebook terkesan membiarkan konten-konten kampanye politik yang kemungkinan bisa mengandung informasi palsu.
Meski demikian, Facebook mewajibkan transparansi dalam kampanye politik melalui platform itu sehingga publik mengetahui orang yang menjalankan iklan kampanye politik. Oleh karena itu, seperti di awal tulisan ini, nama orang yang membiayai iklan itu muncul di akun. Mereka juga mulai memperketat aturan-aturan iklan politik menjelang pemilihan umum AS, pekan lalu. Aturan yang mirip pernah dilakukan di Filipina. Di negeri ini, semua peserta pemilu wajib mendaftarkan akun-akun media sosialnya. Iklan politik harus menampilkan identitas organisasi secara jelas. Mereka juga diminta mencantumkan informasi kontak secara transparan dan detail.
Facebook juga meminta beberapa data, seperti alamat surat, dokumen terkait identitas, nomer telepon, alamat surat elektronik, dan laman organisasi. Mereka juga meminta beberapa data, seperti nomor pokok wajib pajak, nomor pendaftaran di komisi pemilihan, dan domain laman internet. Mereka yang tidak memenuhi persyaratan itu akan terkena sanksi. Facebook juga bisa menghapus akun-akun yang terafiliasi dengan kegiatan atau organisasi politik, tetapi tidak memenuhi syarat di atas.
Sementara Google akan membatasi penargetan audiens untuk kampanye politik dengan menggunakan platform mereka. Mereka akan menyasar audiens dengan umur, jender, dan lokasi yang sudah ditentukan. Mereka tidak bisa lagi bebas menarget audiens. Google juga sudah mengumumkan bahwa iklan politik tidak bisa lagi menggunakan informasi berbasis data pemilih atau kecenderungan afiliasi politik seseorang. Semisal, pemasang iklan politik sudah tidak bisa lagi memilih target orang berdasar kecenderungan afiliasi politik, seperti menarget orang berhaluan kiri, kanan, atau independen.
Catatan penting lainnya adalah Google sudah membatasi kemampuan pemasang iklan politik untuk membuat iklan politik bertarget mikro di mesin pencari dan Youtube. Google juga menyingkirkan fitur untuk mengepaskan iklan (match feature) dengan target audiens. Fitur ini semula bisa digunakan untuk memastikan materi kampanye dengan profil pengguna berdasar data-data pemilih. Keputusan seperti ini kemungkinan tidak dilakukan oleh penyedia platform lainnya karena dikhawatirkan mereka akan kehilangan kue iklan yang sangat besar. Iklan yang menggunakan fitur ini memang mempunyai kekuatan lebih saat pemasang iklan menarget audiens.
Twitter memilih kebijakan lain lagi. Mereka melarang semua iklan politik yang berisi informasi tentang kandidat, partai, pilihan, dan anggota DPR/MPR. Mereka juga melarang iklan yang memberikan dukungan terhadap orang atau lembaga yang pada ujungnya akan menghasilkan suatu gerakan sosial atau politik. Secara umum, Twitter termasuk yang paling sedikit bermain dalam iklan politik digital. Pendapatan Twitter dari iklan politik juga sangat kecil sehingga penghilangan iklan politik tidak berisiko bagi eksistensi Twitter dibandingkan dengan penyedia platform lainnya.
Langkah beberapa penyedia platform tentu mengundang pro dan kontra. Mereka yang geram dengan penyebaran informasi palsu dan kabar bohong tentu mendukung langkah-langkah ini. Akan tetapi, orang yang sangat berkepentingan dengan iklan politik di media sosial tentu tak puas dengan beberapa keputusan itu. Orang yang kurang dikenal publik mungkin paling dirugikan dengan kebijakan-kebijakan itu. Ia tak bisa memanfaatkan kanal media sosial untuk memperkenalkan diri dan berkampanye. Bahkan, materi-materi kampanye mereka pun akan terbatasi.
Meski demikian, sebagai konsumen, kita tentu mendukung upaya-upaya penyedia platform untuk menekan konten-konten politik yang tak sedikit berisi informasi palsu, ujaran kebencian, ataupun pembohongan. Kita ingin media sosial berisi informasi yang bersih alias tak lagi berisi kebencian dan hujatan. Kampanye politik di media sosial sudah memang perlu dibatasi agar organisasi politik dan pendukungnya tidak lagi ugal-ugalan menggunakan media sosial.