Perjuangan Kampus di Era Pandemi
Semangat perjuangan di kampus-kampus sehingga menghasilkan karya inovasi semestinya mendapat tempat strategis untuk meringankan beban rakyat. Kalau perlu jadi momentum perjuangan ”kemerdekaan” dari kegemaran impor.
Tanggal 10 November adalah tanggal sakral: memperingati kepahlawanan kolektif arek-arek Surabaya, sekaligus hari jadi Universitas Airlangga dan ITS.
Tanggal 10 November 1945 kita peringati sebagai Hari Pahlawan. Sembilan tahun kemudian, pada 1954, Bung Karno menghadiahi warga Surabaya dengan meresmikan Universitas Airlangga atau Unair. Unair merupakan pengembangan dari beberapa pendidikan tinggi, termasuk pendidikan tinggi kedokteran yang sudah ada sejak 1913 dengan nama Nederlandsch Indische Artsen School atau NIAS.
Baca juga: Pendidikan Tinggi Indonesia dalam Masa Pancaroba
Tiga tahun kemudian dilanjutkan dengan mendirikan Institut Teknologi 10 Nopember (ITS), yang diresmikan pada 10 November 1957. Ketika Republik masih muda dan banyak infrastruktur hancur karena perang kemerdekaan, Bung Karno mengajak rakyat untuk bangkit kembali dan mengejar kemajuan. Jadi, Unair dan ITS adalah monumen hidup untuk menjaga roh perjuangan arek-arek Suroboyo lewat penyemaian intelektualitas produktif.
Sebelum Unair dan ITS, Bung Karno terlebih dahulu sudah menghadiahi rakyat Yogyakarta dengan membangun Universitas Gadjah Mada pada 1949. Bung Karno sendiri adalah alumnus Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS, berdiri 1920), yang kemudian menjadi ITB. Bung Karno dan para pendiri bangsa sadar bahwa pendidikan adalah pilar utama untuk mencapai kemajuan. Bukan hal yang aneh ketika pendidikan dikaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa.
Bukan hal yang aneh ketika pendidikan dikaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa.
Para pendiri bangsa pun banyak berasal dari kaum terdidik. Karena pendidikan, mereka tercerahkan akan nasib bangsanya. Para intelektual, selain tentara, yang memberikan konsepsi konkret seperti apa bentuk negara dan arah masa depannya.
Meskipun tidak sama persis, sejarah Surabaya ada kemiripan dengan yang dialami Jepang. Setelah Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur dibom nuklir oleh Amerika Serikat yang membuat Jepang menyerah tanpa syarat, konon Kaisar Hirohito bertanya: berapa sisa guru yang masih hidup.
Baca juga: Masa Depan Pendidikan Tinggi dan Universitas
Rupanya, perhatian utama Kaisar adalah bagaimana agar segera menata kembali pendidikan untuk mengejar kemajuan. Dan hasilnya, hanya dalam waktu 25 tahun Jepang bangkit dan menjadi negara industri terkemuka di dunia. Produk-produk teknologinya merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk merajai di wilayah Amerika Serikat, negara yang dulu mengalahkannya. Jadi, pendidikan adalah dasar untuk mencapai kemajuan bangsa.
Sejarah perjuangan Amerika Serikat pun lekat dengan kesadaran kaum intelektual. Tahun 1636, para pemuda Massachusetts Bay Colony berikrar untuk membangun sebuah perguruan tinggi puritan di hutan New England. Tahun 1638, sebuah bangunan megah terbangun dan akhirnya pada 1642, Harvard sudah menjadi perguruan tinggi dengan meluluskan kelas pertamanya. Sekarang, Harvard dikenal sebagai perguruan tinggi terbaik di dunia.
Saat Perang Dunia II, sivitas akademika Harvard banyak yang melakukan kegiatan militer membela negara, termasuk berbagai riset senjata dan kemiliteran. Harvard membuktikan pengabdiannya pada negara, termasuk saat perang.
Baca juga : Pendidikan di Masa Sulit
Seperti itu pula yang dialami oleh sivitas akademika kita. Saat pasukan Belanda masih berusaha mengembalikan kekuasaannya di Indonesia, para pelajar dan mahasiswa banyak yang ikut maju ke garis depan untuk pertahankan kemerdekaan.
Seperti itu pula yang dialami oleh sivitas akademika kita.
Pasukan pelajar ini tergabung dengan beberapa kesatuan, seperti Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), dan Tentara Genie Pelajar (TGP). Yang terakhir ini anggotanya pelajar sekolah teknik dan menjadi pelopor korps zeni (genie). Kesatuan pelajar/mahasiswa ini kemudian disatukan menjadi Brigade XVII TNI/TRIP. Inilah bentuk pengabdian para pelajar dan mahasiswa ketika negaranya dalam situasi perang.
Perjuangan adaptasi
Beberapa perguruan tinggi jelas dilahirkan sebagai anak kandung perjuangan kemerdekaan bangsa. Mereka semestinya tetap menyandang perjuangan serta semangat pengabdian pada negara dan bangsa, tentu disesuaikan dengan zaman. Pada era milenial ini, semangat kejuangan tak boleh kendur. Dalam konteks sekarang, kita tengok bentuk perjuangan dan pengabdian perguruan tinggi saat negaranya masih didera pandemi Covid-19 yang tak kalah bengis dibandingkan bala tentara Mallaby.
Baca juga : Membuka Keterisolasian Sektor Pendidikan Tinggi
Pandemi Covid-19 melantakkan semua sektor kehidupan. Kampus pun tak kebal dampak itu. Banyak tenaga medis, terutama dokter dan perawat, gugur dalam peperangan pandemi berkepanjangan ini. Setidaknya sudah 150 dokter mengorbankan nyawanya. Banyak di antara mereka para guru senior di fakultas kedokteran. Bahkan, para dokter calon spesialis (residen) juga banyak terpapar Covid-19. Sampai 6 November, IDI mencatat sudah 1.433 residen yang positif Covid-19 di 16 rumah sakit pendidikan.
Kondisi kampus juga mirip medan perang tak kasatmata. Sudah sepuluh bulan kampus tertutup dari berbagai kegiatan tatap muka. Kuliah, diskusi, seminar, kelas, dan semua kegiatan yang melibatkan tatap muka dihentikan. Mau tak mau, metode tatap muka dengan metode virtual yang teknologinya tersedia. Maka, kelas kuliah, diskusi, dan seminar dilakukan secara daring.
Baca juga: Tantangan Perguruan Tinggi: Untuk Apa Bayar Mahal jika Hanya Daring?
Harus diakui, di awal-awal pandemi, birokrasi kampus dan dosen masih terbata-bata menyesuaikan diri. Mereka rata-rata generasi digital immigrant, yang lahir dan besar ketika teknologi digital belum masif. Bisa jadi kalah cepat dengan mahasiswanya yang dari generasi digital native (”pribumi” digital). Mereka lebih gesit mencari dan menggunakan berbagai aplikasi baru.
Harus diakui, di awal-awal pandemi, birokrasi kampus dan dosen masih terbata-bata menyesuaikan diri.
Kampus pun harus memahami ada kebutuhan baru, yaitu penyediaan paket data atau bandwidth dalam jumlah besar. Ini karena tak semua mahasiswa mampu membeli kebutuhan paket data. Tak semua wilayah sudah bagus jaringan internetnya. Ada keterbatasan daya beli, ada kesenjangan wilayah, ada blank spot. Ada juga kesenjangan teknologi yang menghinggapi sebagian dosen atau pengajar dan juga mahasiswa, pun petugas administrasi kampus.
Teknologi TI memang mampu menerobos banyak hambatan. Akan tetapi, dalam hal efektivitas dan kenyamanan proses pengajaran, hal itu masih belum mampu menandingi metode tatap muka langsung. Insan kampus seperti terpaksa menjadi imigran massal ke dunia digital. Setelah berlangsung sepuluh bulan, terasalah banyak sentuhan, gestur, dan kehangatan interaksi fisik antarmanusia yang absen.
Baca juga : Teknologi, Korona, dan Pendidikan
Tak heran, di saat pandemi masih kuat, makin banyak kampus atau sekolah yang ingin uji coba bagaimana sistem pengajaran di kelas dilakukan lagi meskipun harus on-off ketika ada yang terjangkit Covid-19.
Riset versus impor
Sembari mengatasi tantangan adaptasi di rumah tangganya sendiri, kampus jelas tak boleh berdiam diri melihat kesulitan masyarakat di saat pandemi. Di pundak para akademisi dan periset ada tugas Tri Dharma (tiga kebajikan mulia), yakni mendidik dan mengajar, riset, dan pengabdian masyarakat. Tugas ini tak boleh terhenti karena pandemi. Justru karena pandemi inilah, riset jadi ”panglima” untuk menghadapi perilaku virus yang berubah-ubah.
Bloom’s taxonomy sudah terintegrasi dalam pola tindak banyak kampus. Kampus seolah sebuah industri yang mampu membangun pola pikir para ahli yang kreatif dan inovatif, dimulai dari low order thinking, kemudian menuju high order thinking. Tahap low order thinking ini diawali dari belum tahu menjadi tahu, lalu menjadi mengerti, lalu bisa mendemonstrasikan apa yang dimengertinya itu, lalu mengerjakannya.
Justru karena pandemi inilah, riset jadi ”panglima” untuk menghadapi perilaku virus yang berubah-ubah.
Pengerjaan itu bertahap dan diulang-ulang hingga matang kemampuannya dan muncul intuisi sebagai kandidat seorang ahli. Kemudian memasuki fase high order thinking, yakni mampu menyusun dan mengembangkan konsep, menganalisis, menyintesiskan, dan memformulasikan sehingga menghasilkan inovasi yang sangat peka intuisinya. Inilah levelnya para kreator dan inovator. Lewat riset, para ahli, termasuk ahli-ahli di kampus kita, mampu menguak perilaku ganas Covid-19 dan berikhtiar membuat vaksin dan obat serta berbagai alat untuk menangani pandemi ini.
Baca juga : Pendidikan Solidaritas Kemanusiaan
Beberapa perguruan tinggi menggencarkan berbagai riset untuk melawan pandemi. Ada kelompok ahli yang meriset karakter virus penyebab Covid-19, meneliti genomnya, mengamati mutasi genetiknya, daya serangnya pada manusia, seperti yang dikerjakan oleh periset Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, periset Unair, dan beberapa perguruan tinggi lain.
Kelompok ahli lain meriset calon vaksin dengan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Jika riset vaksin normal memerlukan waktu setidaknya sepuluh tahun, riset vaksin untuk SARS-CoV-2 ini diperas, diharapkan siap dalam 1-2 tahun saja. Ini seiring dengan kemendesakan agar peperangan wabah bisa dimenangi.
Ada juga yang meriset formula obatnya dengan metode rekombinan atau memformulasikan beberapa obat yang sudah ada sebelumnya untuk penyakit lain, seperti yang dikerjakan oleh periset Unair. Ada juga riset tentang manfaat beberapa zat aktif yang terdapat pada beberapa jenis tanaman untuk memperkuat imunitas menghadapi Covid-19. Beberapa ahli juga meriset penciptaan alat kesehatan yang sangat diperlukan untuk merawat pasien Covid-19, seperti ventilator, yang dikerjakan oleh kolaborasi periset ITB, UI, ITS, dan Unpad.
Baca juga: Tantangan Kelola Riset dan Inovasi
Ditemukan pula alat tes cepat G-Nose yang dikembangkan periset UGM atau uji diagnostik cepat RI-GHA oleh kolaborasi periset UGM, Unair, dan Universitas Mataram. Sementara yang lain meriset permodelan untuk membuat perkiraan lama dan berakhirnya epidemi.
Bahkan, yang terbaru, periset Unair yang tergabung dalam tim pengembang vaksin Merah Putih sekarang sedang mengembangkan vaksin Unair dengan menggunakan dua platform (viral vector dengan adenovirus dan adeno associated virus; serta peptida) dan sedang memasuki tahap validasi sebelum ke uji hewan.
Kampus jelas makin sibuk dalam menjawab tantangan pandemi ini. Kampus tetap bersemangat meskipun beberapa temuannya tak selalu antusias disambut pengambil keputusan yang tampak lebih antusias untuk impor. Beberapa temuan tak cepat tuntas di meja perizinan birokrasi negara.
Kampus jelas makin sibuk dalam menjawab tantangan pandemi ini.
Mekarnya inovasi ini membuktikan, kampus punya refleks bagus mencari hikmah dari keadaan yang buruk. Dan semestinya semua pihak mendukung, misalnya pemerintah, bisa menyederhanakan perizinan dan sigap mengucurkan dana (dari anggaran penanganan dampak Covid-19 Rp 695,2 triliun).
Semangat perjuangan di kampus-kampus sehingga menghasilkan temuan-temuan ini semestinya mendapat tempat strategis untuk segera meringankan beban rakyat. Bahkan, kalau perlu jadi momentum perjuangan ”kemerdekaan” dari kegemaran impor.
Djoko Santoso, Guru Besar Ilmu Kedokteran dan Ketua Senat Universitas Airlangga.