Sebaik-baiknya mengupayakan komunikasi publik agar serba jelas, lengkap, dan mudah dipahami, kalau proses menalar di dalam diri si penerima tidak juga dibenahi, semuanya hanya menjadi kerja yang sia-sia.
Oleh
Zainoel B Biran
·3 menit baca
Topik utama informasi di harian Kompas (11/10/2020) yang berjudul ”Benahi Komunikasi” menarik untuk kita simak. Ditegaskan bahwa komunikasi publik terkait Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mendesak dibenahi. Persoalan komunikasi itu ikut memicu polemik seputar peraturan tersebut.
Siapa pun tidak akan membantah hal yang disampaikan. Sangat masuk akal. Akan tetapi, secara psikologis, sebaik-baiknya mengupayakan komunikasi publik agar serba jelas, lengkap, dan mudah dipahami, kalau proses menalar di dalam diri si penerima tidak juga dibenahi, semuanya hanya menjadi kerja yang sia-sia.
Orang lupa kearifan lama ”pikir itu pelita hati”. Kita semua sadar bahwa jika hati (emosi) lebih berperan, pikiran mudah keruh, tanggapan menjadi subyektif, dan bisa keliru. Apalagi kalau informasi yang diberikan merupakan hasil pelintiran, sementara orang malas berpikir dan percaya begitu saja pada hal-hal yang dilontarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Orang tidak lagi waspada terhadap adanya kehendak buruk, yang bisa meracuni kewarasan diri, bahkan menghancurkan masa depan sendiri, di balik dalih ”membela keadilan dan menegakkan kebenaran. Betapapun bagusnya komunikasi publik dikonstruksi, kalau kita yang menjadi penerimanya memang ”dungu” (pinjam istilah), komunikasi itu tidak ada artinya.
Dunia berubah dengan cepat. Hal-hal praktis, berorientasi aksi, yang segera bisa dimanfaatkan dan mendatangkan hasil tampaknya kini menjadi andalan pengambilan keputusan dan penentu tindakan. Kita tidak diharapkan berpikir jauh dan mempertimbangkan dampak yang dapat ditimbulkan! Berpikir kritis dicampuradukkan dengan bersikap kritis yang bertujuan menemukan kesalahan, bukan mengupayakan kebaikan.
Ketajaman, kejernihan, dan keterbukaan dalam berpikir, yang kerap diidentikkan dengan daya pikir, kini tidak lagi dikemukakan sebagai hal yang diutamakan. Sebagai konsekuensi logis, biarlah orang lain menjadi pemikirnya. Kegaduhan dan kerusuhan di dalam negeri, yang kita alami belakangan ini, dan mudahnya orang ”tersulut” oleh isu beragenda tersembunyi, menunjukkan betapa kita telah membebalkan diri sendiri.
Bahkan, kita pun telah berani menistakan ciptaan Tuhan yang diberkahi otak untuk berpikir dan nurani untuk menilai dan memilah baik-buruk.
Sebagai ”penunjuk arah” (baca: Kompas), saya yakin harian ini dapat menemukan jalan yang mengena untuk ikut mengajak orang menggunakan daya pikirnya. Agar komunikasi publik terlaksana semakin efektif.
Zainoel B Biran
Psikolog Sosial, Kompleks Perumahan UI,
Cireundeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Kemasan Plastik
Akibat wabah korona, tingkat pengangguran meningkat. Untuk mendapat uang, banyak yang membuka usaha makanan melalui jasa pengantaran. Sebagian besar wadah yang digunakan adalah kemasan kotak plastik bening.
Di satu sisi, masyarakat diminta mengurangi pemakaian kantong plastik. Di sisi lain, penggunaan kemasan kotak plastik meningkat seiring meningkatnya usaha makanan.
Sebaiknya kemasan kotak plastik diganti dengan kemasan kertas food grade yang tebal, tahan panas, tidak mudah bocor, dan kokoh. Bahan itu ramah lingkungan, mudah terurai dan hancur.
Harganya sedikit lebih mahal, tetapi seharusnya pemerintah bisa mencarikan jalan demi kelestarian lingkungan.
Vita Priyambada
Kompleks Perhubungan,
Jatiwaringin, Jakarta 13620
Keluhan Pensiunan
Pada 31 Oktober 2020 pukul 19.00, saya menerima SMS dari Bank BTPN. Isinya, ”Nasabah BTPN Yth. Manfaat pensiun Anda diblokir. Harap datang ke cabang BTPN terdekat untuk buka blokir dan rutin lakukan otentifikasi mandiri. Terima kasih.”
Keesokannya, 1 November 2020, gaji pensiun saya tidak bisa diambil lewat ATM. Pensiun saya diblokir. Padahal, pada 30 Oktober 2020 saya otentifikasi mandiri ke Taspen.
Sebagai pensiunan, saya merasa ”dipermainkan” karena uang yang dititipkan di BTPN adalah milik saya. Mestinya bisa saya ambil setiap saat.
Hal ini sangat merepotkan saya yang S-3 (sampun sepuh sanget). Jadi, apa gunanya otentifikasi yang sudah saya lakukan setiap bulan?
Beberapa tahun silam, saya juga diminta verifikasi pribadi: dicek, direkam wajah dan suara, dicek iris mata. Katanya untuk membuat smart card, yang sampai saya menulis surat ini belum juga terbit.