Komunikasi Publik di Era Digital
Komunikasi publik di sepanjang nusantara, khususnya dalam komunikasi krisis iklim membutuhkan upaya bersama.
Republik Indonesia adalah negara bangsa dengan lebih dari 17,000 kepulauan, lebih dari 1,300 etnis, lebih dari 2,500 bahasa lokal dan 6 agama resmi serta sekitar 180 kepercayaan kepada Tuhan. Keberagaman tersebut merupakan fakta dan sekaligus kekayaan negeri yang disempurnakan oleh keberagaman flora fauna dan lingkungan alam. Seluruh keberagaman tersebut menjadi kekuatan bangsa yang disimbolisasikan oleh semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika” yaitu berbeda-beda namun tetap satu juga.
Sebagai bangsa besar dengan kekayaan dan kekuatan bangsa dalam bentuk keberagaman tersebut, visi seluruh rakyat dan para pemimpin bangsa adalah terciptanya negara Indonesia Maju. Satu fase penting dimana seluruh rakyat hidup makmur dan sejahtera, kemajuan teknologi sebagai kemandirian nasional, dan kehadiran Republik Indonesia sebagai negara terkuat dunia.
Namun pada sisi lain, keberagaman adalah tantangan jika tidak dikelola secara baik dan tepat. Fakta keberagaman keagamaan, etnis dan golongan juga merupakan fakta dari ‘kerentanan masyarakat’, yaitu potensi konflik-konflik multi dimensi di antara berbagai anggota masyarakat ketika berbagai keberagaman tersebut dimaknai dan digunakan sebagai sumber kekuasaan politis semata.
Namun pada sisi lain, keberagaman adalah tantangan jika tidak dikelola secara baik dan tepat.
Jalan keluar dari ancaman ‘kerentanan masyarakat’ adalah upaya serius bersama melakukan konstruksi visi kolektif bersama sebagai bangsa dan berbagi nilai-nilai kebijaksanaan yang mengatasi semua kepentingan sempit kelompok dan golongan.
Tantangan selanjutnya dari keberagaman Indonesia adalah keterhubungan antar pulau-pulau di Indonesia, baik keterhubungan dalam komunikasi dan keterhubungan kontak sosial secara fisik. Upaya ke depan dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi pada gilirannya adalah kunci fundamental, yang didukung oleh infrastruktur listrik dan digital yang merata secara nasional.
Seluruh wilayah dari perkotaan sampai pelosok dan wilayah perbatasan harus mendapatkan akses terhadap semua ‘infrastruktur keterhubungan’ tersebut. Rasio penyebaran fasilitas listrik selama 5 tahun terakhir telah tumbuh 11%, dan pada September 2020 mencapai 99.15% dari seluruh desa telah mendapatkan listrik.
Pemerintahan Indonesia selama periode Presiden Joko Widodo, telah dan terus melakukan pembangunan infrastruktur digital ke seluruh kepulauan nusantara. Selama pandemik Covid-19, pemerintah Indonesia bekerja lebih keras dalam penanganan kesenjangan digital (digital divide), dan terus mendorong transformasi digital.
Kementerian Komunikasi dan Informasi telah menghubungkan lebih dari 348,000 km fiber optic ke seluruh wilayah Indonesia termasuk 12,148 km di bawah Lingkar Palapa Fiber Optic Nasional, yang menjadi tulang punggung komunikasi Indonesia.
KEMENKOMINFO atas instruksi Presiden Joko Widodo telah berupaya keras menghubungkan antar kota dan antar wilayah di Indonesia melalui pembangunan sekitar 533,000 BTS (base transceiver station) untuk menyediakan ‘cellular broadband network’ untuk rakyat.
Pemerintah Indonesia berencana meluncukan High-Throughput Satellite SATRIA-1 pada pertengahan atau akhir 2023 untuk menyediakan 150,000 poin akses publik untuk internet di seluruh wilayah dimana 93,900 pusat akses publik akan mendukung sektor pendidikan, 47,900 pusat akses publik mendukung pelayanan publik, dan sisanya akan mendukung pelayanan-pelayanan sektor lain pemerintahan di seluruh Indonesia.
Tenggelamnya Ruang dan Waktu
Saat ini, kita semua menyaksikan bagaimana ruang dan waktu telah berubah secara konsep. Kita memasuki era baru dari berkomunikasi, yaitu era digital. Lembaga Penelitian Digital Hootsuite dari Amerika Serikat, melaporkan bahwa Indonesia pun juga tidak terkecualikan harus masuk dalam era digital.
Lembaga ini melaporkan pada Januari 2020, angka pengguna internet di peralatan digital apapun mencapai 175.4 juta orang, yaitu 64% dari total populasi nasional. Pertumbuhan tahunan mencapai 17% (sekitar 25 juta orang). Kita dapat membayangkan bahwa manusia-manusia Indonesia makin terkoneksi melalui ruang digital.
Lembaga Penelitian Digital Hootsuite juga melaporkan bahwa rata-rata harian penggunaan internet usia antara 16-64 tahun menghabiskan waktu dalam akses internet selama 7 jam 59 menit atau hampir 8 jam per hari. Masyarakat Indonesia menghabiskan 3,27 jam untuk mengakses media sosial seperti facebook, Instagram, TikTok, Twitter, Whatssap dan lain sebagainya.
Total jumlah pengguna media sosial Indonesia mencapai 160 juta akun atau 59% dari total populasi dengan pertumbuhan jumlah 8.1% atau 12 juta akun baru setiap 8 bulan, dan 99% pengguna media sosial menggunakan peralatan digital mobile seperti handphone.
Kita dapat membayangkan bahwa manusia-manusia Indonesia makin terkoneksi melalui ruang digital.
Dilaporkan juga bahwa berbagai platform media sosial telah digunakan secara intensif oleh masyarakat untuk mengakses (1) YouTube, 88%. (2) WhatsApp, 84%. (3) Facebook, 82%. (4) Instagram, 79%. (5) Twitter, 56%. (6) Line, 50% dan seterusnya. Para pengguna internet yang mengonsumsi kandungan (konten) internet setiap bulan bisa dilihat (1) melihat video online, 99%. (2) Menonton vlogs, 79%. (3) Mendenegarkan layanan musik online 84%. (4) Mendengarkan radio (58%) and (5) mendengarkan podcasts (43%).
Berdasar pada laporan penelitian tersebut bisa difigurasi bagaimana kecepatan dan volume informasi yang dipertukarkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Sebagian besar telah mengakses informasi dari manapuan dan kapanpun. Informasi tidak lagi dimonopoli oleh elite-elite tertentu dalam masyarakat, siapapun bisa mencari informasi secara cepat. Pada kondisi inilah kita masuk pada realitas sosiologis bahwa informasi dan kecepatan pertukarannya adalah kunci dalam mengelola masyarakat.
Dari pandemi menuju infodemi.
Attention Span – Kajian ilmiah oleh peneliti di Technical University of Denmark yang telah dipublikasikan di Nature Communication Journal (2019) menyatakan bahwa kelimpahan informasi bisa membawa pada kondisi attention span (rentang perhatian) yaitu jumlah waktu dari individu mampu berkonsentrasi pada fokus kerja tanpa terjadi gangguan. Efek ini tidak hanya terjadi di media sosial tetapi juga di berbagai domain termasuk buku, penelusuran web, popularitas film, dan banyak lagi.
Para sosiolog, psikolog, dan pendidik telah memperingatkan tentang krisis yang muncul yang berasal dari fear of missing out (takut ketinggalan), mengikuti perkembangan media sosial, dan berita terbaru yang datang. Studi yang dilakukan oleh Microsoft Corp. telah melaporkan bahwa orang sekarang umumnya kehilangan konsentrasi setelah delapan detik, karena gaya hidup yang semakin digital di otak. Rentang perhatian manusia telah turun dari 12 detik selama tahun 2000 (saat revolusi seluler dimulai) menjadi hanya 8 detik pada tahun 2015, lebih pendek dari seekor ikan mas (9 detik).
Mis/Dis Informasi – Banyaknya informasi yang membanjiri otak manusia (masyarakat) saat ini hampir tidak terbayangkan. Hal ini menciptakan peluang terjadinya mis/dis informasi. Suka atau tidak suka, komunikasi digital telah membawa dunia masyarakat pada keadaan \'kebingungan\', di mana terkadang kita tidak dapat benar-benar menentukan apakah kita melihat informasi yang benar atau salah.
Pemerintah Prancis telah menerbitkan studi mereka (2016) tentang bagaimana manipulasi informasi telah menjadi tantangan besar bagi demokrasi dunia. Manipulasi Informasi adalah penyebaran berita palsu atau bias secara sengaja dan masif untuk tujuan politik yang tidak bersahabat. Disinformasi adalah penyebaran informasi yang disengaja yang seluruhnya atau sebagian salah.
Misinformasi adalah penyebaran informasi yang tidak disengaja yang seluruhnya atau sebagian salah. Dilaporkan oleh peneliti dari MIT (2020), bahwa di India, 10% dari gambar yang dibagikan melalui WhatsApp adalah informasi yang salah.
Disinformasi adalah penyebaran informasi yang disengaja yang seluruhnya atau sebagian salah.
Studi lain oleh peneliti MIT lainnya (2020) telah melaporkan bahwa berita palsu menyebar 6 kali lebih cepat daripada yang akurat di twitter dan mencapai jaringan 10 hingga 20 kali lebih besar daripada yang akurat. Selain itu, bukan bot (akun palsu) yang paling bertanggung jawab atas penyebaran informasi yang menyesatkan, tetapi manusianya. Informasi yang dimanipulasi telah menjadi ciri kehidupan sehari-hari abad ke-21 kita, dan inilah tantangan komunikasi publik kita di seluruh nusantara.
Dari Pandemi ke Infodemi – salah satu kata kunci yang muncul di tahun 2020 adalah "infodemik", epidemi informasi yang salah secara global - menyebar dengan cepat melalui platform media sosial dan outlet lainnya. Istilah infodemik lahir dalam konteks pandemi yang sedang kita hadapi saat ini, pandemi Covid-19.
Lembaga WHO (Februari 2020) menyatakan “kami tidak hanya memerangi epidemi, kami memerangi infodemik”. Infodemik bukan hanya fenomena terkait pandemi Covid-19. Infodemik adalah fenomena lintas tema dan isu. Infodemik merupakan fenomena global yang sedang dan akan terus terjadi seiring dengan peningkatan konektivitas digital. Sekali lagi, inilah salah satu tantangan komunikasi publik di seluruh nusantara. Ini adalah fenomena sosial yang membutuhkan tindakan kolektif.
Ini adalah fenomena sosial yang membutuhkan tindakan kolektif.
Infodemi dan Climate Change – Peneliti dari George Mason University melaporkan bahwa ‘misinformasi iklim’ bukanlah fenomena baru (2019). Dia melaporkan bahwa penyangkalan ilmu iklim telah berhasil menggunakan kampanye informasi yang salah sejak 1990-an di mana lembaga pemikir konservatif memulai proses secara bertahap mempolarisasi publik.
Kontrarian yang menolak konsensus ilmiah tentang perubahan iklim telah mencap diri mereka sebagai "skeptis", label yang menyesatkan, karena skeptisisme sejati akan mengadopsi pendekatan bukti. Penyangkalan sains relatif meningkat (John Cook, 2017).
John Cook (2017) telah melaporkan bahwa Inokulasi (informasi) mungkin efektif dalam memerangi misinformasi terkait perubahan iklim. Inokulasi terdiri dari dua elemen: (1) peringatan ancaman misinformasi dan kontra argumen yang menyangkal mitos, (2) inokulasi berbasis fakta menetralkan misinformasi dengan menyajikan kepada penerima fakta yang bertentangan dengan argumen informasi yang salah.
Pendekatan Inokulasi dapat diimplementasikan melalui upaya pendidikan, kampanye komunikasi publik, dan aplikasi teknologi di media sosial.
Pendekatan Inokulasi dapat diimplementasikan melalui upaya pendidikan, kampanye komunikasi publik, dan aplikasi teknologi di media sosial. Dengan menggabungkan konten ilmiah dengan menyuntikkan sanggahan, kita dapat meningkatkan tingkat literasi sains dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Menyuntikkan kampanye, jika diterapkan cukup luas di ruang kelas, di media sosial, dan di outlet media arus utama, berpotensi memberantas penyangkalan ilmu iklim (John Cook, 2019).
Membangun kepercayaan untuk Good Climate Governance
Good Climate Governance (Tata Kelola Iklim yang Baik) adalah bagian dari konsep Good Governance. Kunci paling mendasar dari tata kelola yang baik adalah "kepercayaan". Tugas kita adalah terus-menerus menjaga dan mempertahankan “kepercayaan sosial” berdasarkan sains dan bukti, sehingga memerangi kesalahan informasi. Tata kelola iklim yang baik tidak terkecuali.
Menyebarkan fakta dan informasi yang benar tentang perubahan iklim dan dampaknya membutuhkan kepercayaan dan kemampuan untuk mengubah data menjadi informasi, mengubah informasi menjadi pengetahuan, mengubah pengetahuan menjadi wawasan, dan mengubah wawasan menjadi kebijaksanaan.
Komunikasi publik di sepanjang nusantara, khususnya dalam komunikasi krisis iklim membutuhkan upaya bersama. Saya ingin mengusulkan beberapa (tidak terbatas pada) pendekatan yang mungkin berguna bagi kita semua sebagai bahan pemikiran kita.
Komunikasi publik di sepanjang nusantara, khususnya dalam komunikasi krisis iklim membutuhkan upaya bersama.
Pertama, bercerita dengan data. Mendongeng adalah aspek yang sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Saya mendorong Anda semua untuk merangkul mendongeng dengan data, berdasarkan fakta, tentang krisis iklim. Ingat bagaimana anak-anak memberi tahu Anda tentang hari-hari mereka, begitulah cara Anda memberi tahu orang-orang tentang perubahan iklim. Beritahu data, jangan hanya menampilkan data.
Kedua, keterlibatan publik. Biarkan publik berpartisipasi dan terlibat dalam proses mendongeng. Gunakan bahasa mereka. Seperti disebutkan sebelumnya, Indonesia terdiri dari ratusan suku dan bahasa. Biarkan mereka menceritakan kisah mereka saat mereka menggambarkan perubahan dalam ruang hidup mereka.
Ketiga, menghubungkan titik-titik. Manusia suka bercerita dan mendengar cerita dan menghubungkan cerita mereka. Saya sangat menyarankan Anda semua untuk menghubungkan titik-titik tersebut. Hubungkan cerita mereka dan biarkan orang-orang menemukan relevansinya, maka kita akan memiliki ruang dan semangat serta energi untuk berkolaborasi dalam memerangi perubahan iklim.
Empat, mempromosikan Literasi Digital menuju Sanitas Digital. Memerangi kesalahan / disinformasi bukanlah perjuangan menuju literasi digital dan menuju kewarasan digital. Manusialah yang harus kita hadapi jika kita ingin melihat dunia yang lebih baik.
Lima, rangkullah UAP. Sains-Teknologi-Teknik-Seni-Matematika adalah kunci yang sangat penting dan mendasar untuk membangun literasi digital dan kewarasan digital. Kita semua perlu mengembangkan kemampuan STEAM sejak awal.
(Fadjroel Rachman Staf Khusus Presiden RI)