Biden akan kembali ke era Presiden Obama mengingat staf Biden juga warisan era Obama. Negosiasi adalah pilihan ketimbang konfrontasi.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kemenangan Joe Biden-Kamala Harris memberi pelajaran politik sangat berharga. Duet ini memiliki karakter politik kuat, yakni nurani dan niat melayani rakyat.
Pete Buttigieg, kandidat lainnya dalam bursa pencalonan presiden dari kubu Demokrat, melukiskan Biden sebagai orang seperti yang dia ucapkan sendiri di publik dan internal. Harris padanan pas bagi Biden. Harris berkarakter, pekerja keras, dan menguasai masalah. Politik bernurani telah kembali.
Karakter ini dipadu dengan strategi mereka, yakni fokus pada tujuan. Kantor berita Associated Press menuliskan, Biden-Harris tidak menyerang Republikan. Duet ini fokus membeberkan bagaimana Presiden Donald Trump telah membawa AS ”lari” dari jalur. Saat Trump menjuluki Biden beraliran kiri dan berwajah ngantuk, dan Harris dituduh sebagai perempuan tak layak masuk ke Gedung Putih, mereka tetap fokus pada tujuan. Duet tak mau terjebak debat kusir.
Strategi ini mengundang gelombang dukungan, termasuk dari kubu Republikan. Peran Ketua DPR AS Nancy Pelosi dan mantan Presiden Barack Obama tentu besar di balik kemenangan. Duet ini mendengarkan nasihat. Tidak seperti Trump, yang bahkan memunculkan kejengkelan Republikan.
Setelah menang, Biden-Harris juga mengundang simpati dunia. Keharuan atas kemenangan tergambar dari ucapan Kanselir Jerman Angela Merkel. ”Selamat! Dari lubuk hati terdalam saya menginginkan kesuksesan. Persahabatan Trans-Atlantik tak tergantikan jika kita ingin mengatasi tantangan terbesar sekarang ini,” demikian Merkel.
China tidak seantusias dunia. Namun, Jin Canrong, pakar hubungan internasional dari Renmin University, kepada Global Times, mengatakan, Biden akan lebih moderat. Akan tetapi, Jin mengatakan, AS tidak akan berubah tentang China. Hanya saja, China memiliki optimisme, persaingan tidak harus menyebabkan keterputusan relasi, seperti dikatakan Da Wei, Direktur Center for Strategic and International Security Studies di University of International Relations (Beijing).
Evan Laksmana, peneliti dari CSIS Indonesia, sependapat. Bahasa diplomasi tidak akan vulgar seperti Trump. Biden akan kembali ke era Presiden Obama mengingat staf Biden juga warisan era Obama. Negosiasi adalah pilihan ketimbang konfrontasi. Namun, karakter politik negara kuat tidak berubah, baik AS di bawah Trump maupun Biden. Pembendungan kekuatan pesaing, dalam hal ini China, tetap terjadi di bawah Biden. Inilah karakter politik kekuatan besar, yakni bersaing.
Pembendungan China oleh AS termasuk dengan penggalangan kekuatan. Di era Obama, koalisi Asia dibentuk. Indonesia berpotensi menjadi koalisi AS, dalam konteks ASEAN versus China. Tentu Indonesia bisa memanfaatkan Biden-Harris lewat nostalgia Obama untuk kepentingan ekonomi. Namun, Indonesia, kata Evan, lebih bagus tampil untuk kepentingan ASEAN, yang juga gerah soal China seperti Vietnam. Namun, RI harus cerdik. Banyak yang dimanfaatkan RI dari AS di era Biden. Ada faktor Obama. Ini era emas.